Luka

9 6 0
                                    

Seperti kemarin, pada senja aku kembali tanyakan apakah kepergianmu merupakan sebuah kepastian? Kepastian yang membawaku pada ujung kebahagiaan? Ataukah pergimu untuk sebuah kesedihan? Kesedihan yang enggan aku nikmati dalam kesendirian.

Semuanya masih sama sembari ditemani dengan cahaya senja yang mengingatkan aku tentang dirinya, aku masih diam membisu, menunggu kabarmu, yang masih selalu kurindu. Wahai pujaan hatiku, kau masih diam merajai sang kalbu. Semuanya masih kelabu tanpa adanya kepastian dari sang waktu. Tak apa, aku masih kuat menunggu.

Hembusan angin itu menyadarkanku akan kehidupan yang sedang aku lalui, menyadarkanku akan kenyataan pahit ini, tentang semua yang sudah berlalu pergi. Aku tak bisa melarangnya untuk meninggalkan rindu di hati, tenanglah ... semuanya masih baik-baik saja sampai kau pergi meninggalkan pilu yang membekas hingga saat ini.

"Kau masih memikirkannya?"

Aku menoleh, melihat kearah orang yang menanyakan pertanyaan yang menurutku sudah tidak usah diragukan lagi. Aku hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan yang selalu berulan diucapkan orang-orang.

"Sampai kapan? Sampai kapan kau masih terus berharap akan kehadiran dirinya?"

Orang itu terlihat frustasi melihat keadaan diriku yang selalu seperti ini.

"Apakah aku tak boleh berharap? Apakah aku tak layak bahagia? Aku hanya ingin menunggu dirinya, apakah salah?"

"Bukan seperti itu, Nadin, apa kau tak berpikir dia hanya membual saja? Aku rasa dia hanya ingin membuatmu menderita dengan memberikan sebuah janji akan pertemuan, mungkin dia tidak akan pernah mengingatmu kembali."

"Cukup Aluna. Jangan selalu menyalahkan dirinya. Kau seharusnya mendukung apa yang aku mau, bukan malah membuatku lebih menderita karena mendengarkan cercaan dari orang-orang," aku menatapnya dengan kekecewaan yang terpatri di wajahku.

"Ya sudah, maafkan aku. Aku hanya ingin kau tidak terus menerus berlarut dalam kesedihan, aku ini adalah temanmu, aku ingin yang terbaik untukmu, Nadin!" ujar Aluna dengan wajah frustasi.
Aku menoleh ke arah senja yang sedikit lagi akan ditelan oleh bumi. Dan aku berkata dengan optimisnya bahwa dia akan datang kembali.

Tak terasa kini sang mentari telah pergi meninggalkan bumi. Aku masih harus diam bertahan untuk mengabulkan sebuah harapan. Harapan akan sebuah pertemuan, yang bahkan aku tak tahu kapan itu akan menjadi kenyataan.

"Sudahlah, mari kita pulang, ini sudah sore," ujar Aluna seraya menarikku untuk pulang. Kami berjalan menelusuri jalan yang dipenuhi oleh lautan manusia. Sekilas mataku menangkap bayangan seseorang yang selama ini selalu kutunggu kehadirannya. Kakiku lemas seolah kehilangan tumpuan untuk tetap berdiri.

Tanpa aku sadari air mata sudah menggunung di kelopak mataku. Tubuhku lemas seolah kehilangan nyawanya. Sampai semuanya menjadi gelap.

***

Mataku mengerjap beberapa kali untuk menyasuaikan cahaya yang masuk melalui tirai jendelaku. Aku merasakan pusing di kepalaku ketika mencoba untuk duduk, sampai ketika sebuah suara menyadarkanku.

"Apa kau masih merasa pusing, Nad?" aku menoleh ke sumber suara, ternyata dia adalah Aluna.

"Kenapa aku ada di sini? Bukannya kemarin malam kita sedang ada di taman?" aku bertanya dengan bingung.

"Jika kau sudah merasa baikan, aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang nanti sore," ujar Aluna misterius.

"Mempertemukanku dengan siapa?"

"Nanti juga kau tahu sediri."

***

Sekarang aku sudah berada di taman seperti yang disarankan oleh Aluna. Aku penasaran dengan siapa aku akan bertemu. Entah kenapa, perasaanku menjadi tidak enak. Dadaku rasanya sesak seketika. Dan aku tidak tahu apa alasan semua ini terjadi. Aku hanya menunduk resah menunggu kedatangan orang itu.

"Hai," sapa suara yang selalu aku nantikan selama bertahun-tahun terakhir ini. Aku langsung mendongak untuk melihat wajah yang selalu aku nantikan. Sontak aku langsung berdiri dan refleks ingin memeluk orang itu. Wajahku yang tadinya berseri langsung berubah muram ketika melihat ada seorang perempuan cantik di belakangnya.

"Halo, apa kabar?" aku berusaha tersenyum walaupun sulit.

"Aku baik-baik saja. Kau apa kabar?" Alfa tersenyum seolah-olah tidak pernah terjadi apapun diantara kami.
"Sama baiknya seperti dirimu."

"Oh ya, kenalkan ini Claudia, dia istriku."

Seperti petir disiang bolong, hatiku tersengat mendengarnya. Bahkan rasanya sangat sulit untuk bernapas ketika melihat dia tersenyum bahagia saat mengenalkan perempuan itu. Perempuan yang mungkin menjadi alasan dirinya melupakan semua janji yang pernah dia sebut sebagai janji mati.

"Halo, aku Nadin," aku berusaha agar terlihat baik-baik saja.

"Halo, aku Claudia," dia tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya.

***

Setelah Alfa pergi bersama Claudia, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak meneteskan air mata yang sudah menggunung di kelopak mataku. Tetapi nyatanya, aku tak bisa bertahan sampai seperti itu. Aku merasa rapuh, setelah bertahun-tahun aku menunggu kehadiran dirinya, ternyata ini hasil dari penantian panjangku.

Dia seolah lupa akan perjanjian kita, dia bahkan tidak mengingat diriku ketika dahulu yang selalu bersamanya. Dia tidak tahu, aku sangat hancur ketika dia datang bukan untuk menepati janjinya yang sudah dia ucapkan. Dia malah datang dengan memperkenalkan seorang perempuan cantik yang dia sebut sebagai istrinya.

Tak ingatkah dia aku selalu di sini? Selama bertahun-tahun menunggu dirinya? Di bawah langit yang menjadi saksi bisu untuk perjanjian yang kami ucapkan. Terima kasih atas semua jawaban yang sudah dia berikan secara tidak langsung. Inilah akhir dari semua penantian yang selalu aku lakukan setiap hari.

Sebuah senja, di bibir samudera seseorang menanti jumpa, hingga pekat mengecup sukmanya, ia sadar semuanya sia-sia.

*****

Selesai

By Emily

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang