35:: Marah?

9.1K 1K 48
                                    

⚠LEAVE VOTE AND COMMENTS⚠

Seminggu berlalu, Vanya pun boleh kembali pulang tetapi ia tetap harus menjalani terapi sebagai upaya sarafnya untuk kembali berfungsi.

Tepat pukul sepuluh pagi, gadis itu sudah kembali ke rumah diantar oleh Rayssa sedangkan Leon sudah boleh pulang sejak dua hari yang lalu. Rayssa pun mengantar sampai di ruang tamu dan wanita itu terlihat terburu-buru.

"Vanya sayang, Mama tinggal ya? Mama harus balik ke kantor. Ada banyak kerjaan."

"Iya, Ma. Makasih ya udah nyempetin waktu buat nganter Vanya." balas Vanya tersenyum.

"Kok ngomong gitu? Kan ini udah jadi kewajiban dan tanggungjawab Mama." Rayssa mengusap rambut anaknya yang terurai indah.

"Bentar." ucap Rayssa yang berjalan mendekati tangga.

"Leeeeon!" panggilnya dari bawah. Ia terlalu malas untuk menghampiri putra sulungnya itu.

"Ck. Itu anak ngapaiin sih?" decak Rayssa yang kesal karena Leon tak kunjung datang maupun menjawab.

"Sekolah kali, Ma?"

"Dia gak sekolah. Dokter boleh ngasih ijin sekolah besok."

"Yaudah gapapa. Mama berangkat aja, nanti kerjaannya menumpuk."

Rayssa mengangguk lalu ia mengecup puncak kepala anaknya sekilas. "Kalo ada apa-apa langsung telfon Mama ya."

Gadis itu mengangguk mengerti lalu membiarkan Rayssa keluar dari rumah untuk berangkat kerja. Ia pun menghela napas pelan lalu mengarahkan kursi rodanya menuju sofa. Tak lupa ia mengambil remote TV. Setelah mendapatkan tayangan yang diinginkan, gadis itu menontonnya dengan serius. Sebenarnya gadis itu bosan.

Namun baru beberapa menit gadis itu menonton, tenggorokkannya terasa kering. Dengan malas, Ia pun mengarahkan kursi rodanya menuju dapur untuk mengambil minum.

"Kenapa gelasnya harus ada di rak sih?" decak Vanya sesaat ia mengingat bahwa gelas-gelas disimpan di rak.

Bila kakinya normal, pasti gadis itu sudah bisa mengambil gelas seperti biasanya. Mau tak mau, gadis itu berusaha menggapai pintu rak itu dengan tangannya namun usahanya nihil. Dalam kondisi duduk di kursi roda, gadis itu mana bisa menggapai pintu rak.

Dengan tekad bulat, gadis itu pun berusaha bangkit dari kursi roda dan menjadikan tembok dapur washtafel sebagai tumpuannya. "Jangan manja. Gue pasti bisa."

Ia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya dan baru saja ia ingin meraih pintu rak, keseimbangannya tumbang yang menyebabkan dirinya terjatuh sempurna di jalan.

"Aduh!" teriak gadis itu refleks karena tiba-tiba kehilangan keseimbangan.

"Lo tuh kenapa sih bodoh banget sih?" ucap Leon yang rupanya sudah mengawasi adiknya itu sedaritadi.

Cowok itu berdecak kesal. "Udah tau dalam keadaan begini, gak usah macem-macem! Nanti kalo lo kenapa-kenapa lagi emangnya mau?!"

Kehadiran Leon tepat di depan dapur itu membuat pandangan Vanya teralih padanya. Dengan langkah kesal, Leon membantu Vanya untuk kembali pada kursi rodanya. Gadis itu hanya bisa menunduk malu sedangkan Leon menghela napas pelan, berusaha untuk bersabar.

"Mau ambil apaan?" tanya Leon yang masih dalam keadaan kesal.

"Gak jadi." balas gadis itu yang lalu mendorong kursi rodanya, pergi dari hadapan Leon.

Kursi roda itu terus melaju hingga berhenti di depan jendela besar yang berada di ruang tamu. Dari jendela itu lah Vanya bisa melihat halaman depan rumahnya yang penuh kenangan semasa kecilnya. Mungkin setidaknya, ia merasa tenang melihat pemandangan halaman depan rumahnya itu untuk sementara.

Untuk Djingga [SUDAH TERBIT, MASIH LENGKAP]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora