26 | Make It Stop

3.5K 368 2
                                    

Aku masih meringkuk di lantai kamarku tapi aku tidak lagi punya tenaga untuk berteriak atau air mata untuk menangis. Aku hanya terdiam dengan pandangan kosong. Aku tidak ingin memikirkan apapun, tidak ingin merasakan apapun.

Waktu sudah bukan satuan yang kuperhitungkan. Aku tidak tau sudah berapa lama aku di posisi ini. Beberapa kali kudengar pintu kamarku diketuk. Suara Mom memintaku membuka pintu. Suara Mom memintaku makan sesuatu, minum sesuatu.

Ini semua salah Mom. Yang terjadi pada Dad adalah kesalahan Mom. Mom tidak pernah membiarkanku bersama Dad. Aku hanya mau bersama Dad. Aku ingin memeluk Dad.

Aku kembali meringis menangis, tanpa air mata. Dan ini terasa jauh lebih menyakitkan. Aku ingin sakit ini hilang. Aku tidak sanggup.

Semua ketukan dan panggilan dari balik pintu ini tidak ada yang kugubris. Sampai akhirnya suara Reed yang terdengar. Reed ada di sini. Untuk apa dia di sini?

"Aria, ini Reed." Tentu saja aku tau suaranya. "Kumohon, buka pintunya."

Aku mendengus sinis. Bukankah kami sudah bukan teman? Bukankah baru kemarin dia menghina ayahku dan menganggapku egois? Lalu sekarang dia tiba-tiba menjadi temanku lagi dan bersikap lembut?

"Pergi,"—suaraku tercekat. Tenggorokanku terasa sangat kering, tapi aku tidak haus—"pergi kalian semua!" teriakku, meski yang keluar hanya suara parau. Mereka dengar atau tidak, aku tidak peduli. Aku tidak butuh siapa-siapa. Aku butuh Dad.

Ayahmu ditemukan meninggal...

Kuremas lenganku keras, berharap sakit di dadaku bisa berkurang. Tidak berhasil. Di tiap saatnya rasa perih ini semakin menyiksa dan aku tidak tau apa aku sanggup menanggungnya.

Kuseret tubuhku dengan tenaga yang tersisa menuju kamar mandi. Kunyalakan shower dengan temperatur terendah sementara aku duduk di bawahnya dengan pakaian lengkap. Ini harapan terakhirku. Ritual ini adalah harapan terakhirku.

Aku kembali ke lantai kamarku dalam keadaan basah kuyup. Aku tidak cukup peduli untuk mematikan shower di kamar mandi. Aku meringkuk di atas lantai yang dingin, berharap rasa sakit fisik ini bisa menggantikan sakit emosionalku. Tubuhku gemetaran, kuku-kuku jariku berubah biru, gigiku gemerutuk, tapi aku tetap tidak bisa mengabaikan perih di dadaku.

Ya, Tuhan, kumohon, buat ini berhenti. Buat sakit ini berhenti.

♦♦♦♦♦

Aku tidak bisa menangkap jelas apa yang sedang terjadi. Tapi bisa kudengar sayup-sayup suara berat dengan aksen Inggris yang familiar di telingaku. Kucoba membuka mata, tapi yang terlihat hanya cahaya terang yang menyilaukan sehingga aku terpaksa memejamkannya kembali. Aku bisa merasakan tubuhku diangkat dari lantai.

"Tidak..." gumamku tidak ingin dipisahkan dari lantai. Suaraku tidak keluar. Tenggorokanku terlalu kering dan sama sekali tidak ada tenaga yang tersisa.

"Aria, hei?" suara yang sama kembali terdengar dekat di telingaku. Suara Reed. Aku tidak sanggup merespon dan bisa kurasakan aku didekap lebih erat.

"Ambulans sudah di perjalanan," kali ini suara Avery yang terdengar, agak jauh.

Ambulans? Untuk apa?

"Ganti pakaiannya," adalah hal terakhir yang kudengar sebelum semua berubah hening.

ARIAWhere stories live. Discover now