Darlung, can we talk?

16.1K 2.4K 103
                                    

Shane bangun agak siang dan merasa agak meriang. Hujan deras dari jam 3 pagi dan dia lupa menaikkan suhu kamarnya yang masih 20°C. Hasilnya dia menggigil walau saat jam 1 malam dia masih mengeluh kegerahan. Beginilah nasib wanita hamil, semenit dia merasa seperti ada di dalam oven, menit berikutnya dia merasa beku.

Shane meraih sendal kelinci warna pink di kolong tempat tidurnya walau agak kesulitan. Kakinya terasa dingin jika harus memijak lantai tanpa alas kaki.

Setelah keluar dari kamar mandi selepas mencuci muka dan menggosok gigi; mandi sengaja dia tunda sampai selesai sarapan saja. Shane turun ke lantai satu menuju dapur. Dilihat masih ada Jun di sana. Si Dedek sepertinya baru pulang dari rumah sakit.

"Dek!" sapa Shane. Dia mencomot roti panggang yang tinggal separuh di piring Jun. Terlalu malas untuk mengoleskan selai cokelat sendiri.

Jun mendelik kesal, tapi sudah kehabisan energi untuk bertengkar.

"Baru pulang, Dek?" tegur Shane lagi.

Jun menggangguk. Matanya kelihatan mengantuk. "Baru sampai sekitar 10 menit, lah. Masih kena shift malam sampai besok," jelasnya.

"Cakra kapan pulang?" tanya Jun yang sekarang sibuk mengoles selai ke roti lagi. Tampaknya dia masih kelaparan.

Shane memerhatikan tangan adiknya lekat-lekat. "Buatin, Dek!"

Dia pikir Jun akan membantah seperti biasa, tapi ternyata tidak. "Mau berapa?" tanya Jun.

Shane mengacungkan dua jari. "Sama sekalian susu cokelat anget, dong, Dek."

"Gak sekalian minta potongin buah?" sindir Jun.

Shane tertawa. "Boleh, kalau ada."

Tangan Jun menunjuk keranjang buah di sudut meja dapur. "Apel, pir, anggur, pisang, buah naga. Mau yang mana? Tapi kalo mau pisang, aku potong sama kulit-kulitnya. Abisin semua, ya!"

Shane mengambil satu buah apel dan satu buah pir lalu menyerahkannya ke Jun. "Dedek tumben lagi rajin. Bentar lagi minta duit, deh."

"Kok tau?" jawab Jun tanpa malu.

Shane mendengkus. "Udah ketebak, Dek! Mau buat apa lagi, sih? Emang gaji masih kurang?"

"Rere mau ultah."

"Gak bisa dikasih buku sama tempat pensil aja?"

"Bisaaa ... Bisa diputusin setelahnya," jawab Jun cuek.

"Mending gak usah pacaran kalau gak modal, Dek!" cibir Shane.

"Udah beli kadonya, kok. Ini aku nodong ya iseng-iseng berhadiah aja. Lumayan, kan, bisa buat nutup modal," balas Jun sambil menaruh potongan buah dan roti ke hadapan Shane.

Shane tertawa walau kesal. Ditoyornya kening adiknya.

"Cakra kapan pulang?" tanya Jun lagi.

Shane diminta mengungsi karena Cakra dinas selama seminggu. Dia tak mau Shane tinggal sendiri di apartemen. Pilihannya adalah rumah mertua atau orang tuanya dan Shane lebih memilih tinggal di rumahnya dulu.

"Lusa," jawab Shane, muram. Dia mengingat Cakra pergi dalam kondisi ngambek.

Cakra marah soal rumah yang dia beli. Berulang kali Shane coba menjelaskan kalau dia suka rumahnya, meskipun menurut dia terlalu besar. Tapi, Cakra tak mau mengerti. Dia menganggap reaksi awal Shane akan rumah itu adalah final.

Shane tak suka dan tak bersedia pindah.

Kalau Cakra sudah ngotot dan sibuk membenarkan pikirannya sendiri, Shane jadi terlalu malas untuk beradu argumen dan lebih memilih diam.

Pelangi di Kaki LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang