Tentu saja janji Reed untuk mengantarku pulang sebelum jam tiga adalah omong kosong. Reed dan Jackson terlalu mabuk jadi justru aku yang mengantar mereka pulang. Mereka berdua tinggal di satu apartemen murah yang sudah lusuh tapi dibuat semakin lusuh saking berantakan dan jauh dari kata bersih.
Kupastikan Reed sudah nyaman di kasurnya di kamar utama, sedangkan Jackson di kamar satunya yang pintunya saja sudah tidak ada. Jackson yang paling menyulitkanku karena—entah dia dapat ide darimana—dia membeli kasur dua tingkat di mana dia tidur di kasur atas, sedangkan kasur bawah berfungsi sebagai tempat menyimpan pakaian. Aku bahkan tidak tau tumpukan pakain itu bersih atau tidak. Butuh waktu sepuluh menit untukku mendorong Jackson naik ke kasurnya. Mungkin seharusnya kubiarkan saja dia tidur satu kasur dengan Reed.
Di saat mereka sudah tidur di kasur masing-masing, aku sudah terlalu malas untuk menyetir pulang selarut ini. Melihat sofa di ruang depan tidak terlalu berantakan, aku mengambil selimut dan bantal ekstra dari kamar Reed karena aku lebih percaya dengan kebersihannya dibanding Jackson. Ini bukan pertama kalinya aku menginap di sini, jadi dengan cepat aku terlelap nyaman di sofa mereka.
---
Meskipun aku tidur lebih telat dari mereka berdua, tentu saja aku orang pertama yang bangun. Aku dibangunkan oleh matahari yang masuk karena jendela mereka tidak memiliki tirai. Aku terduduk lalu melihat jam tanganku yang kuletakan di atas meja. Masih ada dua jam sebelum kelas pertamaku mulai. Berarti aku masih bisa bersantai-santai, pulang, mandi dan bersiap-siap, lalu berangkat ke kampus tepat waktu.
Dengan lesu aku berjalan menuju kamar Reed—hanya toilet kamar mandinya yang berfungsi di apartemen ini. Aku melewati kamar Jackson dan dia masih tertidur nyenyak, begitu juga dengan Reed. Tidak peduli seberapa ribut suara yang kuciptakan, mereka tidak akan terbangun.
Selesai menggunakan kamar mandinya, aku menggoyang-goyangkan bahu Reed, berusaha membangunkannya.
"Hei, mau sarapan apa? Omelet atau pankuk?" Aku sengaja menaikan volume suaraku agar Jackson juga bisa mendengar.
Dan benar saja, kalau soal makanan, Jackson tidak ada duanya. "Omelet!" serunya lebih seperti mengigau.
Aku mendengus sambil geleng-geleng kepala. Di depanku, Reed menggeliat. Ketika dia berbalik badan ke arahku, mataku membelalak melihat wajahnya. Hasil perkelahian semalam baru benar-benar terlihat. Tulang pipi membengkak cukup parah.
Melihatnya masih nyenyak, aku pun meninggalkannya untuk membuat sarapan di dapur. Omelet tidak sulit. Dalam waktu kurang dari lima menit aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Ketika aku sedang menyantap bagianku, Reed dengan wajah bengkak dan rambut berantakannya berjalan lesu masuk ke dapur.
"Oh, omelet," gumamnya masih dengan mata setengah tertutup. Dia menarik kursi lalu duduk di hadapanku, mulai menyantap sarapannya perlahan.
"Sudah lihat cermin?" tanyaku sembari menyuap potongan terakhir omeletku.
Reed melirik ke arahku dengan ekspresi datar dan mengantuk. Dia hanya mengangkat alisnya singkat, satu-satunya bukti kalau dia mendengar pertanyaanku.
Aku berdiri dan membawa piring bekasku ke westafel. "Sudah kusiapkan kompres untuk pipimu di freezer," ucapku sambil mencuci piringku dan dua piring lain yang memang sudah ada di westafel entah sejak kapan. Aku tidak bisa benar-benar mengerti kenapa Reed betah hidup seperti ini padahal ayahnya sanggup membelikan apartemen mewah berikut pembantu pribadi. Jackson bisa ikut dengannya kalau dia alasan Reed bertahan tinggal di sini.
"Hm," gumam Reed tanpa mengalihkan pandangannya dari omelet.
"Oke, aku pulang dulu." Aku mengeringkan tanganku di celana karena tidak ada lap tersedia. Aku berjalan memutari meja menuju ruang tengah untuk mengambil tas selempang dan kunci mobilku. "Oh, motormu masih di Kappa. Kutitipkan pada Lucy. Kau tanya saja Jackson di mana dia menyimpan kuncinya."
Masih dengan wajah datar dan mata yang mengantuk, Reed hanya mengangkat sebelah tangannya lesu menanggapi. Dia bahkan tidak cukup peduli untuk sekedar menoleh. Aku mendengus pelan lalu keluar dan menutup pintu. Reed memang selalu jutek setiap bangun tidur. Suaranya yang berat dan sedikit serak bertambah dua kali lipat kalau pagi-pagi seperti ini. Aku cukup mengenalnya untuk tau kalau lebih baik tidak menganggunya, atau sekedar mengajaknya bicara.
Jarak antara apartemen mereka dan rumahku hanya sekitar lima belas menit. Begitu sampai di kamar, hal pertama yang kulakukan adalah mandi karena aku rasa orang bisa mencium bau alkohol di tubuhku dari jarak sepuluh meter.
Ketika aku sudah tengah mengeringkan rambut, aku dibuat terlonjak kaget mendengar suara Mom memanggil. Dia tidak pernah benar-benar berteriak, tapi setiap dia menyebut namaku entah kenapa aku selalu tersentak.
"Aria!" panggilnya lagi.
"Iya, Mom!" sahutku buru-buru keluar dari kamar dan menuruni tangga. Mom sudah berdiri di ujung bawah. Yang menempati lantai dua hanya aku dan—dulunya—Avery. "Kupikir kau baru akan pulang beberapa hari lagi?" tanyaku setelah mencium pipinya.
"Iya, siang ini ada rapat, makanya aku terpaksa mengambil penerbangan paling malam."
"Ooh," aku manggut-manggut santai, padahal dalam hati bersyukur aku sampai di rumah lebih dulu. Tidak terbayang kalau Mom sudah di rumah ketika aku datang setelah semalaman tidak pulang dan tercium bau alkohol. Fiuh.
"Nanti malam Avery akan menginap di rumah," ujar Mom bersemangat, padahal aku tau dia pasti lelah karena penerbangan tengah malam. "Bagaimana kalau kita bertiga makan di luar malam ini?"
"Boleh."
"The Carlyle?" Mom menyebut nama restoran Prancis kesukaannya. Aku mengangguk. Mana-mana saja boleh. "Baiklah, akan kubuat reservasi. Jam tujuh?"
"Jam tujuh oke," jawabku.
"Baiklah," Mom terlihat senang. "Kau tidak kuliah?"
"Ini aku sudah mau berangkat. Tinggal mengambil jaket dan tas."
"Jody masih di bawah. Dia bisa mengantarmu sebelum mengantarku ke kantor."
Aku menggelengkan kepalaku cepat. "Tidak perlu, Mom. Aku bisa naik subway."
Mom menatapku sambil menghela nafas. Dia memang tidak setuju kalau aku naik kendaraan umum, tapi dia berusaha untuk mengerti.
"Ya sudah, hati-hati."

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIA
Romance"Iya, kau selalu seperti itu, kan? Setiap ada sesuatu atau seseorang yang membuatmu kurang nyaman, kau tidak pernah mau ambil pusing dan menganggap mereka tidak ada." Mungkin reaksiku yang membuat Jackson buru-buru menambahkan, "menurutku itu bagus...