2 | Are You Alright?

11.6K 848 9
                                    

Satu bulan sebelum kejadian yang membuat bulu kudukku merinding setiap mengingatnya, aku sedang bersantai dengan Reed di rumah. Dad menelfonku—Dad yang sesungguhnya. Kami berbicara hal-hal yang menyenangkan sampai akhirnya Dad mendengar suara Reed dan memaksa ingin berkenalan dengannya. Karena kurasa Dad sedang baik-baik saja, kubiarkan dia bicara sebentar dengan Reed. Seharusnya aku tidak pernah melakukan itu.

Sebulan setelahnya, Dad tiba-tiba datang ke sekolahku. Selama Dad ditempatkan di psychiatric centre di Seattle, pernah tiga kali Dad 'kabur' dan terbang ke New York. Tanpa basa-basi, dia langsung mencari Reed dan memukulnya di depan orang-orang di lorong sekolah. Tidak hanya itu, Dad membentak-bentak berteriak kalau Reed pantas mendapatkannya karena dia sudah memperkosaku.

Ketika penyakitnya datang, Dad memang sering mempercayai skenario di otaknya yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

Dibantu satu guru dan satu siswa lain, aku menarik Dad menjauhi Reed. Ada sekitar belasan orang di sekitar kami yang menonton dan mendengar semua ucapan Dad. Dad memaksa ingin bertemu kepala sekolahku, dan guruku yang tidak mengerti keadaan Dad, mengantarnya ke ruang kepala sekolah. Aku tentu saja ikut. Di depan kepala sekolah, Dad mengancam akan menuntut sekolahku kalau Reed tidak segera dikeluarkan. Aku berusaha menenangkan Dad, tapi aku juga lelah karena sekuat tenaga menahan diri agar tidak menangis.

Akhirnya aku meminta kepala sekolah untuk membiarkan Dad di ruang konseling bersama guruku yang lain. Kepala sekolahku yang tentu saja bingung dengan keadaan itu menyanggupi. Ketika sudah tinggal kami berdua di ruangan, aku menjelaskan kepada kepala sekolahku tentang kondisi Dad. Ini pertama kalinya aku membahas penyakit Dad dengan orang lain—sesuatu yang sebenarnya tidak pernah benar-benar kumengerti. Yang jelas, kupastikan bahwa tidak ada satu pun yang Dad ucapkan benar. Reed tidak pernah menyentuhku. Untungnya kepala sekolahku percaya dan mengijinkanku pulang.

Bingung harus bagaimana—usiaku masih lima belas tahun waktu itu—aku buru-buru membawa Dad pulang ke rumah. Avery sudah pindah ke Boston untuk kuliah, dan Mom sedang bekerja. Kubiarkan Dad marah-marah protes karena keadaan rumah yang berbeda dari ketika dia masih tinggal bersama kami. Aku menelfon Mom dan menjelaskan apa yang terjadi. Sepertinya Mom sebenci itu dengan Dad karena dia tidak mau pulang untuk melihat keadaan. Dia hanya mengirim anak buahnya untuk mengurus Dad dan membawanya kembali ke Seattle dengan penerbangan tercepat.

Aku masih ingat ketika aku mengantar Dad masuk ke dalam mobil di lobi gedung penthouse-ku. Dad menatapku marah dan menolak untuk kupeluk. Dengan penuh penekanan, Dad mengatakan kalau aku anak durhaka karena sudah mengusirnya. Dia kemudian menutup pintu mobil tanpa mengatakan apa-apa lagi atau sekedar menoleh ke arahku. Supir dan anak buah Mom membawa Dad ke bandara, memastikan kalau dia sampai dengan selamat di Seattle.

Ketika aku sudah sendirian di dalam lift, aku mulai sesenggukan. Tangis yang sudah seharian kutahan akhirnya mulai tumpah. Dari semua kejadian hari itu, mulai dari melihat teman baikku dipukul ayahku sendiri, dipermalukan di depan teman-teman sekolah, sampai terpaksa harus mengakui penyakit Dad di depan kepala sekolah, yang paling membuat hatiku perih adalah ketika Dad menolak untuk kupeluk. Dia membenciku. Avery sudah punya hidupnya sendiri di Boston. Mom sibuk dengan pekerjaannya. Hanya Dad yang membuatku masih merasakan sense of belonging. Tapi saat itu, aku merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Keluarga ini memang sudah berantakan sejak lama.

Ketika pintu lift terbuka di lantai penthouse-ku, Reed sudah berdiri menghadapku, bersandar pada pintu masuk. Tulang pipinya sudah membiru dan ada luka di bibirnya. Kedua tangannya terlipat di dada dan alisnya mengerut menatapku tajam. Untungnya air mataku sudah kuhapus sebelum pintu lift terbuka. Tapi aku tidak mengharapkan kemunculannya secepat ini. Aku belum siap.

Aku menarik nafas dalam-dalam, tidak tau harus mengatakan apa.

Dan aku masih ingat sangat jelas bagaimana Reed yang duluan bersuara, "kau baik-baik saja?"

Tentu saja aku terkejut dengan pertanyaan Reed. Seharusnya aku yang duluan menanyakan keadaannya. Seharusnya dia marah atas apa yang sudah terjadi. Dia dipukul di depan teman-temannya dan dituduh pemerkosa. Dia sama sekali tidak tau kondisi Dad. Kalau aku jadi Reed, jangankan muncul tiba-tiba seperti itu, berteman denganku saja sudah tidak mau.

Aku pun mengajak Reed masuk ke dalam dan menceritakan semuanya. Reed rupanya juga diijinkan langsung pulang dari sekolah. Aku sudah tidak punya tenaga untuk menahan tangisku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak pernah menangis di depan orang seperti itu, karena waktu aku baru-baru tau soal keadaan Dad, Mom membentakku dan berkata kalau aku tidak boleh cengeng. Perempuan itu harus kuat. Dan menurut Mom aku sudah terlalu besar untuk menangis seperti itu. Waktu itu usiaku masih dua belas tahun.

Keesokan harinya aku dan Reed dipanggil psikolog sekolah ke ruang konselingnya di waktu yang berbeda. Denganku psikolog sekolah membahas soal penyakit Dad. Dia bersumpah hanya dia dan kepala sekolah yang tau masalah itu. Yang mereka cemaskan adalah keadaan psikologisku, tapi aku meyakinkan mereka kalau aku baik-baik saja karena aku memang tidak tinggal dengan Dad. Kalau Dad dirawat dengan baik di psychiatric centre di Seattle. Aku juga menolak konseling harian yang psikolog sekolah anjurkan

Aku tidak pernah tau apa yang dibahas psikolog sekolah dengan Reed. Reed tidak pernah cerita. Tapi kami berhasil meyakinkan sepuluh saksi mata kalau yang terjadi adalah suatu kesalahpahaman. Beberapa percaya, tapi beberapa lainnya hanya pura-pura percaya dan tetap menyebarkan gosip itu pada siswa lain. Selama beberapa bulan setelahnya, banyak siswa yang menatapku dan Reed dengan tatapan yang mengesalkan. Jelas sekali kalau mereka membicarakan kami di belakang. Aku berusaha untuk tidak peduli, dan sikap cuek Reed membantuku banyak untuk itu. Karena aku dan Reed bersikap normal-normal saja, lama kelamaan gosip itu pun menghilang dengan sendirinya.

ARIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang