13

17 1 0
                                    

"Jangankan bertemu, menatapku sebentar saja sudah menangis,"

🍃

"Itu rumahnya?" tanya seorang pria paruh baya yang sudah menemani dan mengobati orang yang diajaknya bicara.

"Ya, rumahnya masih sama," jawab laki-laki yang duduk di kursi roda.

"Sebenarnya, kau tidak perlu ini, Bry, kau hanya takut, bukan lumpuh," kata pria itu.

"Harusnya aku tahu," Orang yang bernama Bryant berdiri dari kursi rodanya, kakinya bergetar menyentuh tanah.

"Aku akan menyimpan ini, kau, pergilah dan berdamailah dengan masa lalu."

"Dia bukan masa lalu, aku bahkan tidak tahu apa sebutan untuk kami,"

"Apa kalian menjalin suatu hubungan dulunya?" tanya pria paruh baya itu dengan senyuman dan kerutan ceria di matanya.

"Ya, kami berpacaran sebelum kejadian itu menimpa kami," jawab Bryant menatap pintu rumah yang ada di seberang depannya.

"Itu pasti memukul kalian berdua,"

Hening cukup lama, hanya ada suara mobil dan motor yang bersliweran ramah.

"Pergilah, aku akan menunggu disini. Bicara denganya, tapi jangan menyinggung perasaannya,"

"Bagaimana aku akan berbicara padanya jika melihatku saja sudah menangis, apalagi berbicara dengannya, dia pasti meludahiku," kata Bryant sinis.

Dokter masuk kedalam mobil pribadinya, "Kamu kan belum mencobanya, cobalah dulu, berdamai dengan masa lalu adalah suatu kemajuan pesat,"

Bryant menatap sekali lagi rumah di depannya, setelah menghirup nafas, akhirnya dia memberanikan diri berjalan menuju rumah itu dan sampai didepan pintu ber cat coklat pudar yang tertutup.

Dia mengetuknya, dengan degupan jantung yang tidak bisa dikendalikan, dia menghela nafasnya berkali-kali.

"Ya~" suara sambutan terhenti begitu saja. Keduanya yang kini saling menatap membuat keadaan semakin canggung.

"Hai, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," kata laki-laki itu setengah mati seperti berjalan di padang gurun dengan tenggorokanya yang minta dibasahi air.

Stella diam menatap baik-baik siapa yang ada didepan rumahnya, tidak salah lagi, ini pasti dia. Stella kemudian bimbang ingin mengajaknya masuk atau biar diluar saja.

"Stella?" Suaranya yang masih sama hanya saja bertambah berat dan Stella hampir menyukainya lagi.

Stella menghirup nafas, dia tidak sadar dia sudah menghentikan proses respirasi-nya hanya untuk menamatkan siapa orang yang berdiri di depannya saat ini.

"Kita ngrobrol di luar aja, lagian gak panas juga," kata Stella menutup pintu rumahnya dibelakang punggungnya, dia merapalkan doa dan harapan dalam hatinya, harap-harap suatu yang dipikirkannya saat ini tidak jadi kenyataan.

"Stel, aku mau minta maaf," kata Bryant akhirnya.

"Buat apa?" tanya Stella sok polos, sebenarnya ia tahu semuanya, Stella tahu Bryant akan meminta maaf tapi Stella tidak tahu jika Bryant melakukannya sekarang.

"Buat semuanya, buat tante Wira, buat temen kamu dan khususnya kamu, aku minta maaf banget," katanya mengulang.

Stella memang tidak siap mendengar bagaimana ceritanya Bryant bisa menabrak Wira, ibu Stella. Tapi siap tidak siap Stella pasti akan mendengarnya kan?

Kali ini Stella mendengarnya menurut sudut pandang Bryant, yang ia tuduh sebagai pembunuh Wira.

"Jelasin," katanya singkat.

PIECES ✔Where stories live. Discover now