#074 esastories

2.7K 424 36
                                    

The Hurtful Truth

Satu minggu ini bisa dibilang satu minggu terberat buat seorang Putra. Siapa pun yang mengenal dekat Putra, pasti melihat ada sedikit perbedaan darinya. Tidak seceria biasanya. Tidak sejahil biasanya. Walaupun pada akhirnya ia selalu bisa menutupi kegalauannya dengan senyum atau bahkan tawa.

Galau? Iya, akhirnya Putra mengakui kalau sebenarnya ia sedang galau. Kejadian dua minggu lalu ternyata tidak bisa begitu saja ia hapus dari memorinya. Bahkan setiap adegannya pun masih tergambar jelas seperti scene film yang diputar berulang-ulang. Bagaimana mereka memandang satu sama lain. Bagaimana Fira dipeluk oleh laki-laki misterius itu. Bagaimana Fira tersenyum setelahnya. Kata orang, waktu bisa menyembuhkan luka sebesar apapun. Tapi sepertinya dua minggu belum cukup untuk Putra melupakan semua itu begitu saja.

Rasa galau itu juga yang akhirnya membuat Putra memberanikan diri menemui Fira di rumahnya. Apapun hasilnya nanti, apapun yang terjadi, Putra harus menyampaikan semua ini ke Fira. Sebelum Fira pergi lagi ke Inggris. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum rasa sesak di dadanya meledak. Sebelum Putra menyesali apa yang tidak ia perbuat. Padahal dirinya tau betul, bahwa ia sebenarnya sudah menyesal.

"Assalamualaikum." Ucap Putra saat ia sampai di depan pintu rumah Fira. Langit sore itu tidak bisa diajak bekerja sama dengan Putra, yang mengharapkan sinar matahari untuk merubah suasana hatinya.
"Waalaikumsalam. Eeeh Putra! Apa kabar kamu? Masuk sini yuk." Putra disambut oleh Ayah Fira yang langsung tersenyum lebar saat melihatnya.
"Baik om, alhamdulillah. Om sama tante baik-baik juga?"
"Alhamdulillah om sama tante juga baik. Nyari Fira ya? Bentar ya om panggilin dulu," Ayah Fira langsung masuk ke dalam sambil memanggil Fira, memberitau Putra menunggunya di ruang tamu.

"Ta.." sapa Fira begitu masuk ke ruang tamu. Tidak lupa senyuman khasnya yang selalu membuat Putra ikut tersenyum.
"Hey," canggung, Putra sendiri pun merasakan bahwa ada kecanggungan di dalam dirinya kali ini. Aneh sekali, tidak biasanya ia merasa canggung seperti ini. "Udah beres packingnya?"
"Belum sih, dikit lagi. Kalo langsung diberesin gue suka lupa, ada aja yang ketinggalan." jawab Fira yang dibalas anggukan oleh Putra.
"Jadinya lo berangkat kapan? Sabtu apa minggu? Kok molor satu minggu sih?"
"Jumat. Iya biasa lah gue terlalu betah di Bandung makanya males balik kesana lagi."
"Oh..," Putra mengangguk lagi. Mengalihkan pandangannya ke sekeliling rumah Fira sambil mengetukkan jari-jarinya ke pahanya sendiri. "Fir, ada yang mau gue omongin."
"Hmm?" alis Fira naik, menunjukkan ketertarikan dan rasa penasaran tentang apa yang akan disampaikan Putra.
"Gue sayang sama lo Fir." Fira tidak kaget mendengarnya. Karena ya memang mereka sudah sama-sama tau hal itu. Bahwa Putra sayang Fira. Sejak lama.
"Gue juga sayang sama lo, Ta." Tidak susah bagi Putra untuk melihat ada sedikit rasa bersalah yang tersirat dari senyuman Fira saat mengatakan itu. Putra hanya bisa tersenyum getir.
"Tapi gue udah telat, ya, Fir?" Fira menunduk, menghela napas. Raut wajahnya langsung berubah menjadi sedih. Ternyata Putra merasakan ada yang berubah, batinnya. Fira terdiam lama sekali, tidak tau apa yang harus ia jelaskan pada Putra.
"Dua minggu lalu gue kesini, Fir. Ngga masuk sih, tadinya mau emang. Cuma gue liat lo, dianterin pulang." Putra tersenyum. Bisa-bisanya ia masih tersenyum mengatakan semua ini saat hatinya tersayat di setiap kata yang ia ucapkan.
"Dia temen smp gue, Ta. Sempet ketemu di Inggris, tapi ngga satu kampus sama gue. Terus ketemu lagi pas kemaren itu." Fira akhirnya memberanikan diri untuk menatap Putra, sambil bersusah payah menahan air matanya. "Maafin gue, Ta, gue yang malah—"
"Jangan, Fir. Jangan minta maaf, gue mohon. Gue yang tolol kelamaan gerak. Maafin gue ya?" Perlahan air mata Fira menetes, perasaannya campur aduk.
"Harusnya gue minta lo jadi pacar gue dari lama. Ini guenya yang egois. Gue terlalu menikmati comfort zone gue karena kita udah tau perasaan kita masing-masing. Gue yang masih terjebak sama pikiran gue sendiri kalo kita ngga butuh status karena sebenernya kita selalu pulang ke hati yang sama. Padahal, lo juga butuh kepastian, kan ya?" Putra tertawa miris, menertawai kebodohannya selama ini.

"Ta..,"
"Lo ngga usah jelasin apa-apa kok, Fir. Gue percaya sama lo. Gue percaya apa pun yang lo lakuin itu pasti ada alasannya. Jadi lo ngga usah ngerasa ngga enak ke gue." Putra menghapus air mata Fira dengan ibu jarinya. Harusnya Fira tidak perlu menangis seperti ini, merasa bersalah seperti ini. Karena semuanya terjadi karena kesalahan Putra.
"Gue ngga setia ya, Ta?"
"Setia kok. Lo udah nunjukkin ke gue kalo lo setia. Emang guenya aja yang lama gerak. Gue gatau gue titisan siput atau kura-kura." Fira tertawa sebentar di tengah-tengah tangisnya. Heran bisa-bisanya lagi sedih begini Putra ngelucu.

Di dalam keheningan malam itu, mereka sesekali berbalas tatapan mata. Seolah berkomunikasi dalam diam. Air mata Fira masih mengalir, tapi tidak sederas sebelumnya. Melihat Fira masih menangis, akhirnya Putra membawanya ke pelukannya.
"Maafin gue yang udah bikin lo lama nunggu kaya gini ya Fir. Gue ngga pantes dapet lo. Lo juga berhak bahagia." Ucapnya pelan sambil mengelus punggung Fira, menenangkan tangisannya. Dada Putra terasa sesak lagi, sesaat sebelum ia akhirnya mengatakan hal selanjutnya,

"Bahagia sama dia ya Fir. Demi gue."

allthingsnice 1.0Where stories live. Discover now