Namaku Maryani

269K 6.1K 2.1K
                                    

“Bu, apa benar bapak sudah meninggal?”

“Memangnya kenapa to, Nduk?”

“Gak pa-pa, aku kasihan lihat Ibu, setiap hari harus berjualan kue keliling kampung seperti ini,” kataku dengan sorot mata yang tajam.

“Yang penting, kan, kamu bisa terus sekolah,” kata ibu sembari menata kue-kue basah di atas nampan plastik tanpa menoleh ke arahku.

“Tapi, kan, kalo bapak masih ada, mungkin kehidupan kita gak akan seperti ini, Bu!”

“Sudah, Nduk! Sudah! Jangan paksa Ibu … tak perlu kamu bahas tentang bapakmu lagi! Ibu sudah nyaman hidup seperti ini, anggap saja bapakmu itu sudah mati!” kata ibu yang kini menaikkan nada bicaranya.

***

Namaku Maryani, hidup dengan ibu di sebuah rumah bilik yang terkadang atapnya bocor ketika hujan lebat turun. Aku sudah bosan hidup seperti ini. Jika bapak memang masih hidup, ingin sekali aku mencarinya, mungkin kehidupan yang bapak jalani saat ini jauh lebih baik ketimbang kehidupan ibu yang berada dalam kondisi serba kekurangan.

Aku sudah kelas sebelas, kehidupan yang kulewati di sekolah pun tak mampu membuatku bahagia. Banyak murid yang tak mau berteman denganku, tak heran dengan penampilanku yang super kucel ini, sangat sulit bagiku mencari teman untuk berbagi dan bermain bersama.

Penampilanku layaknya pembantu-pembantu di tayangan FTV, satu-satunya kelebihan yang aku miliki saat ini adalah ukuran kedua
gunung kembarku yang terbilang lebih besar dibanding dengan siswi
lainnya yang ada di sekolah. Hanya itu yang mampu aku tonjolkan,
berharap agar ada siswa tajir mau atau sudi mendekatiku.

Hari ini, di sekolah ketika jam istirahat, di saat yang lain pergi ke kantin, aku memutuskan untuk lagi-lagi pergi ke perpustakaan, sekadar untuk membuang-buang waktu serta berharap jam istirahat segera berakhir.

Dulu, aku sering membawa bekal ke sekolah, kue-kue yang biasa ibu jajakan, ibu bagi untukku pula agar aku tak jajan, di saat jam istirahat. Aku hanya makan kue-kue bekal dari ibu di dalam kelas karena memang uang yang ibu punya dari hasil penjualan kuenya hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan sisanya biasanya ibu  tabung untuk uang bayaran sekolahku setiap bulannya. Namun, gaya hidup irit yang ibu terapkan malah menjadi bahan hinaan serta ejekan teman-teman satu kelas padaku. Dari sana, aku memutuskan untuk menahan lapar jika jam istirahat tiba daripada harus menanggung malu karena ejekan teman-teman sekelas.

Sialnya ibu, memilihkan sekolah negeri favorit untukku, dulu aku
memang cukup berprestasi saat masa SMP, makanya aku bisa masuk sekolah ini dan bisa meraih beasiswa. Namun, gaya hidup murid-muridnya yang tinggi membuatku jadi orang yang terasing, dan prestasiku menurun drastis karena jatuhnya kepercayaan dalam diri yang dulu pernah ada padaku. Aku merasa sangat minder, terlebih saat salah satu temanku ada yang mengetahui jika aku hanya anak penjual kue keliling.

Kabar mengenai aku sang anak dari penjual kue keliling segera
menyebar dari dalam kelas sampai ke luar kelas. Semenjak itu tak ada lagi murid yang sudi mendekatiku di sekolah ini, bahkan untuk menyapa saja pun sepertinya mereka enggan lakukan. Aku tak tahu apa yang salah dengan anak penjual kue keliling di sekolah yang katanya favorit ini.

Namun, ada satu orang yang masih mau mendekatiku. Dia Rudi, petugas penjaga sekolah. Terkadang dia mau mengajakku berbincang ketika kami bertemu di gerbang sekolah saat masuk atau pulang sekolah. Pernah beberapa kali juga dia mengantarku pulang ke rumah dengan motor matic tuanya.

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang