Terima Kasih Darinya

114K 3.4K 292
                                    

Saat mendengar namanya sudah menunggu ku di teras rumah, ada perasaan gembira dalam hati, ada juga sedikit perasaan jengkel, karena tadi pagi ia tak kunjung jua datang menemui ku, padahal sebelumnya dia sendiri yang sudah mengajak ku untuk pergi.

Pada umumnya, wanita itu paling tak suka dengan kata menunggu, wanita lebih menyukai kata ditunggu.

Aku yang hanya mengenakan handuk warna merah, segera berlari masuk ke dalam kamar, untuk berpakaian dan berdandan, terdengar ibu sedang berbincang dengan mas Rudi di teras rumah, entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Tak perlu dipertanyakan lagi, berapa lama aku berdandan, kebanyakan wanita memang butuh lebih banyak waktu untuk hal ini ketimbang pria, dan aku pun lebih suka jika aku ditunggu.

Di dalam kamar aku masih memilih-milih baju mana yang sekiranya pantas aku kenakan saat ini, namun jumlah baju yang tak banyak membuat aku semakin bingung, karena tak semua baju yang aku miliki masih dalam keadaan bagus, kebanyakan warnanya telah pudar, ada juga beberapa baju yang terlihat sobek di bagian ketiaknya, aku tak punya satu pun gaun di dalam lemari pakaian, yang aku punya hanya kaos-kaos lusuh, tiga potong celana jeans panjang, dan dua potong celana jeans pendek. Bukannya aku tak suka dengan gaun atau pakaian semacamnya, aku tak mampu untuk membelinya.

Aku putuskan untuk kembali mengenakan pakaian tadi pagi, kaos berwarna merah, dengan sablonnya bertuliskan fila, beserta jeans warna hitam. Hanya setelan ini yang aku anggap sedikit mendingan, dibandingkan dengan pakaian yang lainnya yang ada di dalam lemari baju.

"Mas, maaf menunggu lama ya" kataku di mulut pintu depan yang sudah terbuka, aku mencoba mengucapkan kata maaf untuknya, walau aku tahu aku pun tadi menunggunya hingga petang, sampai-sampai aku bermimpi aneh.

"Iya, maaf ya dek mas tadi gak bisa datang, mas ada keperluan mendadak" kata mas Rudi yang duduk di kursi kayu, bersampingan dengan ibu yang duduk di sebelahnya.

"Yasudah kalian ngobrol-ngobrol aja disini, ibu tinggal dulu ya"

Ibu masuk kedalam rumah, dan posisi tempat tadi ibu duduk digantikan olehku.

"Mas kemana tadi?" Kataku membuka kembali obrolan

"Mas pergi ke rumah kepala sekolah tadi, nyerahin kunci gerbang, besok senin rencananya mas gak akan masuk kerja"

Rumah pak Bambang, atau kepala sekolah ku, berada di desa Jati Warna, jaraknya cukup jauh dari desanya mas Rudi, jarak tempuhnya sekitar 2 jam jika memakai sepeda motor.

"Mas memang mau kemana hari senin?"

"Mas mau jemput ibu mas di terminal bus, dia mau pulang dari kota, kebetulan katanya sih ada urusan di desa, mas juga gak tahu urusan apa"

"Oh begitu" kataku singkat

"Oya dek, malem ini kita gak usah berangkat kemana-mana dulu ya, soalnya ini udah kemaleman, gak enak sama ibu"

"Oh yasudah gapapa mas" memang kecewa, tapi mau gimana lagi, ibu juga sepertinya tak akan mengizinkanku pergi.

"Dek mas boleh ke toilet gak?"

"Silahkan mas, mas tahu kan toiletnya? rumah ini kecil kok, mas masuk aja, cari sebentar pasti ketemu"

Dia tak menimpalinya, dia hanya tertawa, bukan tertawa yang terbahak-bahak, tertawa yang elegan dan cukup mempesona bagiku.

Dia beranjak dari tempat duduknya, dan masuk ke dalam rumah yang pintunya sengaja aku tutup tadi, karena jika tak ditutup, nyamuk-nyamuk dari kebun yang berada di belakang rumah akan masuk.

"Pintunya tutup lagi gapapa mas, banyak nyamuk soalnya"

Dia menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Cukup lama juga dia pergi ke kamar mandi, aku pun bangkit dari tempat duduk, karena aku sudah tak nyaman dengan gigitan nyamuk-nyamuk sialan, setelah masuk, kembali aku menutup pintunya, aku rasa tak bakal ada tetangga yang tahu tentang keberadaan laki-laki di dalam rumah seorang janda dan anak gadisnya, karena tetangga terdekat dari rumah ini berjarak ratusan meter jauhnya, itu pun terhalang pohon-pohon besar yang tumbuh di halaman rumah.

Aku mencoba membuka pintu kamar ibu, dan terlihat ibu sudah tidur di atas ranjangnya, yang sepertinya cukup pulas. Segera ku tutup kembali pintu kamarnya dengan sangat perlahan, khawatir ibu terbangun karena suara decitan pintu.

dari lorong menuju pintu dapur, yang hanya tertutupi gordyn, aku memanggil namanya, untuk sekedar mengecek jika mas Rudi memang masih berada di dalam kamar mandi. Aku tak berani menyibak gordynnya, karena tembok kamar mandi yang hanya setengah badan, dan aku takut mengganggu privasinya.

"Mas Rudi???"

"Iya deeeek" sahut mas Rudi dari dalam, yang suaranya terdengar lebih berat.

"Lanjut aja mas, aku cuma ngecek, soalnya sudah setengah jam mas di kamar mandi"

Tak ada jawaban darinya, seketika hening, dan tiba-tiba terdengar suara seperti piring yang tengah beradu.

"Hati-hati mas, di lantai kamar mandi banyak piring kotor" dan masih belum ada jawaban apa-apa darinya, rasa penasaran membuatku nekat menyibak gordyn dapur, dan aku terkaget dengan apa yang sedang aku lihat, ular besar itu lagi, merayap keluar dari kamar mandi, kaki ku bergetar melihatnya, dia merayap mendekati ku, dan tiba-tiba pandanganku gelap seketika.

***

Aku tersadar, karena ada sesuatu yang membuat paha kiri ku terasa geli, ketika ku membuka mata, aku sudah dalam keadaan telanjang bulat tanpa ada sehelai benang pun yang menutupi. Aku tahu jika aku sedang berada di atas ranjang kamar tidur ku. Rasa geli ini ternyata karena lidah mas Rudi.

Aku terkaget dibuatnya, apa yang sedang ia lakukan, ia tahu jika aku sudah sadar, dan setelah menatap mataku, lidahnya yang panjang ia pindahkan dekat dengan organ vital ku. Ingin sekali aku berteriak, namun suaraku seperti tertahan di tenggorokan saja.

"Kamu begitu cantik dek" kata dia lirih, kini dia ucapkan tepat di daun telingaku, geli sekali rasanya, ketika bibirnya menyentuh telinga kiri ku ini.

Aku mengerang, dengan spontan dia langsung menyumpal bibirku dengan mulutnya, kami saling bertukar cairan, tiba-tiba tubuhku bergetar hebat, dan kemudian aku merasakan sesuatu  keluar membasahi organ vital ku yang kini sudah tak suci lagi, layu kuncup di hantam dosa.

Kemudian dia berdiri di hadapan ku yang sudah terkapar lemas, dan menanggalkan satu-satunya hijab yang ia kenakan. Dari bawah sini aku bisa melihat tubuhnya yang ternyata kekar, dan dadanya ditumbuhi oleh bulu yang cukup lebat. Kini aku benar-benar tak bisa berteriak atau menjerit lagi. Nafasku tak beraturan begitu pun dengan degup jantung yang tak jelas ritmenya.

Setelah itu, dia kembali berucap dengan lirih di daun telingaku, sebuah kata yang membuatku pasrah dan siap menahan rasa sakit yang mungkin sebentar lagi akan aku rasakan.

Dengan kedua tangannya dia mengangkat kedua pahaku, hingga pahaku kini membentang luas, membuat mahkota yang sudah tak suci lagi ini terbuka, gerbang surgawi kini sudah terbuka lebar dihadapannya, dia masuki dan renggut semuanya. Aku pasrah, larut dan mabuk dalam dosa dunia yang satu ini, aku dapat mencium bunga melati dari tubuhnya yang kekar ketika ia mendekap ku dangan sangat erat, setelahnya tubuhnya mengejang, dan cairan hangat tumpah ruah di paha kanan dan kiri ku.

"Terima kasih dek, kata dia lirih"

Setelah itu aku kembali tak sadarkan diri.

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang