karangan sembilan-bagian dua

16 3 0
                                    

Bagian 2

"Gue suka kacang ijonya sih parah!" suara berat Zidan terdengar dari luar.
"Kalau Zerra suka ketan hitamnya kak! Enak asli."
"Saya suka kamu aja mas!" penjual burjo genit itu menyela,  kata-katanya mengundang gelak tawa Zidan dan Zerra. 

Mereka berdua duduk manis dibalik spanduk tipis di pinggiran jalan raya tak jauh dari sekolah mereka. Sudah menjelang senja,  mereka lupa waktu.  Atau mungkin sudah berjanjian sengaja  saling melupakan? 

"Kak,  Zerra duluan ya. Udah sore banget. Takut juga kalau naik busway kemaleman." Zidan menoleh, sial Zerra tersipu!
"Harus banget naik busway? Udah bareng gue bisa kali." Zerra melongo, di mulutnya seperti keluar pelangi warna-warni.  Apalagi di perutnya bukan lagi kupu-kupu semua hewan se kebun binatang ada.
"Rumah Zerra jauh kak,  jangan deh mending,"
"Cewek itu gaboleh naik busway malem-malem,  yuk cabut!" Zidan mengelus pundak Zerra lembut. Sisa jari tangannya menempel di seragam Zerra hingga saat ini.
Zerra tidak tau lagi,  otak nya kosong sedari tadi dirinya hanya melongo tak percaya.  Kalau ini mimpi Zerra tentu sudah terbangun,  sayangnya ini bukan mimpi,  imajinasi,  atau illusi.  Ini nyata.
Motor Zidan melaju kencang, hawa dingin dan kekhawatiran Zerra menghangat bersama dengan hatinya. 

-

"Ada titipan dari Mama gue,  bentar ya." Zidan memarkirkan motornya di sebuah minimarket, jarak minimarket dan rumah Zerra sudah dekat. Zerra memutuskan menunggu di kursi luar sambil memainkan smartphone nya. Ia harus segera mengabari teman-temanya akan hal ini.  Ines dan Kora pasti akan terjaga sepanjang malam nanti mendengarkan voice call Zerra yang sudah di prediksi akan menggebu-gebu.

Kediaman Zerra jauh dari hingar-bingar pusat kota. Rumah Zerra memang lumayan luas,  sudah luas malah. Menjadikan rumah gaya lawas tersebut sangat ikonik dan menonjol di banding yang lain.

"Kamu mirip anak saya. Saya jadi rindu suami saya." suara dingin itu menyeruak di belakang punggu Zidan.
Zidan tersentak hingga menjatuhkan beberapa mie instant dari raknya.
Ibu itu mengulurkan tangannya,  memegang pipi Zidan.

"Saya jadi rindu suami saya, sebentar lagi dia pulang," bisik nya tanpa ekspresi.

Zidan melangkah mundur gemetaran.  Wajah ibu tadi sangat seram,  malam-malam begini di supermarket yang tidak banyak pembeli. Membayangkan ibu ini baru saja menyentuh pipinya Saddam menjadi ngeri sendiri.
"Su-suami ibu pasti sudah nunggu di ru-rumah, saya permis-si," Saddam berlari menuju kasir. Mengantar Zerra pulang dan menarik nafas.

-

Zidan belum beranjak dari tematnya menurunkan Zerra tadi.  Ia memejamkan mata nya beberapa kali dan menarik nafas panjang.  Keringatnya terus mengucur bersamaan angin malam yang meniup daun telinganya.

"Nak, kamu belum pulang."

Sial!  Suara ibu-ibu di supermarket tadi.  Zidan membeku ketika ibu tadi berjalan di depannya seolah menodong nya untuk tidak pulang kerumah.
"Maaf bu, saya mau pulang. Suami ibu pasti sudah nunggu, " Zidan menggigil saking kakutnya.
"Suami saya sudah meninggal,  biasanya mobilnya terparkir disitu. Tapi beliau baru saja wafat tiga bulan lalu. "
Zidan melongo,  perempuan itu terus menunjuk rumah Zerra. Pikiran Zidan mulai berkecamuk. Tanpa membuang waktu Zidan mengegas motornya dengan kekuatan penuh.

Sial sial sial!

Karangan Tanpa TintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang