Daddy - 13 (Tamat)

117K 2.2K 172
                                    

Kakiku melangkah menaiki undakan-undakan sambil menggandeng ibuku yang terus berusaha melepas pautan tangan kami karena katanya memalukan buatku. Aku tidak peduli.

Sebenarnya apa yang memalukan dari menggandeng ibunya sendiri? Jika ada yang menghina ibuku maka sekarang akan kubuat mulutnya tak akan bisa berbicara lagi.

Kedatangan kami disambut baik oleh seseorang yang memakai pakaian pelayan. Suasana di dalam sini ramai dan gelap. Aku masih menggandeng ibu dengan Om Christian yang sudah memilihkan kursi untuk kami bertiga. Aku mendudukkan diriku di kursi dan memandang sesuatu yang indah di tempat yang jauh dariku.

Di bawah cahaya lampu yang menyorot pasangan yang berbahagia di sana, kulihat keduanya tersenyum bahagia. Aku menyangga daguku dengan jemariku yang saling bertaut, membiarkan semua kenangan selama aku bersama Daddy terputar di benakku. Kenangan-kenangan yang begitu manis dan indah, semua ekspresi yang pernah ditampilkannya padaku, semuanya tentang Daddy menyeruak berputar dalam pikiranku, membuatku sesak.

Pada akhirnya aku tetap orang asing.

Di sana Daddy berdansa sambil bernyanyi dengan suara yang sangat merdu dan indah. Aku baru tahu Daddy bisa bernyanyi dan itu sangat indah. Nadine dengan senyumannya berputar-putar dengan tangan yang tak lepas dari tangan Daddy.

"Nadine, aku ingin mengutarakan perasaanku padamu,"

Kurasakan aku susah bernapas dan airmataku sudah membanjiri pipi dan tanganku. Isakan kecilku terus menerus lolos memerhatikan mereka. Aku tersenyum kecut menertawakan diriku sendiri karena berpikir Daddy juga mencintaiku.

Setidaknya jika Daddy bahagia, aku pun ikut berbahagia.

"Nadine," Daddy berhenti sejenak sebelum mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, "aku mencintai nama yang tertulis di kertas ini."

Para tamu memekik tertahan. Nadine, matanya berbinar dan tangan mereka yang masih terpaut. Daddy melepaskan pautan tangan itu dan membuka lipatan kertas berwarna putih di sana. Aku memejamkan mata tak berani melihatnya lagi. Isakanku semakin kutahan dengan menutup mulutku namun aku malah tak berlari meninggalkan tempat ini.

"Aku mencintai Alexie Leona," rasanya jantungku berhenti berdetak. Aku mendongak melihat apa yang kudengar itu adalah kenyataan, lampu sorot langsung mengarah padaku membuatku menjadi fokus utama, "Aku mencintai wanita di sana."

Apa sebenarnya yang terjadi?

"Wanita yang menjagaku," aku semakin gugup ketika melihat sekitarku menatapku penuh minat meninggalkan perhatian dari Nadine yang menangis di depan sana.

"Wanita yang memelukku ketika aku ketakutan," langkah kaki Daddy semakin dekat dan dekat. Oh tidak.

"Ibu aku harus bagaimana?" Aku tak sengaja menggenggam erat tangan ibu. Ibu hanya mengelus tanganku dan tersenyum.

"Ikuti kata hatimu, sayang. Tidak ada paksaan kali ini." Ya. Ibu benar. Kali ini memang tak ada yang memaksa jawabanku, tetapi aku seakan terpaksa karen--bukankah aku memang mencintai Daddy?

"Ah, tidak ada tangisan di hari yang spesial ini," Daddy mengusap dengan sayang air mataku yang masih saja menetes. Senyumnya menenangkanku, "apa kau mau menjadi isteriku, Alexie Leona? Pilihannya iya, atau iya?"

Aku mencoba tersenyum namun menangis lagi. "Daddy," kalimatku terpotong olehnya yang membungkam bibirku dengan telunjuknya.

"Kevin, panggil aku Kevin Angkasa." Aku ditarik oleh Da-maksudku Kevin hingga bangkit dari dudukku, dirinya berlutut di depanku membuatku menutup mulut karena perlakuannya.

"Alexie Leona, maukah engkau menjadi isteriku?" Aku tak bisa berkata-kata dan tetap pada posisiku, jemariku digandeng olehnya tetap menjadi satu, "Menjadi pendamping hidupku, menjadi teman hidupku, menemani hari tua bersamaku, pengisi dalam hidupku, lalu menjadi yang pertama dan terakhir bagiku. Aku Kevin Angkasa melamarmu."

"Maukah kau menjadi isteri dari orang yang paling menyusahkan ini?" Aku menangis dan memeluknya, tak peduli apa pun aku memeluknya, rasa bahagia membuncah membuatku serasa melayang ke awang-awang, aku menggeleng dalam pelukannya, menangis, kudengar nada kecewa dari para tamu yang diundang.

"Aku tak bisa Kevin, maaf." Aku berlutut di depannya yang kini meneteskan airmatanya, kuusap dengan ibu jariku yang bergetar, kami saling menatap. Iris segelap malamnya melebur dengan iris coklat milikku, "aku tak bisa menolakmu, Kevin. Aku mencintaimu."

Kudengar sorakan dan tepukan tangan yang meriah, semuanya berada di sini. Semuanya, bahkan Lisa, Om David, Dien, Dynasti, bahkan tante Kinar. Kurasa aku melihat Yuan di antara kerumunan orang yang kukenal.

"Mari berpesta!" Teriak Om David bersama Om Christian yang kudengar dari sini. Para perempuan di sana --yang kukenal-- langsung heboh dan menggila. Aku sudah mengira.

Aku memeluk Kevin yang juga memelukku erat, menyalurkan rasa kami menjadi satu, cinta kami bertemu, dan bermuara di hati kami yang telah menjadi satu. Kini, di dalam hatiku terisi penuh oleh Kevin. Seperti namanya, rasa cintaku padanya, dan cintanya padaku tak terbatas oleh apa pun.

Cinta kami seluas angkasa, bahkan jauh lebih luas.

"Daddy, aku mencintaimu." Bisikku padanya.

"Aku tahu." Bisiknya menjawab bisikanku.

"Aku juga mencintaimu." Kataku seraya melepaskan pelukan ternyaman itu. Kevin mengeluarkan sesuatu dalam sakunya dan itu adalah sebuah kotak kecil berwarna putih yang indah. Dirinya membuka kotak itu dan menampilkan sepasang cincin yang begitu indah.

"Kemarikan jarimu," titahnya padaku dan sentuhan hangatnya membelai jemariku. Dirinya mengambil cincin yang ukurannya lebih kecil lalu memasangkannya di jari manis kiriku --yang tak kusangka begitu pas kukenakan-- kemudian menciumnya dengan lembut. Aku melakukan hal yang sama terhadapnya. Aku memasangkan cincin di jari manis kirinya kemudian mengelusnya.

"Maaf telah membuatmu menangis," katanya mengusap sisa airmataku dengan lembut. Kunikmati setiap belaiannya di pipiku. Setiap detik bagiku begitu berharga ketika bersamanya, "aku mencintaimu."

"Aku jauh mencintaimu."

"Aku yang sangat mencintaimu." Katanya tak mau mengalah. Kurasakan kecupan pada dahiku sebelum pelukan hangatnya menyapa tubuhku. Kini keramaian pesta bahkan tak kudengar karena aku bersemayam dalam pelukan erat dan paling nyaman itu.

"Daddy!" Aku menerjangnya, menciuminya tanpa ampun. Aku sangat menyukai untuk menciumnya dan kini dia membalas semua ciumanku. Aku menyukainya. Hehe.

***

Tidak akan lama lagi, kita akan mendengar suara lonceng pernikahan dari kejauhan. Menyambut pasangan baru dari kedua mempelai. Namun, saat ini kisah mereka belum berakhir di sini. Lembaran baru yang masih kosong akan diisi oleh kisah kehidupan mereka yang bahagia. Dan ini adalah sebagian kisah mereka.




TAMAT





Jatim, 17 Februari 2018

DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang