3. Shikigami

50 3 9
                                    


Hari Minggu, selagi warga Jakarta memenuhi jalan merayakan car free day, kantor pemda jakarta pusat dipenuhi orang-orang yang sangat beragam. Yang biasanya takkan dijumpai berkumpul pada jam yang sama di kantor pemda seperti ini.

Anak SMA. Pria manula dengan potongan badan sekelas Chris Hemworth. Pemuda dengan ekspresi Severus Snape-nya Alan Rickman. Orang-orang asing berbagai ras – walau jumlahnya tidak banyak.

"Semua ini Onmyoji?" bisik Lia yang mojok berduaan dengan Kiri di lantai 3. Menurut Kiri, gilirannya masih agak lama, dan dengan banyaknya Shikigami berkeliaran di bawah sana, sebaiknya mereka mencari tempat yang agak sepi.

Kiri mengangguk. "Ilmunya sama. Tapi sebutannya sih macam-macam. Pemanggil, Summonner, Dukun, entah apa lagi." Kiri menguap, lalu membenamkan wajah di 'plushie' Hena Tora. Lia terkekeh pelan, lalu kembali mengamati orang-orang yang lalu-lalang di sekitar mereka. Dengan tidak menyolok, tentu saja. Tak sebaiknya pegawai swasta sepertinya cari masalah. Dia sudah sering mendengar cerita Mikitaka tentang ego para pemakai Shikigami. Bisa dibilang, Kiri dan Mikitaka-lah yang anomali, karena menganggap kekuatan mereka bukan wahana untuk menyombongkan diri sebagai yang terhebat di antara para agen dunia seberang.

"Takatsukasa."

Kiri membuka sebelah mata mendengar panggilan itu, lalu mengangkat kepala. "Kak Rian, pagi." ucapnya sopan. Di sampingnya, Lia mengangguk kecil. Bahwa Kiri membalas salam orang dengan nada seperti ini, artinya yang bersangkutan bukanlah kalangan sok elitis. Tapi berdasarkan pengalaman (yang separuhnya dialami oleh Nic yang senantiasa kelewat pe de), dia memutuskan untuk low profile dulu.

"Masih juga pakai Byakko buat bantal?" Rian tertawa mengomentari.

Byakko. Nama resmi Hena Tora. Dan Lia ingat, itu adalah nama dewa penjaga Barat dalam mitologi China dan Jepang.

"Empuk, sih." balas Kiri singkat. Sontak terdengar suara geraman halus dari sang plushie. Bukan geraman mengancam. Sebaliknya malah, terdengar seperti rengekan putus asa. Lia berani bersumpah otaknya secara spontan menerjemahkan geraman itu sebagai;

Susah menyenangkan si Bos. Apalagi belakangan ini, saya dianggap terlalu generik, jadi bikin beliau sebal...

Tampaknya apa yang dipikirkan Hena Tora memang tersampaikan pada orang lain, karena Rian kembali terkekeh, lalu menjentikkan jarinya. Sontak, seekor macan tutul muncul begitu saja dari udara kosong di sisinya.

"Ose mau kasih salam," ucap Rian.

"Oh," Kiri menggosok matanya, lalu meletakkan Hena Tora di lantai. Macan mungil itu mendengus pelan, lalu mengibaskan kepalanya sedikit, seolah merenggangkan otot, baru kemudian berjalan dengan langkah kecil ke hadapan Ose.

Terlepas ukuran mereka yang berbeda jauh, Ose tidak menggeram ataupun terlihat meremehkan. Dia menunduk dan mengendus hidung Hena Tora, yang dibalas dengan tepukan kaki depan Shiki Kiri itu.

Kamu sehat, Bocah?

Iya, Kak.

Jangan kalah sama anak-anak lain, lho, ya.

Siap!

"Kayaknya baru kali ini aku lihat Hena Tora ceria begini..." gumam Lia. Kiri tak menanggapinya. Alih-alih, dia merenggut tengkuk Hena Tora dan mengangkatnya kembali.

"Jangan terlalu diprovokasi, Ose. Nanti si bodoh ini ngelunjak." ucap Kiri serius. Ose mengeluarkan dengkuran halus sebagai jawabannya. Tapi, kalau Hena Tora berlaku seperti kucing piaraan, tingkah Ose sangat... anggun.

PREDATORKde žijí příběhy. Začni objevovat