Burung Alap-alap

90.7K 2.9K 465
                                    

"Nduk... itu uang apa?" tanya ibu yang terlihat bingung melihat amplop putih berisi penuh dengan uang kertas berwarna merah.

"Mas Rudi yang ngasih bu" jawab ku sedikit terbata karena gugup.

"Mas Rudi?"

"Iya"

"Uang buat apa to nduk? kamu jangan sembarangan terima uang dari orang!"

"Ia buuuu, katanya buat berobat"

"Tapi kok banyak sekali????"

"Mungkin mas Rudi berfikir buat jaga-jaga makanya dia lebihin bu"

"Nanti kalo sudah berobat dan uangnya sisa, kamu balikin lagi ke dia!!"

Aku hanya bisa menganggukkan kepala, tanda setuju dengan pendapat ibu, tapi hatiku berkata, maaf ya ibu, pendapatnya bagus, aku setuju, tapi uangnya gak akan aku balikin lagi, lagian uang ini memang sengaja dia hadiahkan untuk ku.

"Ibu gak jualan? oya ibu udah ngasih tahu wali kelas ku kalo aku sakit kan?"

"Iya, ibu sudah titip pesen sama Rudi, besok katanya mau di sampein"

"Oooh yasudah, ibu kalo mau istirahat, istirahat saja di kamar, aku gapapa, nanti sore biar aku minta tolong mas Rudi buat anter aku ke klinik"

"Ibu gapapa nduk, kamu lhoo yang semestinya istirahat"

"Udah ibu istirahat aja di kamar ya, nanti ibu malah ikut-ikutan sakit"

Ibu pada akhirnya menuruti kemauan ku, dia segera keluar kamar, dan masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.

Kini aku mencoba bangkit dari atas ranjang, kepalaku masih terasa berat, dan badanku masih tak enak, berjalan perlahan menuju meja belajar model lama pemberian bapak dulu saat aku kelas empat SD. Menyimpan amplop putih yang sedang ku genggam kedalam lemarinya, dan menguncinya rapat-rapat.

Sebelumnya aku sudah menghitung berapa jumlah uang dalam amplop putih tersebut, ada dua juta dua ratus ribu, aku sempat kaget, uang sebanyak itu dia berikan begitu saja, mungkin dia berikan sebagai rasa terima kasihnya padaku.

Aku kembali merebahkan tubuh yang masih ngilu ini ke atas ranjang. Meski masih banyak pertanyaan yang berkutat di kepala, namun aku mencoba untuk mengabaikannya, karena walau pun mas Rudi yang melakukan hal-hal gila itu padaku, aku tak keberatan, bisa karena uang yang ia berikan, bisa juga karena aku mulai menyukainya, masih menyukai tapi belum mencintai, walau dia telah memberikan ku kenikmatan itu, namun hatiku belum sepenuhnya untuknya. Mungkin aku masih butuh waktu untuk dapat mencintainya tanpa syarat.

Ya jujur, aku rela karena amplop putih yang baru saja ia berikan, jika bukan karena itu lantas hal apa lagi? aku sudah membayangkan akan aku apakan uang tersebut. Aku tak memikirkan sedikit pun dari mana uang itu ia peroleh, aku memang pantas dan layak untuk menerima uang tersebut, anggap saja sebagai mahar keperawanan yang sudah direnggutnya, karena di dunia ini, aku rasa tak ada yang gratis.

Tak terasa waktu sudah sore, dan di luar sudah terlihat gelap, angin yang masuk melalui jendela kamar terasa dingin, sepertinya hujan akan segera turun. Walau ini bulan april, namun hujan masih saja turun.

Sore menjadi pilihan waktu yang tepat untuk ia turun ke permukaan bumi, membuat basah apapun yang menghalangi, nikmatnya sore bertambah sepuluh persen dengan iringan hujan, karena malamnya ketika hujan sudah reda, akan terasa lebih syahdu, dengan iringan suara jangkrik dan nyanyian katak.

Benar saja, tak lama hujan turun, aku dapat melihat mereka turun beriringan dari dalam kamar melalui jendela kayu yang sudah sedikit lapuk dimakan usia.

Tak lama ibu membuka pintu kamar yang sebelumnya ia ketuk terlebih dahulu, ibu membawakan ku sepiring singkong goreng, dengan segelas teh panas dalam nampan kaleng berwarna putih bermotif bunga. ini makanan kesukaan ku, makanan orang kampung, singkong keju yang berwarna kuning, harum dan menggugah selera, jadi teman termerdu saat hujan turun di sore hari, hujan tanpa petir, tanpa kilatan cahaya di atas langit, hanya ada kerinduan di setiap tetesnya.

Terkadang sesekali aku merindukannya, bukan mas Rudi, tapi bapak yang pergi lima tahun yang lalu. Hal terakhir yang aku tahu tentangnya adalah pertengkaran mereka, ibu dan bapak di ruang depan, mereka bertengkar hebat, aku tak tahu apa yang membuat mereka bertengkar, hingga bapak menampar wajah ibu, dan ibu hanya bisa menangis, aku yang saat itu tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menatapnya dari pintu kamar yang setengah terbuka.

Saat bapak keluar rumah, saat itu hujan sedang turun. Aku mencoba untuk mengejar bapak, namun sudah terlambat. Bapak sudah pergi dengan sepeda motornya. Aku berlari hingga ke jalanan depan rumah, meneriakinya, namun motor bapak tetap melaju, semakin jauh semakin hilang dari pandang, aku basah kuyup. dan air mata yang menetes bercampur dengan air hujan yang deras membasahi pipi, ibu hanya bisa menangis di mulut pintu rumah.

Sejak saat itu, ibu tak pernah lagi terlihat riang, dan dua hari setelahnya aku menanyakan kemana bapak, dan ibu hanya diam membisu, berbulan-bulan lamanya ia tetap membisu ketika aku menanyakan kemana bapak pergi, hingga saat aku masuk ke SMA, barulah ibu mengabari ku jika bapak sudah tiada. Tak ada tangis kesedihan, karena sudah lama sekali dia pergi, hingga duka itu tak terasa dan tak membekas di hati, bapak sudah lama pergi, namun wajahnya masih bisa ku ingat, senyumnya, tawanya, bahkan raut wajahnya yang letih ketika pulang dari tempatnya bekerja, semuanya terlukis dalam otak ku, dan kusimpan sebagai pengingat jika aku dilahirkan ke muka bumi ini karena adanya seorang bapak juga.

Singkong tak terasa sudah habis, ibu masih sibuk di dapur membuat kue-kue untuk ia jajakkan besok pagi, dan aku masih menatap hujan yang kini sudah tidak terlalu lebat. Langit sudah mulai gelap, sebentar lagi malam, aku harus mandi, karena badan ini terasa lengket. Saat membuka pakaian yang menempel di tubuh, jendela kamar belum ku tutup, walau tak tertutup, namun dari luar tak akan bisa melihat kedalam, karena posisi jendala tingginya sebatas leherku, dan dalam keadaan telanjang, dari sini aku bisa melihat burung alap-alap yang hinggap di atas batang pohon mangga depan rumah, pohon mangga yang besar dan cukup tua, pohon yang begitu rimbun daunnya, membuat ibu setiap pagi harus menyapu daun-daun gugurnya yang berjatuhan karena angin atau karena sudah tua.

Burung alap-alap yang mirip burung elang, namun memiliki tubuh yang lebih kecil dan sayap yang bulat, masih menatap ku tajam dari atas pohon, tatapannya mampu membuat ku ketakutan, walau itu hanya seekor burung, aku tetap merasa takut, tatapannya tak dia lepas sedikit pun, terus menatap ku sampai aku mengenakan handuk untuk menutupi sebagian tubuh pun, dia masih di sana, menatap tajam seolah-olah aku adalah mangsa yang siap dia terkam.

Aku segera menutup jendela kamar, dan menyalahkan lampu, segera keluar kamar untuk mandi.

"Kamu mau mandi? jangan dulu, kamu kan masih sakit nduk!"

"Aku udah ndak apa-apa kok bu, panasnya juga udah turun"

"Tapi kamu nanti tetep periksa ke dokter lho nduk!"

"Iya ibuuuu"

"Ibu buatkan air hangat ya buat mandi, tunggu sebentar"

Saat di kamar mandi, melalui lubang ventilasi kamar mandi yang posisinya di atas, aku kembali melihat burung itu, dia kini hinggap di batang pohon rambutan yang tumbuh di belakang rumah.

Aku segera mempercepat urusan di kamar mandi ini, dan segera berhanduk, sebelum meninggalkan kamar mandi, aku kembali melihat ventilasi, dan syukurlah burung itu sudah tidak ada di sana.

Aku hampir berfikiran negatif tentang burung tadi, maaf burung, aku kira kamu burung jelmaan setan seperti di film-film horor.

"Kamu sudah selesai? airnya baru jadi!" kata ibu memperhatikan langkah ku yang terlihat buru-buru keluar kamar mandi.

"Iya gapapa bu, buat ibu aja mandi"

"Kamu ini, susah diatur, kalo kamu sakit lagi gimana??"

"Iya ibuu, aku udah gapapa"

Adzan maghrib baru selesai berkumandang, aku sudah selesai berdandan, aku yakin mas Rudi pasti datang. Benar saja, tak lama terdengar suara ketukan pintu. Aku yang setengah berlari keluar kamar, segera menuju ruang tamu untuk membuka pintu, menyambut kedatangannya yang sudah aku tunggu.

"Assalamualaikum, nak Yani, boleh bapak masuk?"

Malam ini, baru saja turun hujan di kotaku tinggal, bagaimana dengan kota kalian?

makasih aku ucapkan kembali untuk kalian semua pembaca suamiku genderuwo...

barang kali diantara pembaca ada yang punya pengalaman tidur dengan genderuwo, share ya di komentar

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang