#096 ejastories

2.8K 446 176
                                    



Memang sudah mutlak kalau setiap masalah harus dibicarakan baik-baik, heart to heart, face to face. Jadi semuanya jelas, tanpa satu pihak menjudge pihak yang lain. Tanpa ada konklusi yang tidak berdasar. Walaupun terkadang, menyaksikan fakta yang ada dengan mata kita sendiri, rasanya jauh lebih berguna dari sekedar penjelasan yang bahkan kita tidak tau batas dari nyata atau jujurnya penjelasan tersebut.

Tapi bagi Aina, sejauh ini menyaksikan apa yang terjadi ternyata belum cukup menjawab semua pertanyaan di dalam otaknya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang menghantui Aina bahkan sampai ke dalam tidurnya. Pertanyaan-pertanyaan yang kalau terus dibiarkan tidak terjawab, bisa membuat Aina menyimpulkan sesuatu berdasarkan tebakannya sendiri. Dan Aina tidak mau hal itu terjadi.

Mau tak mau, satu hari sebelum wisuda, Aina memberanikan diri pergi ke tempat Reza berada setelah diinfokan Putra, setelah satu jam memikirkan perkataan Lea sore kemarin, 'Na, mungkin aku belum berani kalo harus ngelakuin ini, tapi mending kamu omongin ke eja. Terus-terusan menyaksikan tanpa tau ada apa, juga kan sakit ke kamunya'

Dalam perjalanan Aina terus berfikir, apa yang baiknya ia tanyakan pada Reza. Bagaimana cara menyampaikan apa yang selama ini dipendam. Bagaimana supaya apapun yang dikatakan Reza, semua itu jujur. Tapi rasanya sulit, ya, untuk mengukur batas kejujuran dari perkataan seseorang. Jadinya Aina sudah siap mendengar penjelasan apapun dari Reza, baik atau buruk.

Menurut Putra, keperluan Reza berada disana adalah untuk memberikan bimbingan terakhir kepada junior junior di kepresma. Sekalian menitipkan kepresma mungkin, karena setelah wisuda Reza tidak akan ada untuk membantu mereka seperti dulu. Tapi siapa yang akan menduga kalau sehari sebelum wisuda pun, Aina untuk kesekian kalinya menyaksikan Dea ada di samping Reza. Gila, Za, bahkan h-1 aja kamu masih ketemu sama Dea. Setahan itu kamu ngga ngehubungi aku.

Kalau Aina lagi nggak waras bisa saja sekarang Aina jalan dengan marah ke arah mereka, lalu menyiramkan kopi panas ke muka Dea, di depan semua orang. Terus mulai semua adegan drama ala ftv dimana si pemeran utama perempuan yang cemburu teriak teriak dan hanya bisa dibalas oleh penjelasan singkat dan terbata dari pemeran utama laki laki yang merasa bersalah karena sudah tertangkap basah. Tapi karena menurut Aina hidup itu terlalu singkat untuk dipakai marah marah nggak jelas, Aina tidak melakukan adegan ftv itu.

Aina membalikkan badannya satu menit, menghela napas agar tidak dikuasai oleh cemburu dan amarah. Setelah kewarasannya terkumpul, Aina kembali berjalan ke tempat dimana Reza dan teman-temannya berada. Dan aw, ternyata dari radius 100 meter saja Aina bisa lihat dengan jelas, Dea sedang bergelayut mesra di pundak Reza.

"Ehmmm... Halo.." Semua junior yang ada di meja itu seketika berdiri dan membungkukkan badannya terlalu formal saat Aina datang. Terlihat sekali dari mimik muka Reza kalau ia terkejut dengan adanya Aina di samping meja mereka. Dea pun langsung melepaskan tangannya dari Reza. "Aduh jangan kaya gitu ah kalian, aku bukan Presiden. Aku mau pinjem Reza sebentar boleh ya? De, aku pinjem Reza nya dulu." Kesambet apa Aina izin segala ke Dea.

Aina memilih meja yang agak jauh dari tempat dimana Reza sedang rapat dengan junior juniornya itu. Sengaja, supaya nantinya tidak ada yang mengganggu dan tidak ada yang mencuri dengan pembicaraan mereka. Aina tenang sekali, tersenyum kepada Reza yang sebenarnya sudah ia rindukan itu, saat mereka duduk berhadapan.

"Apa kabar, Za?"

"Baik, Na, kamu... gimana?" jawab Reza dengan ekspresi campuran antara kaget, rindu, merasa bersalah. Tapi dari caranya berbicara, Aina tau kalau Reza panik dengan kedatangan Aina yang sangat tiba-tiba dan tidak diharapkan ini.

"Baik juga kok." Melihat Reza yang gelisah, Aina jadi merasa bersalah telah datang tidak diundang. "Kamu kok gelisah gitu, Za. Aku ngga diharapkan datang ya. Maaf ya.."

"Bukan gitu.. Na, nggak gitu.. Aku.." Reza menghela napas, frustasi memikirkan harus menjelaskan apa ke Aina yang tidak menyakiti hatinya.

"Kenapa, Za? Kamu kenapa?" dari nada bicaranya saja Reza tau kalau Aina butuh penjelasan dari semua yang terjadi belakangan ini.

"Aku.. " Reza terdiam sebelum melanjutkan omongannya. Menatap Aina yang sedang sabar menunggu. "Aku jenuh, Na."

Alasan yang sebenarnya Aina takutkan itu akhirnya terucap juga dari mulut Reza sendiri. Walaupun jauh di lubuk hatinya Aina sudah tau kalau Reza memang jenuh, tetap saja ada rasa sakit saat mendengarnya langsung dari Reza.

"Aku cape. Aku lagi ngejar deadline yang aku buat sendiri. Aku mau beresin kerjaan aku sebelum wisuda, jadi nanti aku ninggalin kepresma udah rapi. Junior junior itu masih butuh bimbingan banget susah dikasih tau, susah ngerti. Aku juga cape kalo harus ngadepin kamu yang cemburu sama Dea, Na."

"Iya, Za. Maafin aku yang ngga bisa ngerti kamu yang banyak kerjaan ya. Aku salah terlalu egois pengennya kamu sama aku mulu. Jadinya aku ngga ngasih kamu space."

"Coba deh, Na, jelasin ke aku kenapa kamu cemburu sama Dea."

"Kalo waktu itu, aku cemburu sama Dea karena kamu bisa cepet banget batalin janji sama aku cuma buat nemenin dia. Tapi kan, itu karena dia ngga tau jalan ya jadi aku ngga boleh cemburu?"

"Ngga gitu, Na.."

"Aku ngga cemburu sebenernya sama Dea tuh. Aku cuma apa ya. Aku takut, kayaknya. Aku tau kamu jenuh, Za, kita udah tujuh tahun juga. Aku takut pas kamu lagi begini, terus dengan intensitas kamu ketemu Dea, kamu bakal beneran ke dia. Dia kan udah suka sama kamu dari lama."

"Na sebenernya.." Reza menghela napas lagi untuk yang kesekian kalinya. Siap dengan segala amarah, tamparan, pukulan, dari Aina setelah mendengar apa yang akan ia katakan selanjutnya. "Jujur belakangan ini aku nyaman sama Dea."

Hujan badai rasanya hari itu di sekitar Aina. Petir bahkan, dan Aina seperti tersambar oleh petir itu. Hal yang memang ditakutkan oleh Aina ternyata memang sudah terjadi. Sekarang semua masuk akal untuknya. Kenapa setelah kejadian cemburu waktu itu, justru Reza malah menghilang. Kenapa Reza dan Dea semakin sering bersama walaupun tidak satu divisi. Kenapa akhirnya Reza perlahan lepas dari genggaman Aina. Tuhan, kalau boleh Kau membuat aku lupa ingatan tentang hari ini.

"Yaudah ngga apa apa, Za." Sesakit sakitnya hati Aina saat itu, seruntuhnya perasaannya saat mendengar pernyataan Reza, Aina masih bisa menahan air matanya dengan sebuah senyuman tulus. Hebat sekali memang. "Udah jelas kok ini, aku udah dapet jawaban dari pertanyaan pertanyaan aku sendiri. Makasih ya, Za."

"Ngga apa apa? Na, bentar--" Reza menahan tangan Aina yang sudah siap untuk beranjak pergi dari tempat itu. "Kamu ngga marah, Na?" Aina tersenyum lagi. Bego banget Za, lo bego nyakitin orang sebaik dan setulus Aina kaya gini, Reza memarahi dirinya sendiri.

"Engga, Za. Kenapa harus marah? Aku tau rasa jenuh pasti ada di setiap hubungan, jadi aku ngga bisa nyalahin siapa-siapa. Aku juga ngga nyalahin kamu kalo akhirnya kamu lebih nyaman sama Dea."

Sesaat sebelum pergi, Aina menggenggam tangan Reza dan menatapnya tulus, "Za, kita ngga bisa memaksakan perasaan seseorang. Aku ngga bisa maksa kamu kalo emang hati kamu udah ngga buat aku."

Lalu Aina meninggalkan Reza yang masih menatapnya tidak percaya. Berjalan perlahan menuju ke mobilnya. Dan akhirnya tangisan itu mengalir begitu saja dengan senyuman pahit tersungging di bibirnya. Rasanya saat itu semesta sedang menyanyikan sebuah lirik dari Jessie Ware untuk Aina,

'... baby it looks as though we're running out of words to say, and love's floating away'

allthingsnice 1.0Where stories live. Discover now