Darlang

21.7K 2.7K 187
                                    

Shane tak bisa tidur lelap. Bantal hamil yang biasanya bisa membuat tidurnya agak nyaman malam ini tidak banyak membantu. Dia gelisah. Coba miring ke kiri, perutnya terasa tertekan, miring ke kanan setelah berguling dengan susah payah, rasanya sama saja. Belum lagi anaknya menendang-nendang dengan aktifnya seakan mengatakan dia juga sudah tak betah di dalam sana.

Shane jadi serba salah, membayangkan dirinya sama seperti sapi kurban yang sudah dimiringkan dan siap untuk disembelih. Tak berdaya dan tak bisa apa-apa. Diliriknya jam dinding, ternyata sudah jam 21.45. Tempat tidur di sebelahnya kosong. Cakra belum juga pulang padahal hari sudah selarut ini.

Mungkin itu juga sumber kegelisahannya. Rasanya tak menyenangkan kalau Cakra tidak ada.

Shane hendak meraih telepon dan menghubungi Cakra saat dia mendengar pintu apartemennya terbuka.

Dia langsung menghembuskan napas lega.

"Darling, kok belum tidur??" tegur Cakra saat dia sudah masuk ke kamar mereka.

Bibir Shane mencebik manja. "Gak bisa tidur. Aku nungguin kamu."

Cakra tersenyum menghampiri Shane, mengecup kening dan juga perutnya yang membuncit. Duduk di sisi tempat tidur dan membelai-belai rambut Shane.

"Kan aku sudah bilang aku pulang malam. Harusnya kamu gak usah nunggu. Kalau sepi, minta temenin aja sama Mbak dulu."

Setelah mereka pindah ke apartemen yang lebih besar, Cakra mempekerjakan baby sitter yang sudah lolos banyak tahap wawancara untuk mendampingi Shane selama kehamilan akhir dan nanti setelah bayi mereka lahir.

Menggeleng, Shane menyahut. "Gak bisa. Cemas aja kalau kamu belum pulang." Memasuki masa-masa persalinan, Shane jadi jauh lebih sensitif.

"Maaf ya, Darling. Lagi ada masalah sedikit, jadi aku harus lembur."

"Masalah apa?" tanya Shane penasaran.

"Biasa ... Keluarga pasien nuntut. Aku coba mediasi sama dokter yang bersangkutan sekaligus sama keluarga pasien juga. Tapi, keluarga pasien masih ngotot mau bawa ke pengadilan," jelas Cakra.

Shane mengusap-usap punggung Cakra mencoba memberi dukungan. "Berat ya ngurus rumah sakit," gumam Shane.

Tersenyum tipis, Cakra menjawab."Semua pekerjaan ada risikonya. Gak usah khawatir. Dasar hukum kami jelas, kok. Tuntutannya bisa gugur sebelum sampai ke pengadilan."

"Kamu pasti stres," ucap Shane prihatin

"Lumayan. Tapi, aku makin stres kalau kamu ga mau tidur. Istirahat, Shane. udah malem kan," tegur Cakra sambil mencubit pipi istrinya.

"Oke, tapi aku minta dipeluk."

Cakra tertawa. "Dedek yang lagi manja atau mamanya, nih?"

"Dua-duanya," jawab Shane cepat.

"Aku mandi dulu."

Shane mengangguk. "Jangan lama-lama!"

"Berendem di bathtub dulu, ah. Pake bubble sambil baca buku plus dengerin musik," ledek Cakra.

"Oke Cakrawala, besok aku langsung ganti kunci apartemen supaya kamu gak bisa masuk!" ancam Shane sementara Cakra hanya tertawa saat dia melarikan diri ke kamar mandi, menghindari cubitan maut istrinya.

Selesai mandi, berganti kaus dan celana pendek, Cakra menyusup ke dalam selimut, memeluk Shane yang sudah menyingkirkan bantal hamilnya agar bisa berdekatan dengan Cakra.

Cakra mencium bahu Shane yang tidur membelakanginya sambil sesekali mengusap-usap perut Shane.

"Kamu udah ngerasain kontraksi palsu gak Shane?" tanya Cakra yang merabai tonjolan di perut Shane, entah itu kaki atau tangan anaknya.

Pelangi di Kaki LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang