Bab 34

5K 468 1
                                    

Thea mengetuk rumah Magenta Street no. 15. Cukup lama tak ada jawaban, tapi ia tahu kalau si pemilik rumah ada di dalam. Dengan telinga malaikatnya ia bisa mendengar langkah kaki gadis itu—lebih lambat dan berat dari biasanya. Langkah kaki itu seperti diseret, lalu berhenti sejenak, lalu diseret lagi. Sampai akhirnya langkah kaki itu terdengar sangat dekat dan pintu pun terbuka.

Isla mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaganya, memberikan Thea senyuman sambutannya yang biasa. Tapi kali ini otot-otot bibirnya juga terlihat berjuang membentuk senyum itu. Bukan karena tidak tulus, tapi karena tidak ada tenaga lagi. "Masuk, Thea," ucapnya hampir dalam bisikan.

"Duduklah—"

"Kau yang duduk," perintah Thea, tak sanggup melihat gadis itu memaksakan dirinya lebih dari ini. Thea membantu Isla duduk di sofanya, tapi ia memilih berbaring. Punggungnya sudah tidak kuat lagi, begitu katanya. Thea menyampirkan selimut berbau apek ke tubuh Isla dan memerintahkan lagi agar gadis itu tidak ke mana-mana.

Thea melihat ke sekelilingnya—rumah itu hampir kosong. Lemari pajangan hanya sisa rangka. Semua isinya sudah dipak, entah mau dikirimkan pada siapa. Meja makan yang biasanya penuh tumpukan naskah, kini bersih. Tak satu lembar kertas pun tersisa di atasnya. Aneh rasanya melihat meja itu kosong karena biasanya mereka bahkan tak menemukan ruang untuk meletakkan benda lainnya di atas sana.

Di sudut ruangan, kandang Nero kosong. Dua hari yang lalu, Thea membantu Isla menyerahkan Nero pada wanita penjual bunga di dekat sana. Nero yang biasanya bersikap kasar pada majikannya sendiri, untuk hari itu diam tak bersuara. Ia hanya membaringkan tubuhnya dan membisu. Tiap kali Isla mengajaknya bicara, kucing itu membuang mukanya. Bahkan, saat Isla menangis menghabiskan air matanya mengucap perpisahan padanya, kucing itu tetap tidak mau berkontak mata dengan Isla. Thea tak tahu apakah Nero bisa akur dengan majikan barunya. Yang jelas, perpisahan itu membuat kondisi Isla semakin drop.

Thea ke dapur dan membuka lemari yang ada di sana. Lemari itu terlihat sangat lenggang. Tidak ada lagi makanan kadaluarsa—bahkan tidak ada lagi makanan berlebih kecuali yang cukup dimakan gadis itu tiga kali sehari. Thea mengambil satu kantong dari dalam toples teh dan membuatkan secangkir teh hangat untuk Isla.

"Aku datang mengembalikan laptopmu," ujar Thea sembari menyodorkan cangkir teh itu pada Isla. Tiga hari yang lalu Thea berniat datang untuk meminjam laptop Isla. Saat itulah Thea menyadari kalau kondisi Isla sudah memprihatinkan.

Tangan Isla gemetar menerimanya sampai teh itu menyiprat ke tubuhnya dan lantai di sekitar kakinya. "Aku...aku bisa. Tidak apa-apa," Isla menolak bantuan Thea yang berniat memegang cangkir itu untuknya. "Semakin kau membantuku...semakin aku merasa kalau waktuku semakin menipis," Isla mendengus penus kesatiran.

Thea tak tahu harus berkomentar apa. Ia memilih untuk diam saja menonton gadis itu berusaha meminum tehnya.

"Aku...benar-benar akan mati, eh?" Isla mencoba tertawa. Tapi tawa itu terdengar aneh. Makin lama makin parau. Kemudian ia terbatuk, tak sengaja menjatuhkan butiran air matanya di atas tehnya. Lalu ia terisak. "Aku benar-benar akan mati..."

Thea memeluk tubuh gadis itu. Tubuhnya terasa sangat kurus, sampai-sampai Thea takut pelukannya bisa meremukkan salah satu tulangnya. Bahu Thea sudah basah karena air mata Isla. Di tengah-tengah tangisnya, ia meracau, "Aku minta maaf... Aku minta maaf sudah menuliskan namaku dan Carlo di perkamen itu... Hanya karena dia menghidupkan Nero kembali..."

"Tidak. Itu bukan salahmu, Isla. Aku harusnya memberitahumu—"

Isla menggeleng, menolak gagasan itu. "Entah berapa kali kalian bertanya nama siapa yang akan kutuliskan di sana, tapi aku tidak mau bilang... Aku malu... Dan sekarang aku menyesal... Andai aku mengatakannya pada kalian, mungkin ini tidak akan terjadi..." suaranya mengecil dan kini hanya sisa cicitan.

The Immortal ApprenticeDove le storie prendono vita. Scoprilo ora