Bab 20

6.3K 523 8
                                    

Malam di Kota Edinburgh yang dingin. Musim semi sudah hampir di penghujung, tapi udara masih terlalu dingin untuk masuk ke musim panas. Pohon-pohon belum sepenuhnya hijau. Masih-masih ada dahan-dahan yang tak berdaun. Bunga-bunga pun ada yang masih berupa kuncup. Apa memang pemanasan global atau tumbuhan juga merasakan hitamnya dunia saat ini?

Thea menarik jaketnya lebih rapat dan berjalan bersisian dengan Zeta menyusuri George Street. Gusta belum pulang juga dari tugasnya dan mereka bosan di Hellion Manor yang selalu mengabulkan apapun permintaan mereka, jadi mereka memutuskan untuk sedikit berjalan-jalan. Di George Street, banyak toko yang sudah mulai menutup dagangan mereka. Thea melirik jam tangannya—masih jam 7 malam. Apa orang-orang di sini memang lebih memilih tidur daripada berjalan-jalan? Atau sudah tidak aman lagi membuka toko di atas jam 7 malam?

Jalan itu hanya menyisakan restoran untuk santap malam. Bau makanan-makanan yang lezat tercium dan menggelitik perut Thea padahal dia sudah kenyang. Memang toleransinya terhadap makanan mengendur sejak di sini. Rasanya ia ingin makan terus walaupun sudah kenyang. Mungkin ini balas dendamnya pada Cato yang sering membuatnya kelaparan di Casthea.

Thea menjaga langkahnya tidak terlalu cepat. Ia suka menggunakan mata malaikatnya untuk mengetahui tingkat hubungan orang. Seperti di restoran mewah yang baru saja mereka lewati. Orang-orang yang masuk ke restoran itu kebanyakan memiliki hubungan berwarna merah jambu. Tapi orang-orang yang keluar dari restoran warna hubungannya bervariasi—ada yang putih, merah, atau bahkan abu-abu. Hal itu menandakan banyak hal yang bisa terjadi dalam makan malam yang singkat itu.

Di sebelah restoran itu ada toko es krim. Tokonya kecil, hanya cukup untuk pendingin satu meja kasir dan satu meja pengunjung. Thea melihat seorang anak kecil menatap es krim yang sedang dikeruk dari dalam embernya. Anak kecil itu menatap es krimnya itu dengan tatapan yang berbinar. Mungkin kalau es krim itu manusia, hubungan mereka sudah berwarna merah.

Tiba-tiba Thea teringat dengan Maribelle.

"Kenapa sih Maribelle suka menempel padaku?" tanya Thea dengan randomnya ketika mereka berbelok ke jalan yang lebih kecil.

"Namanya juga malaikat kecil. Mereka menempel pada apapun," jawab Zeta asal sambil menghitung nomor bangunan di sisi kanan mereka.

"Tapi dia ketakutan sekali saat melihat Serena."

"Namanya juga Serena. Dia melotot pada apapun," Zeta tetap asal jawab. "Nah, ini dia," Zeta menunjuk sebuah pintu di antara penjahit dan toko roti yang sudah tutup. Zeta membuka pintu itu dengan perlahan. Mereka tidak langsung dihadapkan pada ruangan, melainkan sebuah tangga. Tanpa ragu, Zeta mengajak Thea menaiki tangga.

Begitu pintu di ujung tangga itu mereka buka, suasana yang sama sekali beda menyambut mereka. Musik Britpop keras, bartender yang sedang menuangkan minuman dengan cepat ke banyak gelas, orang-orang tertawa dan bersulang. Tempat favorit Thea.

"2 bir dan kentang goreng, tolong."

Thea membelalak mendengar pesanan Zeta untuk mereka. "Hanya bir? Kita sudah di Dimia dan hanya minum bir?" Ini seperti penghinaan untuknya.

"Kita besok harus mulai kerja dari pagi. Aku tidak mau kau teler dan baru bangun jam 12 siang."

"Tapi kan—tapi mereka pasti punya alkohol khas tempat ini! Apalah itu, mungkin mereka membuat sesuatu dari hati kambing?"

Zeta berjengit dan mendorong salah satu gelas bir ke mulut Thea. "Minum birmu atau kita pulang," ancamnya.

Thea merampas bir itu dengan muka luar biasa jengkel. Bahkan sekarang Zeta terdengar seperti Cato.

"Bir atau pulang," Zeta mengulangi ancamannya. Sekarang Zeta terdengar seperti Serena.

Thea meneguk birnya sambil memperhatikan ke sekelilingnya. Mungkin saja ada yang bisa ia pasangkan kan?

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang