Bab 13

5.8K 562 8
                                    

Thea melayang terbalik di atas langit-langit kamarnya. Kakinya menggantung di tiang dekat pintu tingkap ke loteng. Wajahnya memerah karena darah sekarang berkumpul di kepalanya. Matanya terpaku pada sebuah undangan yang tertempel di pintu lemarinya. Dari tekstur dan warnanya, terlihat jelas kalau undangan itu dibuat dari kertas pohon epillum—pohon abadi di Hutan Tama. Artinya: (1) undangan itu tidak bisa hancur dan (2) undangan itu datang dari keluarga sangat terpandang di Casthea—karena kalau kau bukan orang penting dan menebang pohon epillum, saat itu juga kau ditangkap dan diumpankan jadi cemilan naga.

Undangan itu sangat menarik bagi Thea. Bukan masalah apa isi undangan itu, tapi apa motif penggunaan kertas dari pohon epillum? Semua malaikat dan peri tahu kalau pohon epillum langka. Jadi, kenapa orang ini nekad menggunakannya?

Apa dia mau pamer status sosialnya? Kalau iya, kenapa? Toh semua orang tahu siapa dia.

Apa dia mau semua yang menerima undangan ini memajangnya? Lalu kalau bukan dipajang, harus diapakan? Kertas itu lebih tahan banting dari platina. Api naga pun tak sanggup menghancurkannya.

Lalu apa alasannya?

"ASTAGA! BERHENTI MENGGANTUNG TUBUHMU TERBALIK SEPERTI ITU! KAU BUKAN MALAIKAT MAUT!"

Dengan satu jentikan jari, Cato membuat Thea terlepas dari posisinya dan jatuh dengan posisi tengkurap menghantam lantai. Karena jatuh dengan kecepatan tinggi, bunyi debamnya sangat keras dan lantai kayu kamar itu sampai retak kena hantam tubuh Thea. Walaupun begitu, tapi Cato tak peduli. Makhluk kecil itu melayang ke pintu lemari, mengambil undangan itu dan melemparnya ke peti barang rongsokan di bawah kolong tempat tidur Thea.

Thea sendiri terhuyung berjuang untuk bangun. Ia tak bisa bernapas sama sekali. Thea merasa hidungnya sudah tak berbentuk dan ada cairan kental yang keluar dari lubang hidungnya. Kali ini bukan sup labu yang mengental seperti saat Cato menghajar kepalanya dengan kuali.

Darah—tentu saja. Meluncur turun seperti ingus.

"Ya Tuhan! Thea!" seru Zeta panik saat ia membuka pintu kamar. Dari raut wajah Zeta yang panik luar biasa, sepertinya bukan hidung Thea saja yang hancur—tapi seluruh wajahnya, mungkin. Zeta pun bergegas menghampiri, bersiap untuk memberikan mantra penyembuhan pada wajah Thea. "He—"

Thea menjulurkan telapak tangannya, menghentikan Zeta. Setelah kejadian di Lapangan Badra minggu lalu, Thea mati-matian belajar mantra penyembuhan. Sekarang dia (sepertinya) sudah bisa mengobati dirinya sendiri. "Hih—" Maksudnya berkata heal, tapi hidungnya yang hancur membuat lafalnya sengau.

Alih-alih sembuh, wajah Thea justru membengkak seperti ikan buntal. Benar-benar bengkak sampai-sampai Thea ngeri sendiri melihat wajahnya di cermin. Pemandangan itu adalah tontonan yang sangat menarik untuk Cato. Peri rumah Thea tak bisa berhenti tertawa sangat keras dan puas. Tawanya menggema sampai membuat takut semua burung dara yang sedang hinggap di halaman rumah mereka.

"Bodoh! Sudah tahu hidungmu patah! Heal!" Zeta melafalkan mantra dengan sempurna sambil menyentil keras hidung Thea.

"Terima kasih," ucap Thea setelah wajahnya kembali normal. "KAU—" dia langsung beralih pada peri rumahnya. "DASAR PERI KEPARAT!"

Cato pura-pura tak mendengar makian Thea. Yah, apa yang Thea bisa harapkan? Sudah bagus Cato tidak melontarkannya keluar jendela untuk tontonan para peri kebun. Dengan santainya Cato melayang keluar lalu masuk lagi sambil menyeret sebuah gaun yang jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya. Kali ini dia menyertainya dengan gerutuan dicampur ancaman. "Hati-hati dengan ucapanmu. Aku bisa memasang mantra filtrasi di rumah ini. Tiap kali kau mengucap kata kasar, kau akan berubah menjadi ulat bulu."

"Pasang saja. Memangnya ucapanmu selalu bersih?" tantang Thea balik. Thea bukanlah satu-satunya yang juara mengumpat di rumah itu. Si peri brengsek itu bisa mengumpat tiap 15 menit sekali. Jadi mereka imbang.

Kalau saja Zeta tidak bersuara, mungkin Thea dan Cato sudah saling serang sekarang.

"Merah?"

Tanpa izin Thea, Zeta sudah menurunkan pembungkus gaun itu dan sekarang keningnya keriting menyaksikan warna gaun Thea. Merah bukanlah warna yang lumrah untuk gaun pesta mereka. Mereka malaikat dan malaikat biasanya memakai pakaian serba putih. Apa yang Cato rencanakan dengan gaun itu?

"Kau mau mempermalukanku dengan gaun merah?" Mohon maaf. Thea tak bisa berpikir positif lagi soal peri itu setelah wajahnya penyok tadi.

"Ini pesta besar. Aku tidak mau kau datang dengan pakaian lusuh. Semua peri rumah bergunjing soal itu," Cato membalas dengan nada ketus sambil memperbaiki lantai kayu kamar itu yang hampir jebol karena dihantam tubuh Thea tadi.

"Tapi kenapa merah?!" Thea masih belum mendapatkan jawabannya.

Thea langsung memasang perisai mantra pelindung di hadapannya saat mata besar peri gempal itu memicing ke arahnya seperti pisau yang siap menyayat-nyayat. Anehnya tak ada yang terjadi. Tidak ada percikan mantra dan tubuh Thea masih utuh.

"Ini pesta milik si jalang keparat itu. Aku berharap dia terbakar saat melihat gaunmu," hanya itu yang dikatakan Cato sebelum keluar membanting pintu menutup sampai lukisan di dekat pintu terjatuh dan pecah.

Bahkan Cato juga menyimpan dendam pada Serena? Thea pernah dengar sih sebelum Thea hadir di Casthea, Cato sempat bekerja di Kastil Caera. Tapi Thea tak mengira Cato sampai ingin bekas majikannya terbakar.


Cato sadiiis! XD

Jangan lupa vomentnya yaa!

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang