7. Iblis di Ruang UKS

54 3 5
                                    

Bangunan tua, besar, dan punya sejarah panjang adalah resep maknyuss untuk kisah-kisah seram. Sebut saja Nona K, Manusia Bayangan, Mister Penyet, Si Manis Kantor Kepsek... Pasti minimal ada satu spesies di tiap tempat semacam itu.

SMA Negeri 66 yang jadi tujuan PiPi malam ini termasuk yang relatif 'baru'. Memang, bangunannya sendiri besar, dan cukup banyak penghuni tak kasat mata berkeliaran di dalamnya, tapi kebanyakan tidak berbahaya. Ada satu yang cukup kuat, tapi tampaknya tipe yang hanya akan menyerang jika terusik. Mungkin... sesuatu yang ditanam waktu pembangunan pertama. Lia sering menemui yang seperti ini, bahkan tanpa perlu Terawang. Kalau melihat mereka, dia spontan mengucapkan salam dalam hati karena bagaimanapun, yang posisinya tamu kan PiPi.

Setelah menjelaskan duduk perkaranya pada penjaga malam (umumnya profesi ini memang diisi oleh mereka yang tahu-menahu tentang dunia Seberang dan Agen), pria separuh baya bernama Pak Kardi itu mengantar mereka ke lantai dua, dimana UKS yang bermasalah itu berada. Letaknya di koridor yang menghubungkan gedung lama dan baru. Tapi beliau hanya sanggup sampai di bordes terakhir.

"Ada demit di sana, dek... Ada yang nyanyi kalau malam..." Pak Kardi berkata sambil gemetar.

"Lagunya apa, pak?" tanya Nic. Info yang terlihat sepele seperti ini biasanya justru jadi petunjuk penting untuk kasus dunia Seberang.

"Nina bobok... Tapi suaranya itu... suara almarhum ibu saya..."

"Nina bobok..." Kiri menggosok matanya. Baginya, itu sih malah jadi godaan tidur seketika. Tapi bagi Pak Kardi, tampaknya lagu itu bukan kenangan yang terlalu bagus. Mungkin ibunya dari generasi yang menganggap lagu nina bobok bisa...memanggil yang lain.

"Tahun lalu pernah ada Perjusami di sini, dan ada yang dengar Gendhing Tonggari dari lantai dua... satu anak bahkan pingsan gara-gara dengar Lengser Wengi..." Pak Kardi menggeleng lemah. "Dek, saya udah tinggal di sini dari tahun 80-an. Anak istri saya tinggal di belakang sana. Saya sering liat yang begituan. Tapi yaa, cuma ngagetin. Asal saya berani, mereka juga nggak bakalan jahat. Palingan iseng. Tapi yang satu ini... kerasa... jahat banget. Padahal mah saya nggak pernah lihat."

Indra melirik Lia, yang menggeleng perlahan. Dia tidak merasakan atau mendengar apapun. Dan jujur saja, ini malah menambah ketegangan. Sebagai pemilik Terawang, indera Lia biasanya nomor satu untuk menangkap sinyal-sinyal unik seperti yang disebut Pak Kardi. Besar kemungkinan, apapun itu, tahu mana orang yang bisa dipancing, dan mana yang harus diincar dengan lebih... taktikal. Berikutnya, Indra menoleh pada Alexmaria. Sang bule tersenyum kecil, mengangguk pasti. Entah apa maknanya, tapi yang jelas Indra menerjemahkannya sebagai 'kita tetap maju'.

"Nggak apa, pak. Bapak tunggu saja di ruang jaga, ya. Kami janji, akan langsung pergi kalau ada apa-apa." Indra tersenyum.

Sementara Abang meyakinkan Pak Kardi, Lia dan dua temannya bertukar pandang. Jujur saja, ketiganya tegang setengah mati. Apalagi karena aktivitas makhluk dunia Seberang mendadak terhenti sepenuhnya begitu mereka menginjakkan kaki di bordes terakhir ini. Yang di bawah sih masih terasa, tapi di atas sini... sunyi sekali. Dan itu jelas salah. Apalagi kalau sampai Lia juga tak merasakan apapun.

Banyak kesaksian tentang alam yang mendadak sunyi janggal ketika sesuatu yang jahat menyeruak di wilayah yang bersangkutan. Seorang pengawas hutan di Amerika menyinggung tentang burung-burung yang berhenti berkicau sebelum bertemu Wendigo, misalnya. Dan Lia harus mengakui, fenomena lantai dua ini mungkin mirip seperti itu. Mungkin, karena ini tak pernah terjadi sebelumnya. Tempat ibadah sekalipun, walau tidak ramai ataupun punya niat jelek, pasti punya penampakan.

Artinya, apapun yang ada di sana, pasti sudah mendeteksi mereka, dan... melakukan sesuatu yang membuat semua entitas lain membisu.

"Nic, cerita sesuatu, kek, aku ngantuk, nih..." gumam Kiri. Karena misi ini agak mendadak, dia lupa membawa 'tas anti kantuk' miliknya.

"Rekap data kasus UKS ini aja, boleh?" Nic memang punya ingatan yang jempolan, terlepas gayanya yang lebih seperti playboy cap duren tiga. Plus, yang tadi sempat membaca detail memang hanya Nic, karena Lia dan Kiri sibuk mengontak orang rumah masing-masing, lalu langsung disambung briefing.

"Boleh, deh."

"Oke. Jadi, awalnya itu tahun 2000-an awal. Waktu libur Lebaran, ada empat atau lima anak kelas 3 menyusup ke sekolah, dan tampaknya bikin semacam ritual pemanggilan di UKS atas situ. Tampaknya, karena, anak-anak bego itu sekarang entah udah meninggal atau gak bisa dikontak lagi. Mungkin gila, mungkin sukses move-on, tahu, deh. Sabodo lah. Begonya poll. Intinya, waktu itu dua di antara mereka ditemuin histeris menjerit-jerit di malam Takbiran. Maksud gua, mereka manggil itu waktu malam Takbiran, gitu. Untung juga sih mereka milih waktunya di hari itu, jadi bisa langsung ditolong sama orang yang lagi Takbir keliling kampung. Dua anak ini katanya teriak-teriak 'berisik' dan nangis minta ampun, entah sama siapa. Soalnya, ruang UKS-nya sendiri kosong waktu dicek. TAPI! Belakangan, Agen yang datang buat penyelidikan menemukan ada gambar pentagram di lantai UKS. Otomatis, sejak itu UKS disegel."

"Pentagram..." seingat Lia, di film-film tentang pemanggilan Iblis, benda satu itu memang sering muncul.

"Masalahnya, lokasi UKS itu kan di koridor. Koridornya gak mungkin ditutup terus, jadi apa boleh buat, lalu lintasnya tetap jalan. Nah, sejak itu, orang yang lewat di dekat UKS itu sering ngerasa ada... sesuatu di sana. Kebanyakan sih cuma dengar suara, tapi ada juga yang ngelihat manusia berkepala singa. Atau beruang hitam. Pokoknya gak jelas banget. Tapi, yang paling gawat itu, jadi beredar cerita, kalau elo bisa masuk ke UKS jam 11.59 malam, elo bisa ketemu sama... entah apa, pokoknya, yang bersangkutan akan ngasih ramalan yang 100000% jitu.

"Dari sini, off record yang cuma tim penyelidik yang tahu, tapi banyak jatuh korban. Resminya cuma dua kasus, ada orang nekat menyusup kemari, dan... satu berakhir bunuh diri, satunya gila. Sekali lagi, nggak ditemukan tanda-tanda aktivitas dunia Seberang waktu Agen memeriksa. Cuma, katanya sempat tercium aroma belerang di kasus kedua. Kebetulan Agennya datang cepat, cuma jeda sejam setelah korban diseret keluar dari sini.

"Habis kasus terakhir, kalau nggak salah tahun lalu, Pemda akhirnya mutusin pasang Tembok Kasat di depan UKS ini. Itu lho, semacam guna-guna nyebelin yang biasa dipake buat ngerjain saingan dagang. Jadi semua yang lewat sini nggak akan punya minat sama tempat yang ditemboki. Tapi, selalu aja ada yang bisa ngedenger suara-suara, kadang lantai mendadak basah padahal nggak ada bocor atau pipa air deket situ... Intinya, makhluk itu tetep aja pingin eksis."

"Brimstone. Water. Passing Demonic." Alexmaria yang sejak tadi mendongak mengamati lantai dua berkomentar sambil mengangguk pelan. Untuk kesekian kalinya, Lia menyadari Bahasa Inggris yang digunakan Alexmaria bukanlah Inggris yang umum. Tapi bahkan Nic pun paham maksud kata-katanya barusan.

Ini jelas tanda-tanda Iblis.

"Lex, gua bukannya ngeraguin elo. Tapi... Elo yakin bisa... ngeberesin yang di sana?" bisik Nic. "Soalnya seinget gue, ahli Demonologi kan bukan exorcist..."

Kecemasan Nic ada benarnya. Sama seperti old money dan jutawan di dunia nyata butuh pengawal alih-alih pakai kostum khusus atau memanfaatkan kekuatan super untuk membela diri. Manusia serba bisa macam itu cuma ada di film-film.

"Mayhaps," Alexmaria mengangkat bahu. Tapi senyum yang tersungging di bibirnya menunjukkan dia cukup percaya diri.

Selagi mereka mengobrol, Indra berhasil mengirim Pak Kardi turun. Wajah si Abang tampak lebih tegang lagi ketimbang Lia dan kawan-kawan. Pasti sudah mendengar lebih banyak lagi dari si penjaga.

"Jadi... Semua siap?"

Lia dan teman-temannya mengangguk.

"Oke." Indra menarik nafas panjang, lalu melangkah ke lantai dua. Menuju ruang UKS dimana Iblis bersemayam.

PREDATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang