23 | I Hate Him.

3.6K 380 2
                                    

Aku tidak mendapatkan kabar apa-apa soal Reed tadi malam. Tapi seharusnya aku tidak perlu khawatir, ayahnya bilang dia akan mengurusnya. Dan aku tau Mr. Arrington orang yang selalu bisa menyelesaikan masalah. Dia orang besar dan berpengaruh. Aku berani bertaruh dia kenal satu dua orang petinggi kantor polisi di mana Reed ditahan.

Begitu kelas pagiku usai, aku menunggu kelas berikutnya di perpustakaan. Tidak ada Reed maupun Jackson di sana. Aku mencoba menelfon Jackson untuk mencari tau kabar Reed, tapi tidak ada jawaban. Mungkin Jackson sedang ada kelas.

Lima belas menit sebelum kelas berikutnya mulai, aku sudah berjalan keluar perpustakaan. Tidak jauh dari pintu perpustakaan, Reed muncul di hadapanku. Tentu saja aku terkejut. Tapi Reed terlihat terlalu uring-uringan untuk merespon reaksiku.

"Kita harus bicara," ucapnya tanpa melihat mataku. Aku lupa kapan terakhir kali melihat Reed seuring-uringan ini. Ditambah wajahnya yang babak belur, saat ini dia terlihat seperti pecandu narkoba yang sedang sakau dan dalam masalah.

Tanpa mengatakan apa-apa, aku mengikuti langkah Reed menuju bagian belakang gedung perpustakaan. Tanpa aba-aba dia berhenti melangkah dan menoleh cepat ke arahku.

"Kau menelfon ayahku?" tanyanya geram.

Aku menelan ludah, sadar kalau Reed marah. "Well, aku—kau... kau sedang dalam masalah dan aku tidak bisa membantu."

"Apa aku meminta bantuanmu?!" sentaknya sambil mengambil satu langkah mendekat ke arahku.

Aku tersentak dan diam—tidak punya jawaban.

"Bukan kah kita sudah bukan teman? Kenapa kau masih ikut campur?" Dia meremas rambutnya sendiri, frustasi. Dia melangkah bolak-balik di hadapanku. "Dari semua orang, seharusnya kau yang paling tau untuk tidak pernah menghubungi ayahku."

Ditembak seperti itu, aku semakin tegang. Aku tau Reed akan marah aku menghubungi ayahnya, tapi aku tidak menyangka akan semarah ini. Aku tidak pernah melihatnya seperti ini. Marahnya di perpustakaan karena aku menghindarinya, tidak ada apa-apanya dengan marahnya saat ini. Dia tidak cuma marah. Dia kecewa.

Apa yang kupikirkan sampai menelfon ayahnya? Semalam rasanya itu bukan ide yang terlalu buruk. Aku tidak punya pilihan lain.

Ketika Jackson yakin semalam bisa jadi kesempatanku berbaikan dengan Reed, aku justru membuat kesalahan yang tampaknya jauh lebih besar.

"Ayahmu... dia mau menolongmu." Bisakah aku sedikit lebih pintar? Kenapa sekarang aku malah berpihak pada ayahnya? Aku tidak sepatutnya bicara dalam keadaan tegang.

Reed mendengus lalu tertawa miris. "Menolong katamu?" Dia menggelengkan kepalanya takjub dengan senyum tersedih yang pernah kulihat di wajahnya. "Pengacaranya baru datang tadi pagi dan sekarang aku tidak mampu mengganti biaya pengacara bangsat itu."

"Ayahmu meminta ganti rugi?" tanyaku terkejut.

Reed justru menatapku dengan tatapan tidak percaya, seolah aku juga membuatnya terkejut. "Sebenarnya kau mengenalku atau tidak?" desisnya.

Oh. Tentu saja Mr. Arrington tidak meminta ganti rugi, melainkan gengsi Reed terlalu tinggi untuk menerima bantuan ayahnya. Kenapa gengsi Reed harus setinggi ini? Kenapa sulit untuknya menerima bantuan ayahnya?

"Sebenarnya apa sih masalahmu?" Akhirnya emosiku ikut naik. Aku merasa disentil dengan pernyataan kalau aku tidak mengenal Reed. Aku cukup mengenalnya untuk tau kalau dia seperti anak kecil. "Kau berharap ayahmu yang datang ke kantor polisi, bukan pengacaranya? Sampai kapan kau tidak bisa menerima kalau ayahmu itu sibuk? Kau bukan anak kecil lagi."

Reed mendengus sambil menyeringai sinis. Dia mengambil satu langkah menjauh dariku. "Luar biasa," ucapnya sambil bertepuk-tangan sarkastik. "Dan selama ini kupikir kau yang paling mengerti." Dia tertawa pelan. "Aku lupa kalau selama ini kaulah yang paling menderita. Kau yang paling sial dengan urusan keluargamu." Aku mengangkat daguku menatapnya tajam, hanya untuk menutupi pedih yang kurasakan akibat kata-kata yang Reed ucapkan. "Hanya karena ayahku masih waras, bukan berarti kau bisa meremehkan masalahku."

Aku diam.

Reed melenggang pergi tanpa sekedar menoleh sekali lagi ke arahku.

Detik itu juga aku bersandar pada dinding di belakangku. Kupegang dada kiriku, karena sungguh, perihnya benar-benar terasa. Aku membungkuk agar tidak ada yang melihat kalau air mataku jatuh. Hanya setetes sebelum aku menghapusnya kasar, lalu berdiri tegak dan berjalan mantap menuju kelasku.

Air mataku hampir tidak pernah jatuh karena sedih. Aku menangis karena marah. Aku tidak pernah menyangka akan merasakan hal seperti ini terhadap Reed.

Aku membencinya. Benar-benar membencinya.

ARIAWhere stories live. Discover now