"Hei."
Aku tersentak dan menoleh ke arah Reed yang masih menyetir.
"Aku sedang bicara denganmu tadi," gerutunya.
"Bicara apa?"
"Jackson rupanya sedang di frat party di Kappa house. Dia mengajakku ke sana. Kau mau ikut?"
"Ugh," aku berlagak mual. Reed tau frat party sama sekali bukan seleraku. Hanya sekali aku pernah mendatangi jenis pesta itu—atas paksaan Jackson. Sebenarnya tidak terlalu buruk, tapi aku tidak tertarik untuk datang lagi. Cukup sekali untuk sekedar menambah pengalaman.
"Ayolah, sebentar saja. Akan kuantar kau pulang sebelum,"—Reed melirik jam tangannya—"jam tiga. Bagaimana?"
Aku masih tetap dengan ekspresi jengahku. "Bukannya Sonya tinggal di Kappa?" Sonya adalah perempuan terakhir yang diajak Reed tidur akhir pekan lalu. Reed bilang itu sebuah penyesalan. Semua perempuan yang sampai ke kasurnya selalu dibilangnya sebuah penyesalan—secantik atau seseksi apapun perempuan itu. Aku menyebutnya penyesalan reguler.
Kedua alis Reed terangkat. "Oh, ya?"
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya aku yang lebih tau soal itu.
"Sudah, lah. Ada banyak orang juga yang datang. Aku tidak mungkin bisa menghindar darinya seumur hidup, kan?"
"Terserah."
"Lalu, kau ikut tidak? Mumpung Mrs. Cox tidak di rumah."
Aku mengerutkan bibirku menatap Reed. "Jam dua, max."
"Jam dua? Ini saja sudah jam setengah satu," protesnya.
Aku mendengus tersenyum sembari menoleh ke jendela samping. "Baiklah, akan kuusahakan untuk betah."
Aku tau Reed menyeringai dari suaranya. "That's my girl."
--
Lima belas menit kemudian kami berdua sampai di Kappa house yang berada di kawasan kampus. Dari luar saja rumah itu sudah terlihat ramai. Sebenarnya aku malas untuk datang, tapi ya sudah lah, sesekali.
Hampir setiap orang yang kami lewati dalam perjalanan menuju ruang tengah menyapa. Mereka semua memberi komentar melihat wajah babak belur Reed. Tujuh puluh persen di antaranya berkata betapa kagetnya mereka melihatku datang ke frat party. Tiga puluh persen sisanya kuyakini hanya terlalu mabuk untuk menyadari kalau aku yang mereka sapa.
Begitu kami berhasil sampai ke ruang tengah, suara Jackson lantang terdengar. "Hei, Reedus!" serunya dari ujung ruangan. "Wow, tumben kau mau datang, Aria?" komentarnya begitu aku dan Reed berjalan mendekatinya.
"Hei, asshole. Teman macam apa yang berpesta di saat teman serumahnya di penjara?" Reed memukul bahu Jackson pelan. Pria yang mengaku berdarah Portugis itu tertawa.
"Aku sudah yakin akan ada Aria to the rescue," kilahnya.
"Hai, Aria," sapa Cecille, salah satu teman kampusku. "Senang melihatmu di sini."
"Hai, Cecille," aku tersenyum membalas. Kemudian aku menyapa lima orang lainnya yang sedang berkumpul bersama Jackson. Aku dan Reed pun bergabung bersama mereka, mendengarkan Jackson bercerita tentang kejadian yang menyebabkan Reed masuk penjara tadi. Menurut Jackson, Reed sebenarnya sudah dibebaskan di tempat, tapi karena dia memprovokasi dan beradu mulut dengan pihak polisi, makanya dia diseret ke tahanan.
Aku sudah tidak lagi mendengarkan cerita Jackson karena sudah terlalu sering mendengar episode-episode Reed berurusan dengan polisi. Aku pun bergabung dengan empat teman perempuanku, mengobrol hal-hal sekedarnya.
Sampai akhirnya, entahlah, Jackson atau Emmett yang memulai, mereka mempunyai ide untuk bermain dare or dare dengan botol kosong.
"Ayolah, bukan frat party namanya kalau tidak diisi dengan permainan-permainan bodoh." Aku mendengus tertawa mendengar ocehan Emmett, yang berhasil masuk ke kampus kami karena beasiswa bermain futbol.
Tanpa ada protes yang berarti, dalam waktu singkat sepuluh orang sudah berkumpul duduk melingkar di atas karpet. Aku, yang duduk di antara Reed dan Jackson, hanya bisa geleng-geleng kepala. Ini seperti sekolah dasar lagi.

YOU ARE READING
ARIA
Romance"Iya, kau selalu seperti itu, kan? Setiap ada sesuatu atau seseorang yang membuatmu kurang nyaman, kau tidak pernah mau ambil pusing dan menganggap mereka tidak ada." Mungkin reaksiku yang membuat Jackson buru-buru menambahkan, "menurutku itu bagus...