Shane mengeryit saat dia mencoba untuk bangun. Mulutnya sibuk merapal, memaki kelakuannya yang banyak tingkah saat mengenakan inline skate merah kesukaannya.
Harusnya dia tadi tak banyak gaya mencoba meloncat miring di trotoar. Hasilnya dia jatuh secara dramatis karena pakai acara hampir terguling. Memang dia tadi berhasil menjatuhkan diri ke depan dengan aman untuk meminimalisir dampak sakit jatuh ke belakang. Tapi itu hanya berlaku jika kamu menggunakan pelindung lutut. Saat ini Shane tidak mengenakan pelindung apapun. Alhasil lututnya lecet dan berdarah. Memang tidak terlalu parah, pasti akan baret-baret. Yang parah adalah dia merasa pergelangan kakinya agak terkilir dan Susah untuk diajak berjalan.
"Shane!!" suara familiar yang menyapa dengan nada panik dari belakangnya membuat Shane menoleh.
"Kak Azha!" seru Shane keheranan melihat Azha berlari ke arahnya dengan membawa kantung plastik minimarket yang isinya penuh dengan camilan.
"Kakak ngapain di sini?" tanya Shane sambil meringis nyeri.
"Mau ke rumah kamu, aku ada tugas kelompok sama Grace. Kamu gapapa?"
"Gapapa kok, Kak, cuma lecet dikit." Shane berbohong, aslinya dia sudah ingin menangis karena pergelangan kakinya terasa nyut-nyutan.
Azha menaruh belanjaannya dan membantu Shane yang mencoba berdiri namun Shane limbung dan jatuh kembali. Untung saja dia tak membawa Azha jatuh bersamanya.
"Lepas dulu inline skatenya," usul Azha. Dia duduk membungkuk dan tangannya sekarang sibuk melepas ikatan tali sepatu roda Shane yang hanya bisa terduduk diam di jalan.
"Aku sendiri aja, Kak!" ucap Shane terburu-buru karena malu namun Azha mengabaikannya malah membuka sepatu ketsnya juga dan mengecek pergelangan kaki Shane membuat Shane semakin malu. Dia sudah bermain selama satu jam. Saat ini kakinya pasti bau!
"Agak bengkak sedikit. Jangan dipakai jalan," gumam Azha saat melihat pergelangan kaki kiri Shane.
"Lah, terus aku pulangnya gimana?"
Azha tak menyahut, menjejalkan kaus kaki ke dalam sepatu kets dan memasukkan kembali ke dalam inline skate kemudian membuat simpul agar menyatu dan mengalungkan di lehernya kemudian berjongkok memunggungi Shane.
"Naik! Aku gendong. Ga sampai 10 menit kan dari sini."
Wajah Shane merona seketika. "Jangan, Kak! Aku berat!"
"Anak umur 13 tahun memang seberat apa sih?"
"Hampir 14 tau, Kak," sungut Shane membuat Azha tertawa.
"Udah naik aja, aku biasa latihan taekwondo. Ngangkat kamu doang pasti bisa kok," ucapnya lagi.
"Emang kakak latihannya bawa-bawa karung ya? Itu taekwondo atau romusha?"
"Bawel deh, naik cepetan! Pegel nih kalau jongkok terus!"
Shane tak punya pilihan lain selain memanjat punggung Azha, mengalungkan tangan dengan erat di lehernya sementara Azha menyangga kakinya. Azha mengambil plastik belanjaannya dan mulai berjalan.
"Plastiknya aku yang pegangin aja, Kak. Sepatunya juga.."
"Ga usah, pegangan aja yang bener."
Shane terdiam, hidungnya mengendusi rambut Azha. Harum khas pria dan sekarang dia bergelayut di punggungnya yang nyaman sekali untuk dipakai bersandar. Membuat wajah Shane merah padam dan jantungnya berdetak kencang. Untung saja Azha tak punya spion di bahunya. Bisa malu dia kalau Azha memperhatikan bagaimana rupa wajahnya saat ini.
"Ada tugas apa kak?" tanyanya berbasa-basi.
"Biologi."
"Kok ga dianter supir? Atau bawa mobil sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Kaki Langit
RomanceShane berpikir jatuh cinta hanya akan terjadi satu kali, menikah hanya satu kali. Namun, saat dia memutuskan untuk menikah dengan sahabat baiknya, tampaknya pikiran 'serba sekali seumur hidup' harus dia pertimbangkan ulang. Cakra tak percaya cinta...