Bab 16

5.7K 513 0
                                    

Inikah Dimia?

Inikah dunia manusia?

Inikah dunia tempatku berasal?

Thea bertanya dalam hati. Sudah lima belas menit dia duduk di pembatas atap sebuah gedung perkantoran, mengamati keadaan di sekitarnya. Walaupun dia sedang dalam bentuk manusianya, tapi mata dan telinga malaikatnya masih berfungsi. Ia bisa melihat dan mendengar hingga radius 5 km—radius yang normal untuk malaikat apprentice.

Apa yang ditangkap oleh mata dan telinganya membuatnya tidak yakin dia sudah mendarat di tempat yang tepat. Langit kelabu menyelimuti kota akibat polusi yang lebih tebal dari wajah Rufus. Akibatnya, sinar matahari harus menyelusup dengan susah payah. Sayang, tak banyak yang bisa menembus lapisan kelam itu. Orang-orang berjalan mengenakan masker bukan karena tren, tapi mencoba menyelamatkan paru-paru mereka dengan sangat menyedihkan. Tanpa bertanya pada malaikat maut pun Thea sudah tahu kalau umur mereka tidak akan mencapai 70 tahun.

Ada yang lebih menyedihkan lagi.

Thea tak bisa mendengar tawa atau melihat senyuman di wajah mereka. Tidak. Mereka bergerak lebih buruk dari robot. Mata mereka penuh keputusasaan dan sesekali kewaspadaan ketika berpapasan dengan orang lain. Mereka tidak bicara satu sama lain. Mereka lebih memilih bicara dengan diri mereka sendiri. Kalaupun mereka harus bicara dengan orang lain, itu adalah umpatan.

Thea sempat mencoba berpikir positif. Mungkin Serena tahu dia sudah berbuat curang dan melemparnya ke tempat yang lebih buruk?

Tapi...itu Big Ben kan?

Tanpa memakai mata malaikatnya, Thea bisa melihat menara jam tinggi menjulang yang menjadi ikon kota itu. Keadaannya sangat memprihatinkan. Bangunannya lusuh dan sangat kusam. Jarum jamnya tidak bergerak, menunjukkan pukul 01.50 padahal ini pukul 10.26. Tiang bendera di dekatnya menunduk merosot hingga hampir jatuh. Bendera yang terpasang di tiang itu terbelit tak karuan sehingga tidak terlihat apakah benar bendera Inggris yang terpasang atau bendera lain. Yah, mungkin saja kan Inggris sudah dijajah negara lain?

Tak sengaja Thea mendengar teriakan. Teriakan itu lemah dan parau, datang dari seorang nenek di jalanan dekat Big Ben yang tasnya baru saja dirampas oleh pria bertopeng hitam. Rendahan sekali. Siapa yang tega mencopet dari seorang nenek-nenek tua tidak berdaya? Anehnya lagi, orang-orang di sekitarnya tidak bereaksi terhadap teriakan si Nenek. Sampai Thea bisa melihat seorang malaikat muncul dan mencoba menetralkan keadaan. Malaikat itu mungkin lebih muda dari Thea dan terlihat agak linglung. Dia pasti apprentice baru. Dilihat dari gelang yang dikenakannya, malaikat itu berasal dari klan Soroya.

"Jangan pedulikan dia. Fokuslah pada tugasmu sendiri," Zeta muncul di belakang, menyodorkan segelas kopi pada Thea.

"Malaikat-malaikat klan Soroya memang pekerja keras. Tapi kalau mengandalkan mereka saja, mustahil," Thea berkata dengan nada yang sangat prihatin. Si malaikat muda itu tampak sangat kelimpungan. Mengembangkan sayapnya saja sepertinya dia susah.

"Makanya, kita juga diminta membantu menanamkan sebanyak mungkin cinta di hati para manusia. Paling tidak, cinta itu membantu menetralisir pengaruh buruk di diri mereka," Zeta bergabung duduk di sebelah Thea, ikut menontoni si malaikat muda bekerja. "Dia bahkan belum lulus apprentice, eh?" komentarnya sama-sama prihatin menyaksikan hal itu.

"Jadi itu benar? Thanaterra semakin kuat," Thea menarik kesimpulan kalau Rufus tidak membual soal itu.

"Kurasa begitu," Zeta mengangguk. Membuat topinya melorot menutupi matanya. "Kapan kau terakhir kali ke Dimia?"

"10 tahun yang lalu, mungkin?" Thea memakai sarung tangannya, bersiap pergi dari sana.

"Pantas." Zeta merapikan topinya hingga poninya terlihat lagi. "10 tahun di Casthea mungkin hanya sebentar. Tapi di Dimia, itu bisa mengubah segalanya."

Thea menyesap kopinya untuk yang pertama kalinya. Wangi kopi menenangkan sedikit pikirannya, tapi tidak membantu banyak. "Ayo, kita cari rumah kita. Aku perlu istirahat," Thea berkata sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Zeta tergopoh-gopoh mengikutinya.

Terus terang, Thea tak ingin ada di sana lebih lama lagi. Perjalanan menembus portal tadi sudah sangat melelahkan. Dengan tak adanya kebahagiaan di sana, fisiknya semakin terkuras. Di Dimia, mereka tak bisa terus menerus menggunakan bentuk malaikat mereka. Mungkin hanya bertahan 12 jam. Sisanya, untuk menghemat tenaga, mereka menggunakan bentuk manusia mereka yang sangat lemah. Dengan bentuk manusia, mereka masih bisa menggunakan sihir-sihir sederhana. Tapi mereka tidak bisa terbang sama sekali dan itu membuat Thea kesal.

The Immortal ApprenticeWhere stories live. Discover now