46 | Stop Lying To Yourself

4K 363 3
                                    

Sepertinya suasana hatiku yang buruk bertahan cukup lama karena ketika di pesawat menuju Brazil, Avery akhirnya menegurku.

"Ada apa denganmu? Kau tidak seceria sebelumnya. Argentina kurang menakjubkan atau kau memang sudah bosan dan ingin segera pulang?"

Aku cukup terkejut Avery sadar, padahal aku sudah berusaha untuk menikmatiku hariku. Argentina menakjubkan—pemandangannya luar biasa, orang-orangnya, makanannya, semuanya. Tapi aku yang tidak lagi fokus dengan apa yang ada di sekitarku.

"Tidak apa-apa. Aku hanya lelah, mungkin," jawabku enggan.

Avery mengangkat sebelah alisnya menatapku. "Jadi kau mau lanjut ke Bolivia atau ikut pulang denganku ke New York?"

Aku membuang nafas panjang. Pertanyaan ini tidak lagi signifikan. Pilihanku hanya sendirian jalan-jalan di negara orang atau kembali ke rumah tapi tidak ada siapa-siapa. Bukannya aku berlebihan padahal Reed hanya pergi berlibur ke kampung halamannya, tapi aku hanya tidak suka caranya. Satu, aku tau kabar itu dari Jackson padahal kami sering bicara lewat telfon. Dua, dia seharusnya memberiku kabar lebih awal karena ada Hemingway yang nasibnya harus kami perbincangkan. Itu namanya dia tidak bertanggung jawab.

Sudahlah, aku tidak peduli.

"Sepertinya aku ikut kau pulang saja. Reed yang tidak bertanggung jawab itu malah menitipkan Hemingway pada Jackson."

Dahi Avery mengerut. "Memangnya Reed kemana?"

"Inggris."

Tiba-tiba Avery mengulum senyum geli. "Jadi kau seperti ini karena bertengkar dengan Reed?" Dan dia tertawa.

"Apa sih?" protesku. "Aku tidak bertengkar dengan Reed."

"Tapi kau kesal karena kau sudah rindu padanya, sudah ingin pulang, tapi rupanya dia malah terbang ke Inggris?"

"Bukan seperti itu," ucapku geram. "Aku cuma kesal dia asal lepas tanggung jawab begitu saja. Dan dia tidak memberitahuku lebih awal."

"Memangnya dia pergi berapa lama, sih?"

"Dua minggu katanya. Sebulan juga aku tidak peduli."

Lagi-lagi Avery tertawa. Kali ini lebih puas. "Kalau kau serindu itu padanya, daripada ke Bolivia, susul saja bocah itu ke Inggris."

Kedua alisku spontan terangkat. Bukannya protes karena dituduh serindu itu dengan Reed, aku malah menimbang-nimbang usul Avery. Terbang ke Inggris? Aku belum pernah ke Eropa—iya, Mom beberapa kali mengajakku tapi aku selalu menolak. Dan sekarang aku justru sangat tertarik. Bukankah Eropa memang tujuan para backpacker yang baru mulai bepergian? (Aku tidak tau apa-apa soal backpacking jadi jangan tersinggung kalau aku salah).

Tapi akan terdengar sangat menyedihkan kalau sampai terbang ke Inggris hanya karena Reed juga ke sana? Mau ditaruh di mana mukaku?

"Jalan-jalan ke Eropa bukan ide yang buruk, tapi aku tidak mau Reed mengira aku sengaja menyusulnya."

Avery mendengus. Aku tidak suka caranya mendengus, seolah ucapanku barusan itu bodoh.

"Mau dengar nasihatku?" tanyanya. Aku diam, menunggu apa yang mau dia katakan. "Berhentilah berfikir terlalu banyak. Kalau kau mau menyusulnya, ya susul. Berhenti membohongi dirimu sendiri, 'oh, aku tidak punya perasaan lebih pada Reed', 'aku dan Reed hanya berteman'." Avery membuat suara kentut dengan mulutnya. Aku melotot protes. "Aku berani bertaruh Reed lebih dari senang kalau kau ke Inggris juga."

"Sok tau," tandasku. "Dan juga, aku dan Reed hanya berteman," tambahku tegas.

Avery mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi tidak peduli. "Terserah. Kalau kau masih gigih dengan keras kepalamu, terbang saja ke Jerman atau Perancis. Biar dia yang menyusul. Selain memang lebih mudah masuk ke dua negara itu, kau masih bisa menjaga harga dirimu dengan bertemu di titik tengah."

Well, proposisi ini jauh lebih menarik. Avery baru mengutarakan idenya tapi aku sudah bisa membayangkan hal itu terjadi. Lain halnya kalau aku yang menghampiri Reed ke Inggris—itu terkesan menyedihkan dan needy. Tapi kalau aku dan Reed bertemu di Eropa? Itu terdengar... romantis.

Apa yang sudah kau pikirkan, Aria?

"Akan kupikirkan usulmu," ucapku mengakhiri perbincangan ini.

ARIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang