Ketetapan

6 0 0
                                    

Keesokannya, Raina masih menunggu kabar dari Frey. Padahal ia berharap Frey akan menelponnya untuk memberi kabar terbaru mengingat ia pernah mengirim nomor teleponnya pada Frey dua bulan lalu. Semisal gadis itu tidak menelpon, kemungkinan besar nomornya tidak simpan sama sekali.

Frey menatap layar televisinya yang menampilkan acara sinetron favorit Mama. Sumpah demi apapun ia sama sekali tidak tertarik menonton acara itu walaupun di bayar semiliar pun. Tapi berbeda dengan Mama sangat amat antusias dan tak pernah ketinggalan tiap adegan di sinetron tersebut.

" Kalau Frey tidak jadi kesini bagaimana?"

Mama diam. Entah itu karena tak dengar anak perempuannya bertanya atau terlanjur masuk ke suasana di sinetron.

Raina mungkin kecewa bila Frey membatalkan kunjungannya untuk bertemu dengannya. Setelah 10 tahun berpisah ia selalu menunggu-nunggu momen haru ini. Lalu apabila memang benar Frey batal untuk datang, ia bisa merasakan rindu pada sahabatnya itu berubah jadi lara.

" Kalau menurut Mama, Frey itu bukan seseorang yang akan ingkar janji." Komentar Mama yang langsubg disetujui oleh Raina.

Selama ini, sejak pertama Raina bertemu Frey. Belum pernah sekali pun Frey mengingkari janji dengannya. Saat memiliki janji bermain pun, Frey selalu on time. Ini juga berlaku ketika Frey benjanji akan memberi pelajaran pada siapa saja yang berani mengganggu Raina. Benar saja, Frey melakukannya dengan memukul para pengganggu itu.

" Apa kamu sudah tidak sabar?"

" Yahh. Mama tahu kan kalau selama disini aku jarang memiliki teman yang seperti Frey. Beruntung aku memiliki teman seperti dia."

Raina dan Mamanya menoleh ke arah pintu karena mendengar bel. Mama segera bangkit, begitu pula dengan Raina. Gadis itu mengekori Mama di belakang.

Raina menunggu di dalam rumah. Mama setengah berlari ke halaman. Menghampiri seseorang. Sekilas Raina amat penasaran tapi tak bertahan lama karena tahu seseorang itu adalah pria.

Pria berseragam orange hampir membuat Raina berlari meninggalkan rumah. Tapi ia urungkan karena berpikir sudah ada Mama disana. Entah apa yang Mama bicarakan dan lakukan, di tempatnya berdiri Raina begitu memerhatikan.

Tak selang lima menit, pria berseragam orange itu meninggalkan gerbang. Mama kembali dengan bingkisan berukuran besar di tangannya yang penuh nuansa biru dan pita merah yang menghiasinya.

" Dari siapa?" Raina bertanya.

" Wah... Dari Frey." Mata Mama berbinar. Mama memberikan bingkisan itu pada Raina. Merasa Raina lebih berhak atas pemberian Frey, sahabatnya. " Mama pikir dari Ayah." Gumamnya.

Raina segera membawa bingkisan dari Frey ke ruang tamu. Memisahkan diri dari Mama yang berada di ruang tengah. Dengan hati-hati Raina membuka bingkisan itu. Tapi, sepucuk surat menghentikannya sesaat.

Sahabatku tersayang, Raina. Maaf karena mungkin surat ini terlalu telat untuk sampai atau ku tulis. Selamat ulang tahun, dear. Mungkin aku bukan pertama yang mengucapkan. Sebelumnya aku ingin mengingatkan kalau kamu bertambah tua, ingat? Bukan lagi siswi berseragam merah putih atau putih biru terlebih abu-abu. Ya, kan?

Di tahun ini harapanku untukmu masih sama seperti yang kemarin. Hey! Bukan berarti aku tidak kreatif atau malas atau bagaimana ya, Rai. Bukankah yang penting ketulisannya? Tapi bedanya semoga kelak waktu mengubah segalanya menjadi lebih baik, semakin menguatkanmu untuk selalu berdiri, lalu menjadi gadis baik yang mandiri, peka terhadap situasi dan kondisi, dan terakhir bertemu dengan seseorang yang mampu menjaga juga menopangmu kala kamu jatuh, memgobati setiap luka hingga menemanimu saat sepi.

Doaku belum seberapa, kan. Aku juga memberikanmu hadiah. Aku bingung harus memberi apa. Tapi, aku harap kamu suka karena aku juga selalu suka. Butuh bertahun-tahun untuk menemukannya karena ku kira sempat hilang.

Raina mengeluarkan bingkai foto berframe kayu ditengahnya terdapat foto yang membuatnya hampir tertawa.

Oh, apa kamu melihatnya? Foto lama sih. Tapi, sudah ku edit jadi kelihatan baru. Ingatkan foto itu?

Ia mengangguk, kenangan itu belum ia lupakan. Masih terekam jelas di otaknya.

Saat itu ketika kelas 2 SD, Frey dan Raina mengikuti acara Best Camp in the Sky. Acara itu sama saja dengan berkemah seperti biasanya. Tempatnya berada di sebuah lapangan luas yang saat itu langitnya sedang cerah karena musim panas. Tenda-tenda di dirikan mengelilingi api unggun. Frey dan Raina duduk membelakangi api unggun di atas hamparan rumput. Keduanya duduk berjejeran, membentuk senyum lebar sambil mengangkat jagung bakar setengah gosong.

Di bingkisan itu juga terdapat boneka teddy bear besar berwarna cokelat. Ia memeluknya sangat erat. Sangat lembut juga empuk.

Raina kembali membaca surat dari Frey.

Wah, kalau boleh aku ingin kesana lagi, Rai. Temani ya. Pasti seru. Aku malah ingin melihat langit saat malam. Pasti indah. Berhubung di sana musim panas, aku ingin melihatnya.

Aku tahu kamu suka teddy. Selama 10 tahun aku tidak pernah memberimu teddy. Mungkin ini yang terkeren, namanya Frea, singkatan dari Frey Raina. Dia akan jadi teman tidurmu Rai.

Aku pernah bilang akan mengirimkan foto Drew kan? Itu dia fotonya.

Segera Raina mengobrak-abrik seisi bingkisan. Penasaran dengan foto Drew yang dimaksud Frey barusan. Ia membuka amplop yang membungkus surat tadi. Barangkali Frey meletakkannya disitu.

Dia lelaki baik yang kutemui, Rai. Aku juga pernah menceritakan kamu padanya. Dia bilang bangga padamu. Dia juga berpesan agar kamu jangan pantang menyerah. Semua akan indah pada waktunya seperti bunga sakura yang mekar.

Jangan ditatap nanti malah kamu suka.

Senyum Raina merekah. Ia menjauhkan foto Drew darinya. Lagipula ia juga tak berminat pada lelaki yang dipanggil Drew itu. Walaupun hanya selembar foto, tapi Raina bisa mengetahui kalau Drew ini memang baik seperti kata Frey. Frey tidak salah memilih Drew.

Sudah ya, aku harus kembali ke sekolah untuk mengurus surat-surat dan data lain. Salam untuk Mamamu dan Ayah kalau aku rindu mereka. Aku juga rindu padamu, Rai.

Boneka teddy yang diberikan Frey seperti tengah menatapnya. Mata hitamnya tampak kosong karena baru bertemu majikan baru yang seperti ini.

Ugh... Tatapannya jelek sekali. Kamu mengejek aku buang di danau nanti. Batin Raina.

Sementara di ruang tengah, Mama mengambil alih televisi. Memosisikan dirinya di sofa. Tampak tiduran. Di dekat lemari kaca telepon berdering, Mama menyuruh Raina untuk mengangkatnya.

Dengan malas sambil di menggendong Frea, ia berdiri di depan telepon rumah. Seorang wanita tampak berbicara disana. Raina mendengarkan, beberapa saat kemudian tanpa sengaja teleponnya terjatuh ke lantai dan jantungnya berdebar hebat.

FriendsHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin