Dua puluh Tujuh

2.7K 615 53
                                    

Gruduk..
Gruduk..

"Hmm hujan.. Aku belum mengangkat jemuran." Yuta segera meletakkan cangkir teh hijaunya dan beranjak ke luar rumah sambil membawa keranjang untuk mengangkat jemurannya. Ia memasukkan pakaian dan kain yang sudah kering ke keranjang kayu yang ia bawa. Ia mendongak, menatap kosong langit yang gelap. Awan-awan mulai membentuk pusaran di langit.

"Badai datang..."

Yuta melanjutkan kegiatannya. Setelah mengangkat semuanya, ia kembali masuk ke rumah kecilnya. Tak lupa mengunci pintu dan menutup semua sela-sela cahaya.

Seekor peri menghampirinya. "Tuan.. Di luar akan ada badai ya?"

"Sepertinya, ya. Ini pertanda.."

"Tuan.."

"Perasaanku benar-benar buruk. Aku harap semua berakhir dengan baik."

Ten duduk di atas meja saat tuannya menaruh keranjang pakaian di pojok ruangan. Walaupun sudah sangat lama ia mengabdi pada Yuta, baginya, hidup penyihir ini benar-benar misterius. Identitas Yuta? Tentu ia tahu. Ia tahu kalau Yuta adalah Putra Mahkota yang melarikan diri. Tapi, ia tidak mengerti alasan kenapa Yuta melarikan diri.

Ia juga jelas tahu kenapa istri tuannya gugur dalam perang. Namun sekali lagi, ia bingung. Kalau memang Yuta ingin melindungi Mutiara Hitam, kenapa ia harus memberitahu Neptunus kalau salah satu anaknya akan membawakan kepingan Mutiara Hitam?

"Kepalamu itu berisik sekali, Ten.."

"E-eh Tuan?!" Oh, Ten benar-benar malu. Ia baru ingat tuannya bisa membaca pikiran. Ingin rasanya ia menceburkan diri ke kolam ikan saking malunya.

Yuta tersenyum tipis. "Ingin kuceritakan?"

Ten mengangguk dengan semangat. Yuta hanya tertawa kecil menanggapi perinya.

"Ahaha.. Baiklah.. Jadi begini....









































































































•••••

Tangannya mengerat pada setir kapal itu. Hujan dan badai membuat hatinya semakin gundah. Walaupun hujan mengguyur tubuhnya, ia tetap berada di belakang setir kapal.

"Kapten, biar aku yang melanjutkan. Berteduhlah, hujannya semakin parah. Nanti kapten sakit." Ucap Seungcheol yang dari tadi berusaha meminta Jeno turun dan berteduh. Hey, mantelnya sudah basah dan ia bisa sakit!

"Lalu bila aku turun, bagaimana denganmu? Kalau kau menggantikan posisiku sekarang, di tengah badai, dengan pakaian tipis dan basah kuyup itu, apa kau tidak akan sakit? Huh, hebat.." Balas Jeno acuh. Ia masih kukuh pada pendiriannya. "Istirahatlah, kau lelah.."

Seungcheol memandang kaptennya iba. Entah kenapa, pandangan Jeno terlihat kosong. Seperti.. Seperti tidak ada kehidupan di sana. "Kapten?" Ia menepuk bahu Jeno. Namun hening. Jeno sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Kapten?"

"A-ah ya? Maafkan aku.." Jeno terlihat terkejut dan mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Kau oke, kapten?"

"Hm."

Kembali hening. Seungcheol merasa ada yang salah dengan kaptennya.

Black PearlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang