1. Rumah Kuning

140 7 11
                                    

'Mereka' ada di mana-mana.

Jauh sebelum manusia belajar melawak, keberadaan makhluk tak kasat mata sudah lebih dahulu ada di masyarakat. Baik itu makhluk yang tak melakukan apa-apa selain sekedar tampil di tempat tak terduga, hingga yang membahayakan nyawa.

'Dia' yang mendiami rumah kuning di ujung jalan kompleks BTN Bangun Jaya termasuk golongan kedua.

Rumah itu kosong sejak keluarga yang menghuninya pindah lebih dari 10 tahun silam. Sebelumnya, konon pernah terjadi pembunuhan di sana. Arwah dari korban pembunuhan itu tak pernah tenang dan menggentayangi siapapun yang berani memasuki kediamannya. Cerita ini bertambah level horornya karena memang pernah jatuh korban jiwa.

Layaknya sebuah tempat seram, ada saja anak-anak muda yang memanfaatkannya untuk adu keberanian atau sekedar nongkrong. Dan setiap kali itu pula jatuh korban jiwa. Mereka yang beruntung ditemukan jasadnya meninggal dengan penyebab sama; gagal jantung. Tapi lebih dari separuhnya tak pernah ditemukan hingga kini.

"Gua tebak, pasti arwah korban pembunuhan yang pertama," seorang remaja berkomentar di depan pintu pagar rumah yang telah dipenuhi karat. Terlahir dengan nama Nicholas J. Gusman, dia secara alami adalah si darah panas dalam tim ini. Selain dirinya, ada tiga orang lainnya — dua orang gadis, dan seorang pria yang cukup dewasa. Ketiganya mengenakan busana serba gelap yang membuat mereka terlihat seperti maling. Tapi, mereka bukan maling, apalagi gerombolan kurang kerjaan yang tidak sayang nyawa.

"Aku rasa bukan, Nic," gadis yang berdiri di samping Nicholas berkata dengan nada mengantuk. Bukan karena jam telah menunjukkan pukul satu pagi. Dia memang selalu begitu, bahkan di tengah praktikum biologi yang mengharuskan siswa membedah katak sekalipun. "Kadang terlalu banyak arwah penasaran malah membuat rumah yang bersangkutan tidak punya kasus sama sekali. Soalnya terlalu banyak emosi negatif yang bertubrukan... kasarnya, sibuk bertengkar sendiri."

"Benar kata Kiri. Kita harus menunggu Terawang dulu." satu-satunya pria dewasa di antara mereka mengiyakan. Dia kemudian berpaling pada gadis yang satunya. "Tolong mulai, Lia." pintanya.

Lia alias Aurelia Aurora Adiharsa mengangguk. Gadis itu maju selangkah, kemudian menyentuh pagar dengan dua jari. Memejamkan mata, dia membayangkan permukaan air sebening kaca. Kemudian, tetesan air yang menimbulkan riak di atas permukaan tenang. Melebar, terus, hingga menyentuh 'sesuatu' yang menyebabkan pecahnya riak tersebut.

"Sumbernya di dalam... Jauh di dalam."

"Bentuknya?"

Lia kembali mengonsentrasikan kekuatan Terawangnya pada 'sesuatu' yang disentuhnya tadi. Dia membayangkan segelas air. Bening, tanpa apapun di dalamnya. Kemudian, objek yang tersentuh olehnya tadi dimasukkannya ke dalam gelas tersebut. Awalnya tidak terlihat apapun, tapi kemudian muncul warna merah di dalam gelas. Seperti gumpalan cat, perlahan-lahan warna merah itu mulai membesar, dan membentuk siluet sebuah benda. Semacam undakan, dengan beberapa ornamen di atas dan sekelilingnya. Lia punya bayangan apa sebenarnya ornamen tersebut, tapi memutuskan tak melacaknya lebih jauh. Sudah cukup. Dia tak butuh bahan bakar mimpi buruk tambahan untuk malam ini.

"Altar." cetusnya. "Mungkin pesugihan."

"Wao," Nic bersiul. "Terus? Ada penjaganya?"

"Tidak... Seluruh rumah ini sudah menjadi bagian darinya."

"Merepotkan..." Kiri menguap. "Tak bolehkah kita bakar saja rumah ini, Bang?"

"Tidak boleh," Abang alias Indra melarang tegas. Walau dia tahu kata-kata Kiri ada benarnya. Api adalah cara termudah memurnikan tempat yang sudah tercemar sejauh ini. Tapi, mereka tak bisa semudah itu memusnahkan bangunan, apalagi di wilayah pemukiman semacam ini.

PREDATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang