[50] Di Hati

576 33 1
                                    

Kantin hari ini rasanya penuh sesak dengan anak-anak. Entah kenapa, rasanya mood untuk makan pun hilang seketika.

Dan sialnya, sekarang aku sendiri. Benar-benar sendiri, karena sahabat-sahabatku entah pergi ke mana.

Kuputuskan untuk kembali berjalan ke kelas dan melewati kerubungan di hadapanku.

Tiba-tiba ada seseorang yang menarik lenganku, "Kak, itu temannya Kakak bukan?" tanya seseorang yang wajahnya tak asing bagiku. Ya, dia Hawa, adik dari Juan.

Mengingat soal Juan, moodku seakan semakin runtuh.

"Loh, kok Kakak malah bengong?" tanyanya setelah melambaikan tangan di hadapan wajahku.

"Ada apa, Wa?"

Sebagai jawabannya, dia menunjukkan jari telunjuknya ke arah tengah kerumunan itu. "Kenapa?"

Seketika dia menarik lenganku untuk menerobos kerumunan itu, dan kini kami sampai di depan kerumunan itu. Dan kalian tau? Kini aku benar-benar disuguhkan pemandangan yang memuakkan.

Lihat saja, Arbani kini tengah berlutut di hadapan Nilla dengan menyodorkan sebuket bunga mawar ke arah Nilla. Dan jangan lupakan Aklea yang berdiri di antara mereka berdua dengan wajah merah padam.

Entah kenapa rasanya hatiku tergerak untuk melakukan sesuatu. Dan benar saja, kini aku berjalan ke arah tengah kerumunan, melewati Nilla dan Arbani. Lalu dengan cepat, kutarik tangan Aklea menjauh dari kerumunan tak berguna itu.

"Lea! Sadar, Kle! Lo ngapain berdiri di tengah-tengah mereka? Bukannya lo pacarnya Bani? Kenapa Bani malah nyatain perasaannya ke Nilla?!" teriakku seraya mengguncang-guncangkan tubuh Aklea yang masih diam mematung di tempat.

"Gue udah putus. Gue benci sama yang namanya cinta." Ucapnya datar tanpa ekspresi, dan itu benar-benar menyeramkan untuk wajahnya yang selalu terlihat gembira.

"L-lo kenapa, Kle?" entah kenapa, rasanya bulu kudukku merinding melihat senyum sinis yang terukir di bibirnya.

Dia berjalan mendekat ke arahku, dan aku juga memundurkan langkahku mengikuti irama langkah Aklea.

"Lo bisa ngerasain gak sih yang namanya jatuh cinta secara terpaksa, lalu tiba-tiba dia buat lo jatuh cinta secara real. Dan setelah itu dia ningalin lo dalam kurun waktu yang belum bisa disebut sehari?"

Pertanyaannya membuatku semakin takut. Pasalnya bukan karena pertanyaannya tapi karena ekspresi wajahnya, ekspresi yang tak bisa kujelaskan lewat lisan maupun tulisan.

"Jawab pertanyaan gue, Tan!"

Aku mengangguk, lalu sedetik kemudian menggeleng.

"Kenapa?"

"Gu-gue gak pernah nge-ngerasain."

"SAKIT! SAKIT, TANIA!"


◾◾◾


Tak lama setelah itu, Aklea pingsan. Dan kini, aku tengah menunggunya di UKS. Aku berharap dia cepat siuman.

"Lea, cepat sadar. Gue khawatir sama lo." Pintaku padanya yang masih pingsan.

Tiba-tiba pintu UKS terbuka lebar, menampakkan Zidan yang terengah-engah. Dan entah kenapa, momentum ini mengingatkanku pada Arvan.

Kira-kira Arvan masih bisa melihatku gak ya? Aku bahagia bisa bersama orang sebaik Zidan, meski hatiku masih benar-benar terpaut pada Arvan. Dan pada akhirnya pun, aku hanya akan bersanding dengan orang pilihan Bunda.

"Tania, kamu gak apa-apa?"

"Aku baik-baik aja. Yang pingsan Aklea bukan aku kok." Jawabku seraya tertawa kecil.

"Jo-jordan." Erangan Aklea terdengar jelas di telingaku. Tapi tunggu, Jordan? Kenapa Aklea sebut nama Jordan?  Ada apa dengan Jordan?

"Kle, sadar!" ucapku pelan namun sedikit membentak.

Matanya terbuka, tangannya dengan cepat langsung memegang keningnya. "Kenapa? Pusing? Mau gue panggilin dokter UKS?" tawarku.

Dia menggeleng, "gak usah, cuman pusing sedikit. Nanti juga sembuh."

"Kle, lo kenapa sih?"

"Gue sakit, Tan."

"Bagian mananya?"

"Hati."

💦💦💦

Tbc.

6 Maret 2018

Pura-Pura MOVE ONDove le storie prendono vita. Scoprilo ora