[10] Dipecat!

980 54 2
                                    

Setelah kejadian kemarin, kejadian di mana Kak Steven menyatakan perasaannya padaku dan Kak Wena yang melempar piring ke lantai. Aku dan Kak Wena seperti dua orang yang sudah bermusuhan bertahun-tahun lamanya.

"Bun, aku berangkat ya." Pamitku pada Bunda dengan mencium punggung tangannya.

"Tania, tapi ini masih pagi banget. Bunda yakin, sekolah kamu juga pasti belum dibuka." Ujar Bunda yang masih menahanku. Aku menggeleng, "Aku bawa kunci serepnya, Bun. Jadi kalo belum dibuka, ya aku buka. Lagian, masa iya jam segini penjaga sekolah belum ada?" Aku menunjukkan kunci serep dengan gantungan fotoku dan Kak Wena pada Bunda.

"Ya sudah, kamu hati-hati ya di jalan." Ucap Bunda mengusap puncak kepalaku lembut. Aku mengangguk lalu pergi.

"Pagi Pak Anton." Sapaku pada satpam yang menjaga gerbang. "Pagi, Non Tania." Pak Anton menjawab sapaanku.

"Tania berangkat sekolah dulu ya Pak." Pamitku pada Pak Anton. "Non," panggil Pak Anton ketika aku ingin melangkah. "Di sana ada orang yang kemarin pulang bareng Non Tania." Tunjuk Pak Anton ke arah salah satu pohon palem besar depan rumahku.

Kak Steven? Mau apa dia ke sini? Kurang kerjaan banget pagi-pagi ke rumah. Eh? Ke rumah? Ya kali. Positive thinking aja, mungkin dia lagi menghitung daun pohon palem yang jatuh.

Tak ingin ambil pusing, aku langsung pergi ke sekolahku dengan berjalan kaki. Aku melewati Kak Steven tanpa meliriknya. Sebenarnya aku kesal dengannya, kenapa dia malah mennyatakan perasaannya padaku, orang yang tak punya perasaan apa-apa padanya di hadapan Kak Wena yang jelas-jelas sudah memendam rasa padanya sejak SMA.

"Tania!" teriaknya ketika aku melewatinya. Aku mendengar, tapi aku mengabaikannya. Aku terus berjalan menjauh.

"Aku antar." Tangan Kak Steven menggamit tanganku, namun aku berusaha menepisnya meski ia masih bisa menahannya dan berjalan sedikit lebih cepat.

"Saya nggak mau! Saya mau berangkat sendiri!" Aku memberontak. Beruntungnya tangan itu dapat lepas dari tanganku. Dengan cepat kuambil langkah seribu.


◾◾◾


"Loh? Neng Tania, pagi-pagi udah sampai sekolah aja." Ucap Pak Rio penjaga gerbang sekolah yang ternyata sudah berjaga di depan gerbang.

Aku yang masih lelah karena berlari, mengatur napasku agar berjalan dengan normal lagi.

"Pagi Pak. Tania masuk dulu ya. Oh iya Pak, nanti kalo ada yang namanya Steven. Jangan bolehin dia masuk ke sekolah ini." Ucapku yang diangguki Pak Rio.

"Tapi Neng? Perintah dari siapa? Lagian kan Mas Steven itu pembimbing ekstrakurikuler PMR di sekolah ini neng." Pak Rio membantah ucapanku.

Aku menggeram, "Pak, ini perintah langsung dari pemilik sekolah. Dan kalau nanti dia datang, suruh dia langsung ke ruangan pemilik sekolah tapi tetap ditemani bapak." Kemudian Pak Rio mengangguk patuh.

Hari ini aku memilih untuk tidak masuk kelas. Aku menunggu Kak Steven di ruangan pribadiku.
Sampai kemudian ada yang mengetuk pintu.

"Permisi, Pak Arman." Ucap seseorang yang kutahu itu pasti pak Rio.

"Masuk."

Dia membuka pintu dan alangkah terkejutnya ia ketika menemukanku di dalam ruangan yang biasa Kakek pakai.

"Loh? Neng Tania? Kok di ruangan Pak Arman?" tanya Pak Rio kebingungan dengan Kak Steven yang menatapku penuh ... kekhawatiran.

"Silakan masuk." Ucapku dengan suara tegas.

Pak Rio mengikuti perintahku, "jadi, kok Neng Tania ada di ruangan Bapak?" tanya Pak Rio kebingungan.

Aku berdehem menetralkan rasa gugupku, karena aku memang tak memiliki jiwa keberanian yang besar. Ya, jadinya seperti ini jika ingin melakukan sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.

"Saya adalah atasan bapak, atau lebih tepatnya Sang calon pemimpin sekolah ini." Perkataanku sukses membuat Pak Rio terdiam.

"Saya serius. Dan saya ingin berbicara berdua dengan Saudara Steven. Jadi, saya minta bapak tetap berjaga di luar ruangan saya." Ucapku sebelum Pak Rio berbicara, dan kemudian ia mengangguk lalu pergi.

Setelah pintu tertutup, Kak Steven mendekat ke arahku.

"Mau apa?" tanyaku sedikit takut.

"Kamu kenapa gak mau aku antar? Terus kenapa kamu malah panggil aku ke ruangan kamu?" tanyanya seraya menatap mataku.

"Maaf, Kak. Saya melakukan ini karena saya nggak mau menyakiti perasaan Kakak saya sendiri. Kak Wena yang suka sama Kak Stev udah dari SMA. Tapi Kak Stev gak pernah peka. Dan satu lagi, saya minta Kakak ke sini karena saya mau pecat Kakak." Matanya membulat, dan kakinya berjalan mendekat ke arahku.

"Aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu Tania. Aku udah pendam perasaan ini dari lima tahun yang lalu. Tapi kenapa kamu malah seperti ini?" nada suaranya seperti orang yang sedang frustrasi.

Aku berdehem lagi menetralkan kegugupanku, "Maafkan saya, Kak. Kak Wena lebih berarti bagiku. Dan, tak sedikit pun aku menyukai Kak Stev. Jadi, tolong lupakan saya."

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang