Bab 54

4.4K 422 11
                                    

"Bau busuk itu ternyata baumu, iblis keparat?" Gusta mendesis, mengunci pengawasannya pada Sang Raja Iblis yang sekarang menggunakan tubuh Zeta. Ia berdiri melindungi dua gadis tak berdaya di belakangnya—Thea yang sekarang tak bisa melakukan apapun karena dia manusia dan Isla yang tubuhnya sudah terkapar di tanah terkena serangan Malphas begitu ia selesai mengantarkan pesan.

Malphas membuka mulut Zeta untuk tertawa lebar. Tapi Thea tahu, itu bukanlah tawa Zeta. Tawa Zeta yang dikenalnya selalu riang dan menyenangkan untuk didengar. Tawa yang digemakan oleh iblis itu parau dan sungguh mencekam.

"Kesalahan kalian yang pertama adalah—" Mata hitam iblis itu bergerak perlahan ke arah Thea, "—menyegel Vodara di tubuh gadis setolol ini."

Thea mengatupkan kedua rahangnya sekeras mungkin, mencegahnya bergemelutuk. Walaupun dia tahu yang sedang bicara sekarang adalah Malphas dan bukan Zeta, Thea tetap merasa ucapan itu menusuk ulu hatinya. Iblis itu benar. Dia tolol sekali. Seharusnya dia tidak terlahir sebagai apapun di dunia ini—tidak manusia, tidak malaikat, tidak juga iblis.

Tiba-tiba mata Thea menangkap sesuatu yang menyala. Ada titik api berkilau di kedua telapak tangan Gusta. Titik api itu membesar, membakar seluruh telapak tangan Gusta dengan warna merah keemasan. Lalu lidah apinya berputar melilit hingga lengannya.

Itukah api Agnada? Thea tak pernah melihat bara api seindah itu.

"Aku kira kau lebih pintar dari pacarmu, eh Hellion?"

Begitu kalimat itu terucap, api Agnada di tangan Gusta menyusut dihisap kembali oleh telapak tangannya, kemudian padam. Bibir Gusta mengatup dan rahangnya menegang. Kedua mata abunya menatap tajam Sang Raja Iblis. Kalau mata itu bisa menyihir, Gusta pasti sudah membakar lawannya.

Akhirnya Thea paham apa yang membuat ekspresi Gusta setegang itu. Gusta tak bisa menggunakan api Agnada karena Malphas sekarang berada di tubuh seorang malaikat.

Gusta sempat melirik Thea, seakan mengisyaratkan Thea untuk mengeluarkan Vodaranya—membantunya menghancurkan iblis di hadapan mereka. Thea langsung menggeleng. Air matanya terurai. "Maaf, Gusta... Aku tak bisa menghancurkan tubuh Zeta..."

Gusta terdiam. Mungkin ucapan Thea membuatnya marah, tapi dia memilih untuk melupakan pilihan jalan keluar itu. Dia tahu benar betapa berartinya Zeta untuk Thea. Maka, Gusta pun memilih satu-satunya pilihan yang masih tersisa—menyerang iblis itu. Laki-laki itu memejamkan matanya, menarik napas, kemudian melesat meluncurkan serangan pertamanya. Ia hanya bisa menyerang dan terus menyerang—lalu berdoa mengharap keajaiban terjadi. Terlepas dari apakah dia bisa menang atau tidak, dia harus melakukan sesuatu.

Sebuah kilatan berwarna biru dilempar Gusta ke arah Malphas. Malphas balas meluncur menghampiri Gusta, kemudian terjadi ledakan. Setelah itu Thea hanya bisa melihat kilatan putih dan hitam bergulat di udara dengan kecepatan yang luar biasa. Sampai terdengar satu ledakan lagi, tubuh Zeta terlontar keluar—menghentikan pergulatan sinar itu.

"Jangan sakiti tubuhnya!" jerit Thea. Ia menyaksikan tubuh Zeta jatuh dan menghilang di sisi lain bukit itu.

"Thea—" Sambil tersengal memegangi dadanya, Gusta beralih pada Thea berniat memberikan pemahaman kalau nyawa mereka dan seisi Casthea saat ini sedang dipertaruhkan.

Sayang sekali, teriakan Thea tadi memberi kesempatan pada Malphas untuk menyerang balik Gusta—yang perhatiannya sempat teralihkan. Sebuah bola api hitam menghantam dada Gusta, mendorongnya dalam kecepatan tinggi hingga menabrak dinding monument di dekat mereka dengan sangat keras.

"GUSTA!" teriak Thea. Belum sempat Thea berlari lebih dari tiga langkah menghampiri Gusta, Malphas menyapu tubuh Thea dan menguncinya di sebuah batang pohon. "GUSTAAA!" jerit Thea lebih lantang dan histeris, menyaksikan Gusta dideru serangan bola api hitam Malphas bertubi-tubi. Tiap kali serangan itu mengenai Gusta, darah mulutnya memuncratkan darah. Sekarang dagu, sebagian pipi, dan leher Gusta sudah merah berselimut darahnya sendiri.

Thea bisa melihat Gusta mencoba menyembuhkan lukanya, namun sayang Malphas berhasil lebih dulu mengeluarkan puluhan kelelawar dari balik sayap Zeta. Gerombolan kelelawar itu menyerbu bak semburan air, mengeroyok tubuh Gusta—membuatnya tidak punya kesempatan untuk melawan atau menyembuhkan diri.

"TIDAK! BERHENTI! LEPASKAN DIAAA!"

Iblis itu menyiksa mental Thea dengan mempertontonkan adegan penyiksaan Gusta di depan matanya. Diam terikat tanpa daya menyaksikan laki-laki yang dicintainya berurai darah adalah siksaan yang terberat dalam hidupnya—bahkan lebih menyakitkan dari saat ia menusuk ulu hatinya sendiri dengan pedang di Hellion Manor.

Malphas menarik semua kelelawarnya masuk ke dalam sayap Zeta kembali. Dalam jeda yang hanya beberapa detik itu, Thea berdoa dalam hati agar Gusta cukup waktu untuk menyembuhkan diri.

Ternyata doanya terabaikan. Apa yang akan dia saksikan setelah ini jauh lebih mengerikan.

Malphas membentuk sihir hitamnya menjadi sebuah pedang. Sesuai warna sihirnya, pedang itu berwarna hitam diselimuti asap keunguan. Malphas meraih pedang ciptaannya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas tubuh Gusta.

"AAARRGHHHHH!!!"

Gusta berteriak seperti meregang nyawa ketika pedang itu menusuk dadanya. Darahnya muncrat—deras berhamburan, mengguyur rerumputan di sekitar tubuhnya.

"GUSTAAAAA!!!"

Dalam tangisnya, Thea mencoba meneriakkan nama laki-laki itu, tapi Gusta tak bergeming. Melihat iblis itu menggunakan tubuh sahabatnya untuk menyiksa laki-laki yang dicintainya adalah pemandangan yang paling mencekam yang pernah disaksikannya. Kalau memang orang-orang terdekatnya harus tersiksa akibat mencoba melindunginya, bukankah lebih baik dia mati saja? Ya, rasanya ia ingin mati saja—sekarang juga.

"LEPASKAN DIAAA!" teriakan Thea sekarang lebih terdengar seperti lolongan permohonan. Ia tak sanggup melihat Malphas menggunakan tubuh Zeta memegang gagang pedang yang masih menancap di ulu hati Gusta, menyeret tubuh laki-laki itu sepanjang rerumputan—menciptakan jalur penuh darah hingga ke tepi bukit.

Di tepi bukit itu, dia membuat tubuh Gusta melayang. Tubuh itu sekarang tidak bereaksi. Bahkan ketika Malphas mencabut pedang itu dan darah mengucur dari tubuh Gusta menetes seperti hujan lokal, menyirami rumput-rumput di bawahnya—Gusta tidak bergerak lagi.

"TIDAAAK! JANGAAAN!"

Tentu saja jeritan Thea tak berarti. Malphas tetap melempar tubuh Gusta bersama lumuran darahnya masuk ke lubang portal Median yang sebentar lagi akan menutup.

"GUSTAAAAAA!!!—"

Sekujur tubuh Thea langsung lemas menyaksikan lubang portal itu menutup, menelan tubuh Gusta di dalamnya. Thea ingin merosot ke tanah, tapi kuncian yang dibuat Malphas memaksa tubuhnya tetap tegak. Kini Thea seperti manekin—kaku, tak bersuara, dengan wajah pucat karena shock.

"Ayo, kita ke Casthea dan binasakan semua malaikat bodoh yang ada di sana."

Thea mematung, namun ia merasa tubuhnya diseret dengan tali tak kasatmata ke tepi bukit. Bersisian dengan tubuh Isla, Malphas tetap menyeret mereka saat iblis itu mulai terbang meninggalkan bukit itu. Tubuh mereka terbujur kaku—melayang mengekor ke manapun Malphas terbang—menciptakan pemandangan yang begitu janggal di langit malam itu.

Sebuah sentuhan di tangannya membangunkan Thea dari shocknya. Isla sudah sadar dan mengedip, memberi isyarat pada Thea untuk tidak bersuara. Dengan satu jentikan jari Isla, tali tak kasatmata yang mengikat mereka pun putus.

Tidak mudah menahan jeritannya ketika mereka terjatuh dari ketinggian 2.000 meter. Rasanya nyawanya melayang meninggalkannya di atas sana. Untung saja dengan sigap Isla membuka sayapnya lalu sesegera mungkin menangkap tangan Thea. Kecepatan luncur setinggi itu membuat mereka berdua terpelanting dan sedikit terombang-ambing. Perlu beberapa detik sebelum Isla berhasil menyeimbangkan terbangnya.

"Terima ka—AAA!!!"

Thea menjerit lantang ketika mereka jatuh kembali terkena lemparan sihir Malphas. Tangan mereka terlepas, namun Isla sempat melemparkan sihir pelindung ke tubuh Thea sebelum mereka menjebol sebuah atap gedung tua.

The Immortal ApprenticeWhere stories live. Discover now