5. Bule Ganteng

37 3 4
                                    


Kasus bom bunuh diri gagal yang besok akan menghiasi surat-surat kabar dengan judul 'Angin Puting Beliung Di Tengah Car Free Day Menggagalkan Pemboman' berakhir tanpa adanya korban berarti. Dua aparat dan satu pejalan kaki terkena tembak, tapi untungnya tidak fatal. Luka terparah diderita oleh si pelaku, yang menurut perkiraan petugas medis lapangan setidaknya menderita patah tulang di lima tempat.

"Pake Girimehkala buat nyeruduk orang normal! Gila, luh!" Rian tertawa terbahak-bahak setelah mendengar cerita Kiri. Mereka duduk di cafetaria, yang masih penuh oleh mereka yang menunggu giliran pemeriksaan, atau sekedar menghabiskan waktu karena malas langsung pulang.

"Daripada repot." Kiri membalas malas. "Koreksi satu; Girimehkala nggak menabrak dia, kok. Cuma nyenggol."

"Sama ajaaa! Pos polisi aja hancur! Ketabrak truk sampah aja nggak segitunya!" Rian tertawa sampai terbatuk-batuk membayangkan seberapa keras 'senggolan' gajah jejadian itu, serta penderitaan si pelaku yang mesti terkena serangannya. Sebagai pemakai Shiki, dia tahu benar kekuatan manusia gajah itu.

"Memangnya kenapa, sih?" Lia yang sangat awam tentang Shinigami bingung mendengar obrolan mereka.

"Kamu pernah lihat patung Ganesha, kan? Yang di museum itu, lho. Bayangin kalau kamu kena seruduk manusia gajah segede gitu, dengan kecepatan... anggap aja 100km per jam."

"...Mati remuk?"

"Semacam itu, deh." Rian kembali terkekeh.

"Nggak diomelin atas, tuh?"

"Nggak mati, jadi mestinya sih aman. Omong-omong, tadi Bang Indra bilang, jangan pulang dulu. Ada yang mau dibicarain." Kiri menguap dan memeluk Hena Tora seperti guling. Dia masih agak penasaran tentang bule tadi, tapi karena kehilangan jejak, memutuskan tak ambil pusing. Mungkin cuma agen negara lain yang sedang liburan. Bukan hal baru.

"Lho? Tumben si Abang kemari minggu-minggu begini?"

"Denger-denger kalian mau kedapatan nampung orang baru? Tentang itu, kali." Rian memelankan suaranya.

"Hari libur begini? Nggak mungkin, deh." Lia tertawa menyeruput es tehnya.

"Serius! PiPi itu sering disirikin banyak pihak, tahu, nggak? Kali ini juga, banyak yang gak puas PiPi yang disuruh nampung orang baru itu."

Lia mengerutkan kening. PiPi kan cuma kantor kecil? Oke, memang ada Kiri dan Bang Indra, tapi dia dan Nic kan cuma pegawai biasa? Keluarga mereka bahkan bukan keturunan Kyai atau orang ahli lainnya. Kebetulan saja waktu kecil ada tetangga Lia yang bekerja sebagai agen Dunia Seberang, dan merekomendasikannya untuk mengikuti ujian kelayakan. Ada banyak orang yang bisa Terawang atau Tari Api (nama resmi teknik pengendalian api Nic) di Jakarta ini. Malah Lia seringkali menyayangkan bakatnya yang cuma bisa melacak, sehingga dia harus selalu dijaga oleh Bang Indra atau Kiri tiap kali bertugas.

"Memangnya orang barunya siapa, sih? Benedict Cumberbatch?" tanya Lia setengah bercanda. Kalau seganteng itu, nggak heran kantor lain sirik. Tapi, di lain sisi, mana mungkin tampang ganteng semata jadi patokan iri?

"Ahli Demonologi. Katanya sih kenalannya Mikitaka."

Demonologi. Ahli tentang Iblis. Sebuah profesi yang memang belum pernah ada di Indonesia.

Iblis, walau termasuk makhluk gaib, termasuk entitas yang masih diselimuti misteri. Seorang ahli bisa menghabiskan seumur hidupnya meneliti dan mendata penghuni Dunia Seberang, tapi tetap tak bisa menjelaskan tentang Iblis. Banyak kasus tak terpecahkan yang dicurigai sebagai ulah Iblis, atau minimal melibatkan mereka. Lia pernah mendengar, di Indonesia, kasus-kasus seperti itu biasanya dipeti-eskan. Dan Indra pernah menyinggung sambil lalu bahwa belakangan mulai ada yang menyuarakan untuk membuka dan mengungkap misteri di balik kasus-kasus tersebut.

Kiri yang sudah setengah tertidur mengangkat kepalanya. "Kak Miki? Kok aku nggak dengar apa-apa..."

"Masak sih? Sama sekali?" Rian mengerutkan kening.

"Kak Miki belum chat hari ini?" tanya Lia yang sudah hafal kebiasaan Takatsukasa bersaudara. Mikitaka yang kelewat bawel, dan Kiri yang super cuek. Keduanya sebenarnya akur, tapi Kiri sering malas merespon chat – satu hal yang kerap dikeluhkan sang kakak, yang saat ini tinggal di Kalimantan.

Alih-alih menjawab, Kiri mengambil ponselnya, dan terdiam agak lama. Ekspresinya tak berubah, tapi Lia sudah hafal, dan harus menahan senyum karena melihat tanda-tanda kekesalan di wajah gadis itu.

"Maaf. Ternyata memang sudah bilang... Kemarin sore." gumam Kiri sambil menunjukkan ponselnya.

Tampilan layar chat menampilkan deretan percakapan dalam bahasa Jepang, dan beberapa unggahan foto dada telanjang seorang pria. Lia setengah mati menahan tawa, sementara di sampingnya, Rian tersedak. Dia lupa kalau Mikitaka agak narsis, dan sangat bangga dengan otot-ototnya. Kiri memasang wajah 'makanya aku malas'.

"Lia, Kiri!"

Suara familer itu berasal dari pintu masuk cafetaria. Lia melambaikan tangan saat melihat sosok Nic dan Bang Indra. "Sini, Bang!!"

"Aku pamit dulu deh ya kalau gitu," Rian beranjak dari kursinya. Walaupun ingin tahu ini-itu, terutama tentang sang ahli demonologi, dia cukup tahu diri. Dia sudah bisa menangkap aura 'Orang-luar-tolong-pergi' yang dipancarkan Indra.

"Ngobrol apa sama si Rian?" tanya Indra setelah mencapai meja dengan dua gelas es teh di tangan. Nic menyusul agak telat, membawa menu serupa.

"Ahli Demonologi yang datang kemari," Kiri menjawab kalem. "Dan sepertinya, teman Kakak?"

Indra mengangguk singkat. "Itu alasanku ngumpulin kalian semua hari Minggu begini. Sorry, ya. Tapi, kayaknya kita bakalan langsung mesti jalan bareng dia."

Jalan bareng, artinya... misi dadakan. Bukan hal baru. Dan besok toh masih ujian kelas tiga, yang berarti mereka bahkan bisa titip absen.

"Pak B udah tahu belum, tuh?" tanya Nic sambil mengerutkan kening. Pak Bos bukan orang yang berisik soal protokol, tapi kalau bicara sopan-santun, seharusnya beliau juga dikabari, kan?

Indra mengangguk. "Udah kuobrolin lewat telepon, kok. Kemarin sebenarnya juga udah dipanggil kemari, tapi si bule itu ada masalah sama penginapan, makanya nggak ketemu."

"Bule..." Kiri mengangkat alis sedikit, teringat pengalamannya tadi.

"Yang itu jangan-jangan?" Lia yang duduk menghadap ke pintu cafetaria menunjuk ke sosok jangkung yang baru saja masuk. Dan harus diakui, dari jarak sejauh ini pun dia bisa memastikan bahwa sang bule termasuk keren. Sepintas, agak mirip Nicholas-nya Jonas Brother, tapi yang ini pirang. Tubuhnya tegap, wajahnya tampak agak canggung, celingak-celinguk mencari sesuatu.

"Yap," jawab Indra setelah menoleh. "Oi! Lex! Sini!!"

Buset! Lia harus menahan diri untuk tidak mengomentari baju sang bule; kemeja lengan pendek, motif Bali (atau Hawaii?) berwarna pink menyolok, dengan celana jeans tiga per empat. Kacamata berlensa ungu menghiasi wajahnya. Semua memenuhi kriteria norak untuk selera Lia. Sepintas, dia terlihat seperti bule backpacker, tapi setelah dekat, terlihat kalau yang satu ini sangat bersih.

"Charmed," si bule menyapa sopan. Kiri langsung mengenalinya sebagai bule misterius yang dilihatnya tadi. Dan dia langsung paham arti gerakan anehnya tadi. Dia memang bisa melihat Inugami.

Untung deh, bukan masalah baru...

"This one is Alexmaria Velder. Apa kabar?" si bule menambahkan dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih. Tak lupa membuka kacamatanya. Senyumnya ramah, dan pikiran bodoh tadi kembali terlintas di benak Lia;

Ini sih, nggak usah ahli Demonologi juga pasti disirikin, deh!

PREDATORWhere stories live. Discover now