"Shane, gue masuk ya...." sapa Cakra dari balik pintu. Tadi pagi dia baru saja mendengar kabar mengejutkan kalau sepupunya, Azha, akan menikah dengan Grace. Hal yang sama sekali tidak dia sangka karena mereka berdua masih terlalu muda. Azha dan Grace bahkan belum lulus jadi dokter umum. Untuk itu dia datang sekedar untuk menengok Shane yang sama sekali tidak mengindahkan panggilan darinya.
Tak ada jawaban dari Shane tapi tadi dia diberitahu Ibu Rein kalau Shane ada di kamarnya.
Cakra mengetuk sekali lagi, kali ini agak kencang, baru setelahnya dia membuka pintu. Dilihatnya Shane ada di balkon, duduk memeluk lututnya. Dia menghampiri Shane, ikut duduk di sebelahnya.
"Butuh tisu?" ledek Cakra saat melihat wajah kusut Shane.
Shane diam saja, masih memandang lurus ke depan membuat Cakra ikut terdiam. Mereka hanya duduk berdampingan tanpa suara selama lebih dari 10 menit, menyaksikan semburat merah langit senja.
"Gue gak nyangka...." gumam Shane tiba-tiba.
Cakra menghela napas panjang, mengusap-usap kepala Shane. "Gue juga sama kagetnya pas mama bilang, Azha sama kakak loe lima hari lagi nikah. Are you ok?"
Shane menggeleng, airmatanya mulai tergenang, membuat Cakra mengulurkan tangan dan merangkul bahunya. Membiarkan Shane menyenderkan kepala di bahunya.
"Dari miliyaran wanita yang ada di dunia ini, dia harus pilih kakak gue. Gue udah biasa, Cak, selalu jadi orang nomor dua. Everybody loves Grace, everybody adores her. Daddy's favorite girl, Jun favorite sister, kebanggaan ibu, hal itu udah biasa buat gue.
But this? Sekalinya gue pernah ngerasain yang namanya kagum, sayang, cinta. Orang itu juga memilih dia."
Shane menghela napas berat. "Salah gak sih kalau gue tiba-tiba berharap semua gagal, suatu saat Kak Azha akan nyesal kenapa dia harus memilih Kak Grace padahal ada...." Shane tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Goshhh, gue jahat banget," sesalnya.
Cakra tersenyum tipis. "Kalau loe masih bisa merasa jahat, artinya loe masih baik, Shane."
"Lagi pula ga perlu ditangisin juga, anggap aja belum jodoh," lanjut Cakra.
Shane mendelik, didorongnya tubuh Cakra dengan bahunya. "Diem deh! Gue tau loe gak paham sama apa yang gue omongin. Loe kan gak pernah ngerasa kayak gue. Sayang banget sama orang tapi orang itu ngelihat gue juga nggak!"
Cakra diam saja, walau dalam hati dia berucap, 'Oh, I know that kind of feeling, terutama saat ini, Shane.'
----------
Hari sudah hampir siang tapi Shane masih bermalas-malasan saja di kasur. Bosan membaca majalah, dia beralih mengambil remote, menyalakan TV dan mencari-cari film asyik untuk ditonton. Meja kecil bekas sarapan dia taruh begitu saja di bawah kasur.
"What is this?" tanya Cakra. Tangannya menenteng bra dari batok kelapa. Sepertinya itu souvenir yang Shane beli saat mereka jalan-jalan kemarin.
Shane hanya menoleh sekilas. "Oh, itu buat si dedek. Abis dia ribut terus sih minta oleh-oleh."
Alis Cakra terangkat, membayangkan apa yang akan Jun lakukan dengan bra tersebut. Mungkin akan dijadikan pengganti gelas darurat, mangkuk sup, atau centong.
"Kupikir buat kamu, Darling," ledek Cakra.
Mata Shane menyipit. "Yang ukuran begitu mana muat!" hardiknya.
"Ya mana tau, kan aku belum pegang," gumam Cakra yang sekarang ikut duduk di ranjang, mengusap-usap punggung Shane yang tidur menelungkup.
Saat ini mereka sudah berada di Tahiti di salah satu resort mewah untuk berbulan madu walau rencana Cakra untuk menciptakan suasana romantis demi meneruskan nama keluarga jelas gagal total. Shane sepertinya masih enggan dia sentuh dan Cakra juga cukup tahu diri untuk tidak memaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Kaki Langit
RomanceShane berpikir jatuh cinta hanya akan terjadi satu kali, menikah hanya satu kali. Namun, saat dia memutuskan untuk menikah dengan sahabat baiknya, tampaknya pikiran 'serba sekali seumur hidup' harus dia pertimbangkan ulang. Cakra tak percaya cinta...