Kematian Dua Orang Polisi

56.3K 2.3K 64
                                    

Ibu masih saja tak bisa diam, dia masih meronta-ronta, meneriaki namanya, yaitu nama bapak ku yang kata ibu sendiri telah meninggal. Meski kedua tangannya diborgol, namun tubuhnya masih tak mau diam, aku tak jua banyak bicara sedari tadi, ya mungkin kami memang sudah gila. Banyak hal yang tak bisa aku terima dan cerna di dalam otak, terlalu rumit untuk ku ambil kesimpulan, aku hanya bisa melihat ibu yang duduk di kursi belakang, diapit oleh dua orang polisi di sebelah kanan dan kirinya, sedangkan aku duduk di kursi depan, menatap ibu dari sini, dan sesekali melihat jalanan yang sudah mulai gelap, karena malam sebentar lagi datang.

Mungkin tak semua orang bisa nyaman berada di dalam mobil milik kepolisian, begitu pun dengan ibu yang terlihat gusar dan masih tak bisa tenang. Beda denganku, aku mencoba sebisa mungkin untuk tetap tenang, meski keadaan saat ini benar-benar sangat menyedihkan.

"Bu... ibu kenapa??? sudah bu, ibu tenang ya" kata ku dari sini berharap ibu bisa duduk diam.

"Yani kau sudah tak suci lagi, ini salah ibu, maafkan ibu nak, maafkan ibu" kata ibu yang menangis semakin menjadi-jadi.

"Maksud ibu apa?? " aku benar-benar tak mengerti tentang apa yang baru saja dia ucapkan.

"Maafkan ibu nak, maafkan ibu.... " dia mencoba berontak dari pegangan pak polisi, menatap ku, seolah ia ingin memeluk ku.

Aku hanya bisa ikut menangis untuk saat ini, sambil membelai lembut rambut beliau. Pak polisi yang sedang mengemudi tampaknya mulai gusar dan kesal, dengan nada tinggi dia bicara pada ibu ku.

"Bu, bisa diam gak!!! jangan sampai kami berbuat kasar ya!!! " sambil memukul dasboard depan tanpa menoleh sekalipun ke arah belakang.

Nada ancaman dari pak polisi mampu membuat ibu kembali mundur dan diam, namun air matanya masih saja menetes.

Keadaan semakin gelap, afzan maghrib sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Mobil melaju dengan pelan, karena jalanan yang kami lalui memang kondisinya tak mulus.

Hingga kami tiba di sebuah jalanan yang kanan kirinya hanya nampak pepohonan besar, diantara pohon itu, aku melihat dengan jelas, burung alap alap meloncat-loncat kesana kemari, lalu burung itu hinggap di kap mobil, matanya sesekali menatap kami yang ada di dalam mobil dengan tajam.

"Pak ada burung pak" kata salah seorang polisi yang duduk di belakang.

"Cuma burung, apa yang kamu takutkan dari seekor burung? " Kata pak polisi yang berada di kemudi.

Tak ada satu pun polisi yang berani menimpali, semua hanya bisa diam terhening. Begitu pun dengan ibu yang tak terdengar lagi isak tangisnya.

Burung yang hinggap di kap depan kembali terbang setelah mobil yang kami tumpangi terguncang karena lubang di jalanan.

Kini kami sudah berada di jalan yang bagus, rumah-rumah sudah mulai ramai terlihat di kanan dan kirinya, banyak kios pedagang, ada masjid besar yang baru saja kami lalui, dan setelah masjid, aku melihat gerbang dengan plang Polsek Kota Jati Warna. Mobil masuk ke dalam nya, dan berhenti tepat di depan pos jaga.

"Ibu Masyitoh, apa yang sudah kamu lakukan!!! " kata pak polisi yang duduk di samping ku dengan raut wajah yang kaget.

Aku kembali menoleh ke belakang, aku melihat sesuatu hal yang sangat tak masuk diakal. Ibu diam mematung, matanya melotot, dan sedikit pun tak bergeming, tangannya yang terborgol sudah penuh dengan darah segar, wajah dan rambutnya terlihat ada cipratan darah juga, dan dua orang polisi yang duduk di samping kanan dan kirinya sudah terkapar dengan luka sayatan di lehernya.

Di kursi belakang kini terlihat sangat sangat mengerikan, darah segar dimana-mana, bahkan cipratannya sampai mengotori jendela pintu mobil, kental dan segar.

Lalu dengan spontan polisi yang duduk di sebelah ku ini menodongkan pistolnya ke arah ibu, seolah-olah ibu adalah ancaman yang nyata baginya. Namun ibu masih diam tak bergeming sedikit pun, tak ada ketakutan dalam raut wajahnya, dia masih diam tertegun, melotot dengan tatapan kosong.

"Angkat tangannya!!!" kata pak polisi sambil menodongkan pistolnya.

"Jangan pak!!! jangan" kata ku sambil mencoba memegangi tangan pak polisi yang sedang menodongkan pistolnya ke arah ibu.

"Diam kamu juga!!! " bentak pak polisi yang sepertinya mulai tersulut amarah.

Dengan perlahan ibu mengangkat kedua tangan terborgol nya ke udara. Apa benar ibu sudah gila??? kebenarannya seperti apa aku tak tahu, namun kali ini aku melihat kedua tangannya sudah berlumuran darah segar, jika bukan ibu pelakunya, lantas siapa lagi, karena yang ada di sana hanya ibu seorang.

Tak lama beberapa polisi datang ke arah mobil yang masih ada kami di dalamnya, setelah seseorang polisi mengintip dari luar melalui jendela kaca belakang, kini mereka sudah mengerumuni kami, salah seorang dari mereka membuka pintu mobil, dan beberapa dari mereka ikut menodongkan senjata ke arah ibu ku yang tangannya masih terangkat ke atas.

Wajah semua polisi yang ada tampak tegang, aku hanya bisa diam sambil masih memegangi tangan polisi yang tadi duduk di sampingku.

"tolong bapak-bapak, jangan tembak ibu saya, ibu saya tak bersalah, tolong pak" Kata ku sambil menangis memohon ampun untuk ibu yang masih terdiam.

Aku dan ibu di giring keluar mobil, ibu segera di bekuk oleh tiga orang polisi sekaligus yang badannya cukup besar, aku kini di pegangi oleh pak polisi yang tadi mengemudi. Aku dan ibu di masukkan kedalam sel tahanan. Aku masih berteriak sambil menangis ketika pak polisi yang mengemudi tadi hendak mengunci sel tempat kini berada.

"Tolong pak, jangan pak, kami tak bersalah, tolong pak"

Namun itu semua hanya ke sia-sia an saja, polisi tersebut seakan tak menghiraukan teriakan serta tangisan ku ini, dia lantas pergi meninggalkan kami yang terkurung di dalam sel tahanan polsek Kota Jati Warna.

Ibu masih tak bicara apa-apa, kini ia menundukkan kepalanya, sambil duduk bersandar ke dinding belakang yang terasa dingin, ketika tersentuh oleh tangan ku yang sekarang ikut duduk di sampingnya.

"Ibu kenapa?? bukan ibu kan yang membunuh dua orang polisi tadi?? bukan ibu kan?? "

Ibu masih saja diam, dan masih menundukkan kepalanya.

"Bu jawab bu.... bu... " Kata ku sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya.

"Bu... ibu kenapa???? jawab buuuuu"

Aku masih mengguncangkan tubuhnya, namun dia masih saja sama, tak bergeming sama sekali, aku pasrah, dan ikut duduk di samping kanannya, sambil diam dan mengelap air mata ini yang masih saja menetes.

Aku tak tahu kini harus berbuat apa, harus menghubungi siapa. Aku kini diselimuti penuh oleh ketakutan. semua terasa gelap tertutupi oleh bayang-bayang kelam dalam imaji tentang sisi gelap kehidupan di dalam sel tahanan.

"Ini ulah Mulyadi yan, maafkan ibu yan" suara ibu dengan nada datar, terdengar lirih bahkan nyaris tak terdengar.

Dan kemudian tubuhnya tergeletak jatuh ke lantai.

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang