Khawatir (2)

8.9K 2.6K 216
                                    

Terharu? Mungkin itu yang tengah di rasakan Tanjung sekarang, Bagaimana tidak si Ema dasar bilang dia khawatir.

Hal yang di dengar Tanjung sangat jarang, Sebuah kalimat ke khawatiran.

Tanjung pernah ekspedisi merah putih di Trikora Papua lalu di lanjutkan dengan ekpedisi hutan belantara di sana.

Hutan seganas hutan Papua Tanjung ke sana bukan karena sudah merasa hebat namun karena Tanjung merasa lemah, Dia pergi untuk menjadi kuat, menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih bersyukur meski bermodal tekad tanpa satu orangpun yang mengkhwatirkan keadaannya.

Temannnya? Teman Tanjung sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, bahkan sudah ada yang beristri.

Juniornya? Mereka tidak akan khawatir karena tahu Tanjung berkompeten.

Keluarga? Ah, Tanjung tidak ingin membicarakannya.

"A.. apa Em?"

"Ema khawatir kak. Kakak tiba-tiba keluar kelas, Ema cari di UKM gak ada. Katanya kakak biasanya di sini makanya Ema ke sini" Ema mengakhiri sambungan telepon mereka, Gadis itu berjalan menghampiri Tanjung yang kini menatapnya aneh.

"Kak Tanjung" Ema melambaikan jemari lentiknya di depan wajah Tanjung hingga pemuda itu kembali menemukan kesadarannya.

"Dih, Malah ngelamun. Ini tas kak Tanjung, Ema mau pulang, Udah Sore nanti gak ada bus. Dah kak" Ema hendak beranjak saat Tanjung menahan lengannya.

"Ema udah di sini, Duduk aja dulu. Mau minum apa? Kopi? Teh? Susu? Atau mau makan gorengan? Pisang goreng? Tahu isi?" Tanjung menjabarkan menu andalannya di warung kopi kaki lima itu.

"Hahaha Kak Tanjung udah kayak yang punya tempat ini tahu gak, Ya udah deh Ema mau Teh" Ujar Ema yang akhirnya sudah duduk di satu bangku dengan Tanjung.

Tanjung dengan kopi susunya yang sudah dingin sementara Ema dengan teh hangatnya saling berhadapan dan melempar canda, Meski di sapu debu kendaraan yang lewat, Berjibaku dengan asap rokok pengunjung lain, Namun sepertinya Tanjung Ema tidak perduli, Mereka menciptakan garis, Garis batas dunia mereka berdua.

"Kak Tanjung gak apa-apakan?"

"Iya enggak kok" Tanjung tersenyum.

"Kenapa kak Tanjung marah sama pak Rudi tadi? Pak Rudi bilang apa? Pak Rudi nyinggung perasaan kak Tanjung?" Tebak Ema.

Tanjung terkekeh "Enggak Em, Pak Rudi gak salah. Salah kakak yang menganggap ini usaha kakak padahal nilai yang kakak dapat cuma karena dosennya kenal sama ayah"

Senyuman di wajah Ema memudar begitu melihat mata Tanjung yang sendu mengeluarkan kalimat uneg-unegnya.

"Enam Tahun kakak kuliah, kakak pernah satu semester gak masuk karena ada ekspedisi besar di Papua, Dan yang bikin shock tuh-" Tanjung tersenyum miris "Nilai teman-teman kakak yang ikut ekspedisi yang sama 'E' semua. Dan kakak dapat nilai yang wajar seolah kakak ini ikut kelas, ngumpulin tugas, ikut ujian padahal enggak"

"Kak-"

"Itu melukai harga diri kakak, Karena kakak mampu dapat nilai itu sendiri meskipun dengan terlambat. Perkara selesai dalam studi bukan tepat waktu, tapi pada waktu yang tepat" Penjelasan Tanjung hanya di balas anggukan pura-pura mengerti dari Ema.

Gadis itu tidak mengerti isi kepala Tanjung yang di berikan kemudahan tapi malah mau susah, Yang Ema tangkap Tanjung itu pria yang hanya mengakui kemenangannya kalau itu hasil jerih parahnya sendiri, bukan karena campur tangan orang lain. Yah, Kalau jadi pacar mungkin bias jadi Kak Tanjung tipe egois dan protective.

Lah kok malah bayangin jadi pacar Em?

"Kak Tanjung sering nongkrong di sini?" Ema mengalihkan pembicaraan.

"Iya, seru aja apalagi kalau udah malam, Biasanya banyak mahasiswa yang ngumpul di sini, Entah buat diskusi biasa atau sekedar ngopi" Tanjung melirik jam tangannya "Udah jam 7 Em, gak di cariin sama mamanya?"

"Eh iya, Ema mau pulang kak, Takut gak ada bus"

"Kakak anter yah?" Tawar Tanjung.

"Gak usah kak, Jauh. Ema gak enak"

"Sampai halte di depan UNHAS di perintis mau? Biar ga sambung menyambung bus lagi Em, Mau yah?"

Ema menimbang-nimbang jauhnya perjalanan dan ongkosnya yang sepertinya sudah tidak cukup gara-gara harus naik ojek online menyusul Tanjung tadi, Hingga akhirnya gadis chubby itu mengiyakannya.

"Ya udah kak, Yuk keburu macet"

Aku baru tahu kata khawatir teramat merdu begitu engkau yang melafalkannya untuk ku. Ema jika besok-besok aku marah pada mu, telepon aku bilang kamu khawatir maka aku akan lupa penyebab marah ku - Tanjung Enggar Ismail.

- To be continued -

(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)

TANJUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang