- Home

834 112 107
                                    

"Saya boarding, ya?"

Pamit itu memecah kesunyian di antara mereka berdua. Sejak tiba beberapa jam yang lalu hingga saat ini, keduanya hanya terdiam sambil berusaha menghibur diri dengan suara roda-roda yang berlalu.

Tidak berhasil.

Guanlin mengecek pas naiknya. Memastikan ia tidak terlambat. Seonho masih berdiam diri, mencengkram tangan kursi tunggu erat-erat.

"Saya mau lihat senyum kamu sebelum saya pergi."

Tatapan Guanlin tak kalah sendu. Tetapi semesta tahu mereka berusaha sama-sama kuat.

"Daritadi aku berusaha, Lin," kata Seonho akhirnya. "Siapa yang nggak senang kalau kamu bisa ketemu Ayah kamu lagi, belajar perfilman di tempat yang kamu suka..."

Guanlin memindahkan jemari Seonho dari atas tangan kursi ke dalam genggamannya.

"Aku masih bisa lihat kamu dari layar ponselku, kan?"

Tanyanya hanya dibalas dengan seulas senyum. Seonho melepas pegangan tangan mereka dan menginisiasi pelukan untuk yang terakhir kalinya, sampai entah kapan.

"Baik-baik di sana ya," bisiknya seraya menenggelamkan diri dalam aroma tubuh Guanlin yang akan sangat ia rindukan. Aroma yang tadinya hanya tercium dari sebuah jaket hitam di bangku bioskop.

"Saya akan menemui kamu." Guanlin mengusap kepala Seonho dengan sayang. "Oleh karenanya, sampai saat itu terjadi,"

Ia menyentuh wajah Seonho.

"Tolong jangan jatuh cinta dengan pria lain, Yoo Seonho. Itu sama saja dengan membunuh saya."

Dan memberi pemuda manis itu kecupan di hidung.

Committed affection.

.

.

-.-.-

.

.

"Baru juga sebentar, kok sudah tidur lagi?"

Hal pertama yang Seonho dengar setelah terbangun akibat kepalanya terantuk bahu Guanlin. Ia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya tanpa merespon pertanyaan lembut dari pemuda itu.

"Sabar. Sekembalinya dari sini kamu akan terbiasa dengan pesawat."

Ah, ia baru ingat. Mereka sedang dalam perjalanan udara dari New York ke Michigan. Entah bagaimana keinginan Seonho menengok rumah kecil keluarga mereka disambut sangat baik oleh ayah Guanlin—konkret malah, tiket pulang-pergi langsung ada di depan mata. Selain fakta bahwa biaya perjalanan ke sana jauh, jauh lebih murah dibandingkan dengan pergi ke state lain, mungkin ayah Guanlin juga memikirkan hal yang sama dengannya: tidak ada salahnya kalau dia tahu.

Kali ini Seonho sengaja menyandarkan kepalanya ke bahu Guanlin, sembari merapatkan jaket hitam dengan aroma yang paling ia sukai di dunia. Ia selalu mengotot agar Guanlin menjaganya baik-baik, jangan sampai benda itu jadi kumal dan terpaksa dibuang.

"Seperti ke luar kota saja, ya?" bisiknya. "Padahal kita sedang menuju negara bagian lain."

"Tepatnya ke dalam Glade," kata Guanlin bercanda.

"Jangan berlebihan, ah. Kampung halamanmu nggak semirip itu dengan Scorch Trials." Seonho menggerutu. "Ya... kalau dari yang kulihat di internet sih, begitu."

"Memang." Guanlin mendekap Seonho agar semakin dekat dengannya. "Tetapi nanti kamu harus siap untuk lari, ya?"

Lalu ia ikut memejamkan matanya. Terlelap.

Movie Buddy | GuanhoWhere stories live. Discover now