Mengingat 'Part 1'

24 1 0
                                    

Aku tak ingin mengenangmu sebagai serpihan kaca karena menyakitkan. Apalagi butiran debu karena kecil. Tapi, sebagai bulan karena selalu kutunggu saat malam datang.

Frey adalah sahabatnya sejak Raina berumur lima tahun. Mereka bertetangga dan bersekolah di TK yang sama. Keduanya bahkan bermain dan melakukan segalanya bersama, entah itu menjahili teman sekelas, orang lain, bahkan guru sekali pun. Otak dari kenakalan itu berasal dari Frey. Jangan heran bila beberapa kali orang tua Frey di panggil ke sekolah karena kelakuan anaknya. Tetap saja Frey tak jera. Toh itu menyenangkan.

Saat SD Raina satu atap dengan Frey. Dia tak bosan sedikit pun, walaupun tiap detik melihat Frey dia tak pernah bosan justru mengasyikan bisa berada di samping Frey. Kejahilan dan tawanya tak bisa di hilangkan begitu saja.

Setahun berlalu, ketika Raina dan Frey kelas 2 SD, Raina mengalami kecelakaan sebagai korban tabrak lari sepulang sekolah. Lumayan parah. Dia juga sempat koma atas kecelakaan itu. Lebih menyakitkannya lagi sebagian wajah Raina rusak karena terseret beberapa meter di jalan beraspal. Wajah cantiknya tak seperti dulu lagi.

Lantas Frey tak meninggalkan Raina atas musibah itu. Frey menguatkan Raina untuk kembali bersekolah setelah tiga bulan lamanya absen karena sakit dan takut teman-temannya tak menerima Raina. Benar saja semua itu tidaklah mudah.

Baru haru pertama sekolah setelah absen tiga bulan, teman-temannya memberikan tatapan aneh pada Raina. Entah itu jijik, aneh, juga ngeri. Raina jelas merasakan perubahan sikap teman sekelasnya.

Sehari berlalu tak begitu ketara. Tapi hari demi berlalu bahkan minggu semuanya bertambah parah. Sebagian teman-teman Raina mencemooh bahkan mengatai kondisi wajah Raina. Frey tetap membela. Melindungi Raina dari kenakalan teman sekelasnya yang tak tahu apa-apa tentang Raina. Bahkan Frey juga menyemangati Raina agar menerima dan tak menanggapi omongan teman sekelasnya sebab segalanya akan berubah seiring berjalannya waktu.

Seiring berjalannya waktu, Frey selalu menjadi tameng Raina di sekolah. Gadis itu selalu menemani Raina kemana pun Raina pergi. Barang kali ada yang menyakiti Raina atau mengusiknya. Boleh dibilang Frey ini seperti bodyguard Raina. Frey juga tak pernah menolak bantuan Raina. Selalu berkata ya. Namun, adakalanya Raina tak bergantung pada Frey. Kalau dia bisa melakukannya sendiri dia tak meminta Frey untuk menolonnya.

Tiga tahun berlalu dan hubungan Frey dengan Raina semakin akrab. Keduanya seperti saudara kembar yang tidak bisa di pisahkan. Teman-teman kelas Raina masih belum juga berubah. Mereka masih melakukan kenakalan pada Raina. Bukannya mulai tobat, mereka berulah tambah parah.

Pernah sekali Frey tidak masuk sekolah karena sakit. Pulangnya Raina di bully dan rambutnya di acak sana-sini. Dia menangis. Ingin melawan tapi tak bisa. Ia sadar perbedaannya tak serta merta di terima oleh semua orang di sekolah. Sebegitu jeleknyakah dia?

Sepanjang perjalanan pulang sekolah, Raina menangis dengan kencang. Bekas lukanya tak kunjung hilang, bahkan bentuk rahangnya tak seperti dulu. Cenderung miring. Ia sadar itu. Tapi kenapa semua orang justru menatapnya begitu? Mengatai dan mencemoohnya dengan sumpah serapah. Apa salah dia? Bukankah dia juga makan nasi seperti mereka? Toh dia juga tak ingin memiliki wajah seperti ini. Apapun itu ia suka dengan wajahnya yang dulu.

Hingga Mama bertanya kenapa Raina pulang dengan penampilan begitu, Raina bilang bahwa ini karena dia bermain dulu saat pulang sekolah dan terjatuh. Mamanya pun tetap percaya dengan penjelasan klasik dari putri kesayangannya.

Raina selalu menangis ketika memandangi foto dirinya di masa lalu ketika acara kelulusan TK dan kenaikan kelas 2. Dia dan Frey sama-sama cantik. Dan kecelakaan itulah yang mengubah semuanya. Terutama kehidupan Raina.

Paginya Frey datang ke rumah Raina untuk mengajaknya berangkat bersama. Raina tidak mau. Ia teringat kejadian saat sepulang sekolah. Frey tetap memaksa Raina untuk berangkat dengan janji akan menghajar orang yang menjahati Raina. Benar saja. Sesampainya di sekolah Frey menghajar murid yang menjahati Raina kemarin.

Orang tua Frey kembali di panggil ke sekolah. Guru bilang pada mereka agar Frey tak berulah lagi. Orang tuanya menyanggupi dan sempat melarang Frey untuk tidak berdekatan dulu dengan Raina. Disitu Raina sedih.

Tak ada lagi orang yang akan menemaninya kemana pun ia melangkah. Ia juga takut barang kali bertemu orang jahat seperti teman-temannya. Ia takut berangkat sekolah. Bahkan pernah sekali Mama mengantar dan menemaninya di sekolah. Raina merasa nyaman sebab Mama melindunginya. Tatapan mereka juga berubah. Tapi tak berlangsung lama sebab Mama bilang pada Raina kalau Raina sudah besar dan harus menghadapi semuanya sendiri.

Orang tua Frey tak lagi melarang Fret untuk bermain bersama Raina setelah dua bulan berlalu. Mereka melakukan banyak hal bersama setelah dua bulan saling merasa sepi dan menjadi penyendiri. Apapun itu sepuas-puasnya Raina dan Frey bermain. Berkeliling kompleks dan kembali menjahili orang lain. Keterlaluan. Tapi begitulah kelakuan Frey.

Saat itu bulan April. Di bulan Mei akhir, sekolah mengadakan ujian akhir semester kenaikan kelas. Keduanya mengikuti dengan tenang. Saat lulus pun Raina dan Frey sama-sama mendapat nilai bagus. Masuk di sepuluh besat walaupun Raina yang lebih unggul karena berbeda satu peringkat daripada Frey. Tetap saja Frey tak merasa iri justru dia bangga atas pencapaian sahabatnya.

FriendsWhere stories live. Discover now