BAB 9

3.9K 459 33
                                    

Chocolate balls: Bittertaste

"Apa kau yakin, Sakura?"

Air mata telah menggenang di pelupuk mata Sakura, gadis itu tidak mampu lagi menatap kedua mata Ayahnya. Kedua tangannya saling berpilin, menggenggam dengan erat masing-masing jarinya. Sedikit bergetar, gadis itu kembali melarikan jemarinya pada kutikulanya.

Guncangan akibat rasa keterkejutan itu memenuhi kepalanya, Sakura tidak mampu lagi berfikir. Kenapa, apa yang terjadi? Sakura kira dia akan baik-baik saja ketika menghubungi Ayah dan Ibunya, respon mereka sangat positif.

Mereka menunggu kedatangan Sasuke. Tapi kenapa?

Sakura bernafas terengah, ia harus mencari pegangan, atau ia akan jatuh. Jarinya mencakar apa yang ada di dalam genggamannya. Rasa sakitnya tidak terasa, ia harus kembali memegangnya kuat—

"Sakura."

Sakura terkesiap, rasa hangat menyelimuti dingin tangannya yang baru saja ia sadari mengulang kebiasaan buruknya. Jemari Sasuke sedikit meloloskan dekapannya, menyentuh ke bagian dimana Sakura selalu melukai dirinya sendiri. Mengelusnya, memastikan semuanya baik-baik saja.

"Untuk saat ini, biar Uchiha-san bicara dulu denganku." Suara Ayahnya terdengar. Sakura melihat Kizashi bangkit berdiri kemudian berlalu menuju ruangan santai yang menghadap ke taman belakang. Duduk disana dengan tenang, menunggu Sasuke.

Sasuke disampingnya mengangguk, tatapannya meneduhkan hatinya yang gundah. Hangatnya tangan Sasuke mengelus puncak kepalanya. Laki-laki itu bangkit untuk menyusul Ayahnya yang sudah menunggunya.

Dua pria berbeda generasi itu jelas membuat hati Sakura gundah saat ini. Gadis itu percaya pada Ayahnya, dan Ayahnya selalu tahu kalau Sakura memang pemilih—hanya menerima yang cocok untuknya saja. Sedangkan Sasuke, gadis itu percaya pada pria itu karena Sasuke memang tidak pernah berniat untuk main-main dengan perasaannya.

Tapi ketika harus memilih diantara keduanya, Sakura bingung.

Di satu sisi, ada Ayahnya yang merawatnya sejak kecil. Menjadi pembimbingnya. Tanpa Ayahnya, Sakura tidak bisa kuliah ke Tokyo. Tentu saja tidak ada Tokyo, tidak ada Sasuke. Secara tidak langsung Ayahnya menjadi penghubung dirinya dan Sasuke.

Di sisi lain ada Sasuke. Sakura yakin, kehidupan selanjutnya dari seorang gadis ialah menjadi milik suaminya. Masa depan Sakura ada disana.

"Tenanglah, Sakura."

Suara Ibunya menembus indra pendengarnya, Sakura kemudian menatap mata Ibunya lekat. Pemilik wajah yang serupa dengan dirinya, Ibu yang melahirkannya. Yang tahu bagaimana perasaan Sakura saat ini dengan baiknya.

"Tapi, Okaa-san... bagaimana kalau Otou-san..."

Ibunya tersenyum maklum, gadis ini baru saja mengenal laki-laki dan langsung menuju jenjang yang serius. Sebetulnya, Mebuki berfikir gadisnya ini akan mengalami fase seperti anak gadis lainnya. Meskipun mereka tinggal di pedesaan, dia menyadari perubahan zaman. Bahkan dari televisi saja mereka menayangkan adegan aneh yang sebelumnya tabu di zamannya.

"Sakura, Ayahmu cuma ingin mengenal Uchiha-san saja. Mengirim fotonya saja belum cukup." Mebuki menggelengkan kepalanya dan mendecak kecil. "Kau juga, baru saja Ibu mengangkat teleponmu yang sudah tiga bulan menganggur tiba-tiba kau bilang ingin menikah. Kau tau bagimana wajah Ayahmu saat itu?" Mebuki bertanya dengan mata menyipit, gestur Ibunya menarik perhatian Sakura.

Gadis itu memasang wajah pura-pura tidak tahu, "Bagaimana?"

Wajah Ibunya berubah serius, kemudian terlihat kosong. Wajahnya berubah lucu seiring ekspresi yang ditampilkannya.

Food Dairy: Sakura HarunoDove le storie prendono vita. Scoprilo ora