Sesampainya di rumah, aku masih punya waktu satu jam untuk bersiap-siap sebelum berangkat makan malam bersama Mom dan Avery. Mom sudah di rumah, aku melihat mobilnya terparkir di bawah. Dan dari sayup-sayup suara TV di kamarnya yang tertutup rapat, aku tau Avery juga sudah di rumah. Sudah tiga bulan lebih aku tidak melihatnya.
Jam enam lebih sepuluh menit aku sudah siap dengan gaun semi formalku dan sepatu tinggi. Makan malam di The Carlye memang diharuskan untuk berpakaian seperti ini. Setengah jam yang lalu Mom sudah memanggilku memastikan kalau aku sudah sedang bersiap-siap. Tapi seperti biasa, aku menjadi orang pertama yang duduk di sofa ruang tamu menunggu mereka.
"Loh, di mana Avery?" tanya Mom, terlihat cantik dengan gaun biru donkernya.
Aku mengangkat kedua bahuku menjawab. Mom pun menarik nafas panjang lalu berjalan ke ujung tangga. "Avery! Hei, kami sudah siap!" seru Mom berteriak. Tidak ada jawaban dari atas. "Avery! Avery, sayang!"
Baru kemudian terdengar bunyi kunci pintu dibuka. Avery tak lama muncul di ujung atas tangga, masih mengenakan kaos oblong dan celana boxernya.
"Kalian saja yang berangkat. Aku sudah makan barusan."
O-ow. Penyakit Avery kumat.
Mom tidak langsung menjawab. Dia terlihat syok menatap anak sulungnya. "Bukankah aku sudah bilang aku sudah membuat reservasi di The Carlyle?" Mom masih terdengar tenang. Aku tau kalau Avery masih bertingkah seperti ini, ketenangan ini tidak akan bertahan lama.
"Iya, tapi setelah kupikir-pikir, aku sedang tidak ingin makan di luar. Kalian berdua saja." Dan hanya dengan menyatakan itu, Avery melenggang pergi menghilang dari penglihatan kami.
Melihat Mom masih berdiri tegang, aku buru-buru mendekatinya sebelum Mom meledak. "Ya sudah Mom, kita berdua saja tidak apa-apa."
Mom jelas sekali geram, tapi dia berusaha menahan diri. "Iya, tentu saja," gumamnya dengan senyum dipaksakan.
Jadi lah kami berdua menikmati makan malam mewah di The Carlyle. Sebenarnya aku sangat malas melakukan ini, tapi harus kulakukan demi menyelamatkan rumah dari pecahnya perang dunia. Bersama Mom berduaan saja dalam waktu lama membuatku merasa waktu tidak bergerak. Suasana terasa canggung. Aku tidak pernah tau harus mengobrol apa dengan Mom selain urusan politik dan cerita bisnisnya. Kami hampir selalu makan malam bersama setiap hari—hanya pada saat makan malam aku bertemu Mom—tapi jarang makan di luar. Kalau di rumah, aku hanya perlu menghabiskan waktu lima belas menit berbasa-basi sebelum masuk kembali ke dalam kamar. Tapi sekarang, aku harus memikirkan topik apa yang tidak akan habis dibahas selama dua jam.
Sebenarnya terkadang pembicaraan kami bisa sangat menarik. Seperti kalau Mom bercerita tentang kisahnya dulu saat ikut program pertukaran pelajar di Oxford, Inggris. Atau tentang pendapatnya soal politik kotor pemerintah. Ketika remaja-remaja putri yang lain bertukar cerita soal laki-laki dan percintaan dengan ibunya, aku belajar untuk mengerti kondisi perekonomian dunia. Mom sudah seperti surat kabar untukku. Dan bagusnya, aku jadi banyak tau.
Tapi saat ini, aku hanya berharap hidangan penutup kami segera datang agar kami bisa segera pulang.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIA
Romansa"Iya, kau selalu seperti itu, kan? Setiap ada sesuatu atau seseorang yang membuatmu kurang nyaman, kau tidak pernah mau ambil pusing dan menganggap mereka tidak ada." Mungkin reaksiku yang membuat Jackson buru-buru menambahkan, "menurutku itu bagus...