In The End

3K 307 42
                                    


Tidak ada hujan seperti yang mendramatisir keadaan. Tidak ada payung-payung hitam mengelilingi proses pemakaman itu. Namun, tetap, hitam menjadi dominan rasa duka yang tengah menyelubung hati mereka—para keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.

Tidak ada hujan, langit bahkan sangat cerah seperti perangai dari dia yang telah pergi, dari dia yang telah bahagia dalam dunianya. Namun, tetap, tangisan menjadi iringannya.

Mata itu menatap kosong pada peti yang seluruhnya telah masuk ke petak lahan. Duduk bergeming di atas kursi roda dengan punggung tangannya yang masih tertancap infus di sana, juga cervical collar menahan tegak lehernya. Dia menuli kala doa per doa diucapkan dan di-amin-kan. Benar-benar kosong, jiwanya, seolah ia tidak benar hadir di kenyataan ini. Ia masih tak mempercayainya, sekalipun telah berjanji akan baik-baik saja.

Bagaimana bisa semudah itu menepati janji?

Di hadapannya, bukanlah orang yang tidak penting dalam hidupnya.

Di hadapannya, bukanlah sekedar orang yang hadir dalam harinya.

Di hadapannya, di peti itu, ada seseorang yang sangat disayanginya sekalipun tak mengalir darah yang sama.

Bagaimana semudah itu ia menepati janji untuk baik-baik saja?

"Bu, kenapa oppa tidur disana? Apa tidak gelap?"

Atensinya perlahan mengarah pada gadis kecil digendongan ibunya. Ia menatap polos ke arah peti, mata bulatnya berkedip tak mengerti. Namun, sang ibu yang tersedu hanya mampu mengecup pipinya singkat, tak dapat menjawab apapun. Di sebelahnya, ada pria yang berstatus suaminya, tangan kanannya merangkul sang istri, sedangkan tangan kirinya mengusap lembut surai hitam anak lelakinya yang berdiri di depannya, tengah menangis, dan anak sulungnya yang juga sama kacaunya.

Hatinya berdenyut, perlahan perasaan itu menjalar dan membuat pandangannya mengabur. Ia menangis, pada akhirnya, setelah siuman dari koma dan tak menunjukkan ekspresi apapun selain diam. Ia menangis, pada akhirnya, setelah merasakan betapa menyakitkannya menghadapi kembali kenyataan.

Matanya kembali pada peti di sana. Bagaimana bisa aku bahagia? Bagaimana bisa aku menepati janjimu?

"Oppa," suara itu menggaung di telinganya, kemudian tubuh sang adik berjongkok di hadapannya, tangan itu menggenggamnya dengan hangat. "Ayo, kita pulang."

Ia hanya diam sekali lagi, yang dianggap jawaban iya oleh adiknya.

"Tunggu,"

Langkah adiknya terhenti oleh interupsi seseorang, kemudian muncul lelaki—seorang kakak yang jelas sekali terlihat kesedihan dibandingkan dengannya. "Terima kasih ya, sudah menemani Taehyung selama ini. Aku mewakilinya, maaf, jika dia sering merepotkanmu, Jimin."

Kim Namjoon, tersenyum sendu sembari menepuk bahunya. "Taehyung beruntung sekali, sudah hidup bersamamu. Seandainya... aku juga bisa melewati hari bersama Taehyung." Ia bergerak pelan, memeluk Jimin sesaat, lalu menghapus kembali air matanya yang mengalir.

"Terima kasih, ya."

"T-tung...gu," Jimin bersuara, pelan, tapi cukup membuat Namjoon berhenti sebelum benar-benar berbalik. "Taehyung... bilang... dia akan bahagia."

Hening, sementara tersisa keluarga dari Taehyung, juga keluarganya. Atensi mereka semua benar-benar fokus pada Jimin yang tampak kesulitan mengucapkan sesuatu.

"Taehyung bilang... dia akan bahagia." Jimin mulai terisak. "Dia bilang padaku... dia akan bahagia di sana. Jadi... kita juga harus bahagia."

Perlahan, isakan itu menjalar pada mereka yang mendengar, walaupun sulit untuk mempercayai, tapi ucapan Jimin jelas tak main-main, jelas bahwa dia mengatakan kebenarannya.

Tidak ada hujan yang mendramatisir keadaan. Sebab, Taehyung adalah sosok yang ceria, sosok yang seperti matahari. Jelas, kepergiannya pun diiringi oleh cerahnya langit, dan beningnya air mata.


~~~


"Maaf ya, Ibu harus kembali secepat ini." Tangan itu menyentuh pipinya, kemudian bibir itu mengecup dahinya lembut. Wanita paruh baya yang telah jelas kerut umur di antara cantiknya itu tersenyum. "Jaga diri baik-baik, ya. Jihyun juga."

"Anakku, sampai bertemu di libur musim dingin." Ayahnya juga, mendaratkan kecupan singkat pada rambutnya, kemudian pada adik perempuannya.

"Aku akan baik-baik saja. Ayah dan Ibu, jangan lupa menjaga kesehatan. Kerja bukan nomor satu." Ucapnya, terbesit nada antara kecewa sekaligus cemas.

Kemudian dua malaikat itu, yang seharusnya menjadi sosok penjaga dalam hidupnya, yang seharusnya menjadi sosok yang memberinya warna di hidupnya, melambai seiring menjauh. Jimin sudah terbiasa, pun Jihyun.

Kedua saudara itu juga berbalik meninggalkan bandara. Sepanjang perjalanan, hening masih menyelimuti. Hari ini, menginjak hari ke-3 setelah kepergian Taehyung, tentu saja mereka masih merasakan duka menyelimuti. Mata mereka sama-sama melempar pandangan pada luar tanpa minat memulai pembicaraan.

Blak!

Jimin menutup pintu taksi pelan, berjalan lebih dulu sedangkan adiknya memberi bayaran pada sang supir. Ia terdiam, menatap rumahnya yang masih berdiri kokoh. Tak ada yang berubah, tapi... Jimin merasa sepi.

"Oppa," Jihyun menyentuh lembut bahunya. "Rumah ini menunggumu."

Jihyun benar, Jimin tak boleh terus-terusan menghindar. Ia yang menolak tinggal di rumahnya sendiri setelah pulang dari pemakaman—selama ini tinggal di hotel—kini mau tak mau harus menghadapi. Apalagi, liburan sebentar lagi berakhir, dan Jihyun harus pulang ke Busan.

Satu langkah awal menghadapi kenyataan, kemudian terhenti oleh suara seseorang yang familiar.

"Apa kamar di rumah ini ada yang disewakan?"

Tubuhnya berbalik, lalu kedua netra itu saling menatap dengan tatapan bercampur, kacau, rindu, juga sedih. Di belakangnya, berdiri seseorang yang nyaris tak ditemuinya lagi setelah ia membuka mata setelah koma. Seseorang itu, menenteng ransel dan kopernya.

"Sepertinya, aku butuh tempat tinggal." Ucapnya lagi dengan nada santai.

"Jungkook,"

Lelaki itu tersenyum, sendu, "lama tidak berjumpa, Jimin hyeong."



END



Terimakasih teruntuk yang udah baca dan ngikutin ff ini dari awal. Maaf, jika pada akhirnya ff ini sampe ending pun ga sesuai ekspektasi yang kalian bayangkan. Masih banyak banget kekurangan, jadi silahkan tinggalkan kritik dan saran, emm... atau kesan pesan juga boleh. Intinya, TERIMAKASIH :)

SO FAR AWAYWhere stories live. Discover now