[5] Second

1.2K 73 1
                                    

Lima hari sudah kulalui, dan itu terasa sangat cepat. Padahal kalau kata Delila, lima hari belakangan ini terasa sulit dan lama sekali. Entahlah apa yang terjadi padaku.

Drrt .. drrt

"Hp lo bunyi tuh!" ujar Delila yang asyik membaca novelnya secara diam-diam.

Ah! Siapa sih, ganggu aja, aku lagi nyatet juga! Ya, sekarang aku masih berada di sekolah, dan sedang dalam pelajaran ekonomi. Pelajaran yang kata orang sulit, namun bagiku menyenangkan dan mudah.

"Siapa?" tanyaku yang masih fokus menatap papan tulis. "Nggak tau."

"Ganggu aja sih!" Gerutuku, namun aku tetap mengambil ponsel ku itu. Ku buka pesan itu dengan tatapan kesal.

From : Guta
Tania, pacaran yuk!

Deg!

Lah kocak! Apa-apaan nih, masih pagi-pagi begini udah kirim pesan yang aneh. Ngajak pacaran pula. Ini bulan Maret, nggak ada april mop april mop-an ya. Dasar cowok, enak banget main nembak-nembak aja, dikira lucu kali ya.

Tapi, apa ini peluang ya? Peluang buat melupakan Galang. Ah! Mungkin aja.

Belum sempat aku membalas pesannya, dia mengirim pesan lagi padaku,

From : Guta
Maaf kalo gue to the point gini. Tapi gue serius.

Ah, Guta, bisa aja bikin orang senyum-senyum sendiri.

To : Guta
Iya gue mau.


◽◽◽


"Hai." Tiba-tiba seseorang menepuk pelan pundakku dari belakang.

"Eh! Guta."

"Jadi—" sebelum dia melanjutkan ucapannya aku mengangguk, membuatnya senyum kegirangan.

"Ada yang lagi kasmaran nih ceritanya!" ucap Razi yang datang tiba-tiba dengan menggandeng Vika di sampingnya.

"Yah, sendiri lagi deh gue." Gerutu Delila membuat kami tertawa bersamaan.

Istirahat berlalu sangat cepat hari ini, padahal jamnya sama saja.

"Del, kok udah masuk aja ya?" yang di tanya malah mengerutkan keningnya, "Lah? Tumben nanya begitu. Biasanya juga seneng kalo masuknya cepet."

"Gue nggak tau juga. Tapi rasanya jam istirahat ini tuh kayak bentar banget gitu." Gerutuku, kini seraya menopangkan daguku disalah satu tanganku.

"Gara-gara Guta ya?" Ledek Vika yang tiba-tiba memutar badannya dan menghadap ke wajahku.

Aku mengedikkan bahu lalu merebahkan kepalaku di meja tanpa sebuah bantalan apa pun.

Tak terasa, ternyata aku tertidur sampai jam pulang sekolah. Namun beruntungnya aku karena tertidur di jam kosong. Dan tak terasa juga, ternyata sedari tadi, Guta sudah berada di sampingku.

"Eh, kamu ngapain di sini?" tanyaku spontan. "Nungguin kamu." Jawabnya singkat, ia masih asyik mengetik sesuatu ponselnya.

"Udah bangunkan? Yuk pulang!" ajaknya, aku mengangguk seraya meletakkan tas di pundakku.

Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir sekolah, karena Guta ingin mengambil motornya. Namun hal tak terduga terjadi saat itu juga.

Galang, ya, mantan pacarku Galang, kini ia juga tengah berada di tempat parkir juga bersama ... perempuan lain.

Entah kenapa, dada ini rasanya sesak. Ingin sekali aku memarahinya, namun dengan sigap, Guta menarikku untuk naik ke atas motornya.

"Aku tau masa lalu kamu sama si Kapten. Aku bakalan bantu kamu buat move on dari dia. Asal kamu juga sebaliknya begitu ke aku." Ucapannya membuatku menangis.

"Maafin aku." Jawabku sesenggukan.

"Nangis aja, Tan. Aku siap jadi sandaran kamu kapan pun kamu butuh." Tanpa butuh waktu lama, aku memeluk pinggang Guta dari belakang dengan erat. Karena aku ingin menangis sejadi-jadinya.

Melihat dia dengan yang lain, sesak rasanya. Sakit hatiku, remuk, hancur. Ah! Menyakitkan. Ini pertama kalinya aku merasakan patah hati. Kalau bukan karena Ayah, aku pasti masih bersama dengan dia.

Guta mengantarku pulang sampai depan rumah. Tanpa melihatnya aku langsung berjalan masuk ke dalam rumah, namun ia mencekal pergelangan tanganku. Mau tak mau aku berbalik menghadap dia.

Dia mengusap pipiku lembut, menghapus air mata yang masih mengalir sedikit demi sedikit yang keluar dari mataku yang mulai memerah.

"Jangan nangis ya, aku nggak bisa lihat perempuan yang aku sayang nangis di hadapan aku. Aku merasa ikut hancur lihat kamu kayak gini. Please, jangan nangis lagi ya."

Pura-Pura MOVE ONDonde viven las historias. Descúbrelo ahora