22:: Tamu Tak Diundang

11.2K 1.2K 46
                                    

⚠LEAVE VOTE AND COMMENTS⚠

"Nya, yuk pulang." ajak Alvito sesaat bel pulang sekolah berbunyi. Mejanya sudah terbebas dari buku serta alat tulis berserakan.

"Eerm...hari ini, gue mau pulang sendiri. Sorry." jawab Vanya yang kini sudah memanggul ransel pink pastel.

"Kenapa?"

"G--gue mau pergi. Iya pergi." jawab Vanya yang membuat Alvito tidak yakin. "Kemana? Gue anterin."

"Gak usah. Gue bisa sendiri kok." Vanya berlalu meninggalkan Alvito namun Alvito menahannya.

"Bukannya gue udah bilang, gue gak bakal biarin lo sendirian? Nanti kalo Vikko ganggu lo lagi gimana?"

"Gak penting, Al." Vanya menghela napas lelah menghadapi cowok di depannya itu.

"Tapi lo penting buat gue." ucap Alvito yang membuat Vanya menggigit bibir bawahnya ragu, bingung mau merespon apa. "Sekarang, sebutin lo mau kemana dan gue bakalan nganterin lo."

Vanya berdecak pelan. "Gue mau sendirian dulu, Al. Please..."

"Lo lagi ada masalah?"

Vanya berdecak kesal lalu menghempaskan tangan Alvito yang sedaritadi menahannya. "Iya dan jangan ganggu gue lagi." Vanya berlalu meninggalkan Alvito yang masih berada di dalam kelas.

Alvito menggeram frustasi melihat perilaku Vanya. "Batu banget sih lo, Nya!"

Disisi lain, Vanya sudah berjalan cepat menyusuri koridor, menuju lobby sekolah untuk pulang. Ia harus mampir ke warteg dekat sekolah untuk membelikan Leon nasi serta lauk. Vanya pun berjalan keluar dari sekolah dan menyusuri jalanan untuk menuju warteg yang tak jauh dari sekolah.

Ia pun menghentikan langkahnya saat warteg sudah terlihat disebrang sana. Vanya pun melirik sebelah kanan dan kiri, memastikan tidak ada mobil maupun motor yang berlalu lalang. Baru saja ia melangkahkan kakinya untuk menyebrang, tiba-tiba saja di sebelah kanannya terdapat Elang yang mengulurkan tangan, mengisyaratkan agar mobil dan motor yang berlalu lalang berhenti.

"Kok bengong? Ayo nyebrang." kata Elang yang membuat Vanya spontan mendesis kesal lalu menyebrang dengan Elang di sebelah kanannya.

"Lain kali kalo gak bisa nyebrang, minta bantuan orang." cibir Elang yang membuat Vanya memutar kedua bola matanya malas. "Bodo." Vanya pun masuk ke dalam warteg meninggalkan Elang di depan.

Setelah Vanya berhasil membeli nasi serta lauk untuknya dan Leon, Vanya keluar dari warteg lalu dikejutkan dengan kehadiran Elang yang masih ditempat yang sama. Cowok itu bersender pada tembok warteg.

"Lo ngapaiin disini?" cibir Vanya yang tak suka dengan keberadaan Elang.

"Emangnya Wartegnya punya lo?"

Vanya berdecak kesal lalu hendak melangkahkan kakinya, untuk kembali menyebrangi jalanan. "Ck. Palingan diserempet motor. Sok-sokan nyebrang."

Vanya lantas menghentikan langkahnya lalu berbalik. Ia menatap mata coklat Elang begitu tajam namun sama sekali tidak membuat Elang takut. "Lo ngeselin banget sih! Dari kemaren ganggu gue mulu! Dasar parasit!"

Elang tertawa lalu menggelengkan kepalanya takjub. "Gila ya akhirnya lo ngomong panjang. Harusnya tadi gue ngerekam."

"Sok ganteng! Mati lo!" Vanya memukuli Elang. Sungguh, bila Vanya sudah main tangan dengan orang berarti orang tersebut sudah dianggap sebagai makhluk paling menyebalkan dimatanya.

"Oh jadi ini yang namanya mau pergi?"

Motor sport warna hitam terhenti tepat disebrang Warteg dimana di depannya terdapat cowok dan cewek sedang bertengkar layaknya pasangan yang baru jadian. Alvito berdecak lalu kembali menjalankan laju motornya.

Untuk Djingga [SUDAH TERBIT, MASIH LENGKAP]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora