Daddy - 11

91.3K 2.1K 45
                                    

Sejak kapan aku merasakannya?

Pertanyaan-pertanyaan berputar dalam kepalaku, saling membelit, dan tak terurai. Membuat kepalaku pusing saja.

Daddy. Dialah penyelamatku, dia adalah matahari, menyinari, menerangi, membimbing, menjaga, menghangatkanku. Duniaku. Sebentar lagi bintangku itu akan bertemu dengan pasangannya.

Aku akan ditinggalkan sendiri lagi.

Memangnya siapa aku? Aku hanya anak yang sekadar masuk ke hidupnya. Aku hanya lewat, walau aku ingin tinggal, aku tak bisa. Sudah ada pemilik hatinya. Dan itu bukanlah diriku. Aku mengerti itu, sangat, sangat mengerti.

Ah, cairan ini tak berhenti juga menetes. Padahal aku sudah sangat menahannya hingga jangan sampai lolos. Ternyata aku tidak bisa. Aku tak cukup kuat menahannya. Aku ingin sekali berteriak bahwa aku menolak, namun lidahku kelu untuk mengucap sebuah kata.

Wanita itu, wanita paling beruntung yang berhasil mendapatkan hatinya. Bagaimana bisa Daddy jatuh hati dengan wanita seperti itu?

Bagaimana bisa dirinya mengalah dengan mudahnya pada wanita itu? Daddy harus sadar! Sial, emosiku langsung mendidih melihat Daddy yang seperti bukan dirinya ketika bersama ular di sana.

Aku merasa Daddy tidak mencintai wanita itu. Tetapi, apakah benar? Apakah ini hanya egoku semata yang tidak ingin Daddy bersamanya melainkan bersamaku?

SADAR ALEXIE!

Kau hanya orang asing! Kutanamkan kata-kata itu dalam benakku. Aku tak peduli. Aku menghampiri mereka yang tampak sedang beradu argumen dan Daddy terlihat terpojok.

"Alexie," aku terkejut. Daddy berlari menghampiriku dan langsung memelukku, tanganku refleks mengelus punggungnya, "Alexie, aku tidak mau,"

"Kevin!" Bentak Nadine di seberangku yang menarik lengan Daddy dari pelukannya padaku, "jangan lebay deh! Itu kan cuma film horor!"

Oh, aku mengerti sekarang. Dasar wanita tak tahu diri. Mengapa bisa dia tidak tahu masalah kekasihnya jika dia benar-benar mencintainya? Sepertinya aku semakin meragukan ular di depanku ini mencintai Daddy.

"Diam, Bitch!" Aku menendang tangannya menggunakan kaki kananku hingga cengkramannya terlepas dari Daddy. Matanya melotot tetapi aku tidak peduli.

"Alex-"

"Gue bilang DIAM!" Bentakku padanya. Daddy masih memelukku dan semakin erat. Aku mengelus kepalanya yang berada di atas bahuku, "LO GAK LIHAT APA DADDY GUE KETAKUTAN GINI, HAH?!"

Kulihat dia terkejut. Sepertinya baru kali ia melihatku seperti ini. Mataku menatapnya tajam seolah jika dia mendekat aku akan langsung melenyapkannya.

"Gue calon isterinya!" Bentaknya padaku dan kembali menarik lengan Daddy dariku.

PLAK!

"GUE BILANG DIAM NGERTI GAK, LO?! Daddy tuh takut sama hal-hal berbau mistis! Seharusnya lo dengan sekali lihat kondisi mukanya yang pucat bisa ngerti! Mata lo di mana?! Bisa-bisanya lo maunya dimengerti tanpa mau ngertiin, hah?!"

Aku menutup mataku seraya menghirup oksigen yang terasa punah dari paru-paruku. Aku menghembuskan napas perlahan dan menulikan telingaku dari suara berisik isakannya.

"Lo gak usah datang ke sini lagi atau pun deketin Daddy gue lagi. Lo gak pantes jadi isterinya Daddy gue!" Aku mengirup napas dan kuhembuskan sebelum melanjutkan kalimatku yang terpotong, "dan gak usah minta maaf! Sana! Pergi lo dari hadapan gue atau pun Daddy gue! Kehadiran lo sangat tidak diterima di sini!"

"L-lexie," panggilnya lirih sambil memegangi pipinya yang baru saja kutampar.

"Gue tadi bilang apa? denger nggak lo?! Apa mau gue seret sekarang?!" Aku melepas pelukan Daddy yang gemetar, kududukkan dirinya di sofa dan kuelus sebelum aku mendatangi wanita biadap itu, "GUE BILANG PERGI! Lo udah nyakitin Daddy gue dan gue gak bisa maafin itu! Jadi sebelum gue berbuat lebih jauh lagi bahkan lukai lo, sebaiknya lo pergi jauh-jauh dari sini. Pergi lo!"

Aku menyeretnya menuju pintu keluar baginya dari rumah ini. Dirinya masih menangis dan memegangi tangannya yang kucengkram. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi dengannya sekarang. Bagiku, orang yang menyakiti Daddy adalah musuhku, "A-alexie lepas! Aku sedang hamil!" Teriaknya dan menghempaskan tanganku yang mencengkramnya hingga terlepas. Aku sedikit terhuyung namun tetap berdiri di tempatku.

PLAK!

"Hamil? Terus, lo mau bilang kalau anak haram di kandunganlo itu anak Daddy gue? Haha. GUE UDAH MUAK LIAT DRAMA RENDAHAN LO DI SINETRON-SINETRON YANG GUE TONTON!"

Aku menariknya keluar dari dalam rumah. Dirinya merintih dan segera kututup rapat pintu dan aku berada di luar bersamanya, "Dengan lo ngomong gini ke gue sama aja lo nunjukin kejalanganlo pada gue. Nyangka gak nyangka ya gue sebenernya lo itu kotor."

KRIET

Pintu di belakangku terbuka. Daddy keluar dan  menarikku masuk lalu memelukku di balik pintu. Aku merasakannya gemetaran dan hanya bisa menenangkannya dengan mengelus-elus punggungnya, "Sudah, Daddy, aku di sini." Daddy masih memelukku, aku harus repot-repot membawanya ke kamar untuk tidur dan melupakan ketakutannya. Kukunci pintu dan pergi ke kamar.

"Alexie jangan pergi," katanya cemberut dan kembali menarikku. Padahal aku hanya menarik selimut, "Aku bukan ayah dari anaknya, aku bahkan tidak pernah menyentuhnya."

Aku tersenyum, membelai pipinya dan mencubit hidung mancungnya. Dirinya langsung memelukku dan bersandar di dadaku, "Aku bahkan tidak percaya sama sekali," aku tertawa. Daddy masih memelukku dengan posisiku yang terduduk membuat punggungku sakit. Aku menarik tubuhku dan koala ini bersandar pada kepala ranjang kemudian mengelusnya pelan, pelukan eratnya kurasakan di punggungku dan hembusan napasnya yang semakin teratur di dadaku.

Apakah Daddy sudah tertidur?

BRAK BRAK BRAK BRAK BRAK

Lihat apa yang dilakukan jalang gila di luar sana. Dia menggedor-gedor pintu dan membuat Daddy ketakutan lagi, kulepaskan perlahan tangan kekar yang masih kokoh melingkar di punggungku dan kulepaskan lilitan hangat itu perlahan. Aku menyandarkan kepalanya dengan hati-hati di atas bantal, kemudian turun dari ranjang menuju si sialan yang berani-beraninya membuat Daddy menjadi seperti ini.

BRAK!

"APA MAU LO, BITCH?!" Teriakku padanya dan dibalas tatapan tajam olehnya. Aku membalas tatapan itu tak kalah tajam dan melangkah mendekatinya.

"Lo gak punya hak ngusir-usir gue dari sini!" Balasnya yang tak kuhiraukan. Aku melangkah cepat ke arahnya dan menjambak rambutnya yang panjang dan menjijikkan itu.

"A-AKH!"

"SEKARANG LO PERGI DARI SINI ATAU PERLU GUE SERET LO PULANG KE RUMAH LO!" Teriakkannya yang memilukan dan membuat telingaku sakit sudah pasti kuhiraukan. Tanganku masih menjambak rambutnya dan dia juga menjambakku tetapi aku tidak peduli, kuseret dirinya keluar dari halaman rumah Daddy dan melemparnya ke jalanan. Aku menatapnya marah di antara pagar rumah dan segera menutup pagar agar sialan di depanku ini tidak dapat masuk.

"Lo pergi atau gue laporin lo ke polisi! Lo ganggu ketenangan umum! Lo udah ngelakuin kejahatan dengan menganiaya gue! Dan, lo udah bikin Daddy gue depresi! Lo maksa Daddy buat nurutin kemauanlo yang nggak penting itu dan itu membuat Daddy gue ketakutan!  Jalang seperti lo gak pantes buat jadi pendamping hidupnya!"
Makiku terus menerus dan ancaman-ancaman dariku sepertinya menarik minat tetangga-tetanggaku yang ingin mengetahui keributan apa yang terjadi. Aku berusaha tidak peduli dengan tatapan-tatapan aneh dan bisikan-bisikan yang mengritik kejadian di depan mereka.

BRAK!

Aku menendang pagar yang menutup akses seseorang masuk wilayah rumah Daddy. Aku tak peduli dengan jalang yang menangis sedih tetapi menatapku tajam, membuat para warga yang melihat merasa iba dan menolongnya.

Kulangkahkan kaki memasuki rumah dan kembali mengunci pintu dari dalam. Aku kembali ke kamar dan masuk ke selimut bersama Daddy dan memeluknya erat, mengelus-elus punggungnya dan dirinya yang sepertinya merasakan kehadiranku, ikut memelukku dan membenamkan dagunya di pucuk kepalaku.

Hembusan napasnya teratur. Detak jantungnya juga masih sedikit cepat. Pelukannya rapat dan erat sekali. Aku merasa terlindungi walau oleh orang yang sedang ketakutan ini.

Aku menyayangimu, Daddy. Sangat.

I love you.

*

*

*

TBC

DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang