Tentu saja Dad protes ketika dibawa masuk kembali ke psychiatric centre yang sudah menjadi rumahnya beberapa tahun terakhir. Aku sampai harus menggigit daging pipiku untuk mencegah agar air mataku yang sudah menumpuk tidak sampai jatuh. Aku tidak sanggup melihat Dad sampai harus disuntik obat penenang. Tapi tidak ada jalan lain. Dalam keadaan pingsan, Dad digotong masuk ke kamarnya.
Aku tidak mau pulang sampai Dad bangun. Uncle Ed menemaniku. Kami sama-sama diam termenung duduk memperhatikan Dad yang tertidur. Dia terlihat sangat tenang namun garis-garis wajahnya menunjukkan sebaliknya. Saat ini Dad terlihat seperti anak kecil yang sangat terbebani, dan itu membuat hatiku pedih. Andaikan ada sesuatu yang bisa membuatku melepaskan Dad dari penderitaannya ini.
Hampir tengah malam dan Dad belum bangun—pertanda baik karena itu berarti Dad akan terlelap sampai esok hari. Aku meminta uncle Ed untuk pulang, sementara aku memilih menginap di sini. Uncle Ed sempat membujukku untuk ikut dengannya pulang dan datang lagi besok pagi, tapi aku menolak. Aku tidak mau kalau Dad terbangun tanpa ada siapa-siapa di sampingnya. Tidak dalam kondisi seperti ini.
Aku pun tidur di sofa dan baru terbangun sekitar pukul delapan pagi. Dad masih terlelap, jadi aku keluar kamar mencari sarapan. Semalaman aku menunggu Dad bangun, justru ketika aku keluar lima menit Dad membuka matanya. Dia sudah sedang duduk di pinggir kasur ketika aku kembali ke kamarnya.
"Hai, Dad," sapaku. "Kau sudah bangun."
Dad menoleh ke arahku—wajahnya terlihat kusut. Dia tidak menjawab sapaanku, melainkan hanya melihat nampan berisi sarapan yang kubawa, lalu kembali membuang wajahnya.
"Aku membawakan kau bagel dan susu, kuharap ini sarapan favoritmu." Aku duduk di sofa dekat kasur dan meletakkan nampan ini di atas meja nakas.
"Aku alergi susu," ucapnya ketus.
Aku mengernyit, "sejak kapan?"
"Tau apa kau?" hardiknya sambil menatapku tajam.
Dad masih seperti semalam. Masih dikuasai penyakitnya. Meski seharusnya aku sudah terbiasa, tetap saja setiap kali Dad berubah sikap, aku dibuatnya tersentak.
"Baiklah, biar kubawakan teh."
"Tidak perlu," tolaknya kasar.
Aku yang sudah berdiri akhirnya terdiam serba salah. "Kau harus sarapan, Dad, sebelum minum obat."
Seharusnya aku tidak menyebut obat. Aku tau tidak seharusnya aku menyebut obat. Tapi kata itu terlanjur keluar.
Dad menyapu meja dengan sebelah tangannya, menjatuhkan semua yang ada di sana menimbulkan bunyi cangkir dan piring berdentang nyaring di lantai. Aku terlalu syok untuk bergerak. Untungnya suster segera datang. Tapi sebelum suster sempat menghampiri meja untuk merapikan makanan yang berserakan, Dad sudah berusaha bangun. Dia terhuyung seperti orang yang lepas mabuk berat. Tentu itu karena efek obat yang disuntikkan ke tubuhnya semalam. Aku dan suster dengan sigap berusaha membantu Dad, tapi tangan kami berdua ditepisnya kasar.
"Pergi kalian!" bentaknya sambil tetap berusaha berjalan sendiri menuju kamar mandi.
"Biar aku saja," bisikku pada suster yang sudah hendak kembali membantu dad. Dia mengangguk. Aku segera mengikuti langkah Dad.
Meskipun dilarang, aku tetap berusaha memegangi Dad agar dia tidak terjatuh. Aku sudah siap menerima bentakan Dad lagi, tapi yang terjadi ternyata lebih dari itu. Baru sedetik aku menyentuh Dad, dia dengan kasar menarik tubuhnya dariku lalu melayangkan sebelah tangannya ke pipiku, keras.
"Ugh!"
Rasa panas dan perih seketik menjalar di pipi kiriku. Kupejamkan mataku rapat menahan sakit. Kepalaku sampai ikut pening lantaran kerasnya tamparan Dad.
"Pergi! Aku tidak butuh kalian!" bentak Dad.
Sambil menggigit bibir bawahku, aku terus menunduk—tidak mau melihat wajah Dad. Caraku melewati keadaan Dad yang seperti ini adalah dengan tidak menganggap kalau ini Dad. Yang ada di hadapanku adalah penyakitnya. Bukan Dad yang sebenarnya. Dan dengan tidak melihat wajahnya, itu membantuku untuk lebih kuat.
Tapi kali ini aku tidak bisa lebih kuat. Aku tau air mataku akan segera tumpah. Aku cepat mengambil tasku dan keluar dari kamar Dad tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya lagi. Aku merasa berat dan bersalah meninggalkan Dad sendirian hanya ditemani suster. Tapi aku tau, keberadaanku tidak akan membuatnya lebih baik.
Dan aku masih belum sanggup menghadapi Dad yang seperti ini.

YOU ARE READING
ARIA
Romance"Iya, kau selalu seperti itu, kan? Setiap ada sesuatu atau seseorang yang membuatmu kurang nyaman, kau tidak pernah mau ambil pusing dan menganggap mereka tidak ada." Mungkin reaksiku yang membuat Jackson buru-buru menambahkan, "menurutku itu bagus...