Dari bibir yang bergetar lembut

32.5K 1.5K 245
                                    

Sebuah kereta kencana ditarik dengan dua kudanya yang berwarna hitam pekat datang dan berhenti tepat di hadapan kami, seorang kusir berjenis kelamin pria dengan baju ala prajurit kerajaan zaman dulu atau tempo dulu tersenyum hangat ke arah ku. Mas Rudi mempersilahkan aku untuk naik terlebih dahulu, membantu ku naik lalu ia menyusul masuk setelah itu.

Kereta kencana sudah mulai berjalan dan aku sendiri tak tahu akan dibawa kemana. Kami berdua belum bicara apa-apa. Aku sendiri pun tak tahu harus memulai dari mana, yang aku tahu kini dia tengah menatapku, aku mencoba memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya, dengan sisa noda darah yang masih menempel di bibirnya ia tersenyum, seraya membelai poni rambutku yang sepertinya sedang berantakan. Kembali aku hanya bisa berdiam diri, lalu ku beranikan untuk mengusap atau mengelap sisa darah di bibirnya tadi dengan ibu jari ku, dan dia pun hanya terdiam.

Lalu aku melihat ke arah jendela kaca yang berada tepat di sampingku, jalanan yang kami lalui nampak gelap gulita, dengan samar terlihat olehku barisan pohon kamboja, yang bunganya tengah bermekaran, sejenak aku membayangkan sosok pak haji, mbak Suci, mbak Shinta, yang mungkin saat ini mereka masih berada di sana, salahkah aku mengambil jalan ini? ikut bersama mas Rudi dengan kereta kencana nya. Entah kenapa aku memilih ikut dengan mas Rudi, padahal aku sendiri tak tahu lagi siapa dirinya kini.

Tiba-tiba sebuah tepukan di bahuku membuatku tersadar, aku kembali menoleh dan menghadapkan badan ke arahnya, dengan tersenyum dia berucap

"terima kasih ya dek"

Aku membalas senyumannya seraya berkata

"kita mau kemana mas? "

"nanti kau akan tahu sendiri"

Ia lalu melihat ke samping kirinya, memalingkan wajahnya ke arah jendela, aku memeluknya dari samping, rasanya enggan aku lepaskan, entah karena perasaan rindu yang teramat, semua itu aku lakukan dengan spontanitas.

Mungkin karena lelah atau perasaan nyaman, aku merasakan kantuk yang luar biasa, hingga aku benar-benar tertidur dan tak sadarkan diri.

***

"dimana aku" aku bergumam dalam hati. Sepertinya ruangan ini tak asing lagi bagiku, aku pernah berada di ruangan ini sebelumnya, sebuah kamar mewah, dengan furnitur yang kelihatannya mahal, dan banyak hiasan-hiasan mahal berada dalam kamar ini, dugaan ku benar adanya, aku mengenal kamar ini. Aku bangkit dari atas ranjang dengan sprei nya yang masih sama dengan waktu itu, sprei berwarna putih polos, kelambu sutra yang menutup mengitari ranjang ini aku sibakkan, aku sudah berada di tepian ranjang, duduk dengan mata yang masih mengamati semua hal yang ada ruangan ini.

"kamu sudah sadar"

"mas"

"mari, mas bantu"

mas Rudi menyambut lembut tanganku, memandu ku untuk bangkit dari tempat dudukku saat ini, kami berjalan bergandengan tangan, keluar dari kamar ini, menuju sebuah ruangan yang cukup besar. Kini di hadapanku sudah terdapat sebuah meja makan yang panjang, dan beraneka makanan tersedia di atasnya. mas Rudi membantuku duduk di kursi yang berada di ujung meja ini, dan ia duduk di ujung satunya. Kemudian ia menepuk tangannya dengan keras ke udara, dan seorang wanita cantik dengan baju khas pelayan atau pembantu datang dengan tergesa gesa. Dia membantuku menyendok kan nasi ke atas piring dan membawakan beberapa hidangan atau lauk mendekat ke tempat ku berada, lalu menuangkan segelas air dari poci berwarna emas, air berwarna merah yang menurutku sepertinya itu sirup.

"ayo dimakan seadanya dek, kamu terlihat lapar sepertinya"

"ini rumah mu? "

"bukan"

"lantas? "

"ini tempat ku singgah, sesekali aku menghabiskan waktu di rumah ini, untuk beristirahat atau sekedar minum dan melepas lelah"

"terus yang punya rumah ini sendiri siapa mas? "

"ini semua kepunyaan tuanku"

"tuanmu? "

"iya, majikan ku dek"

"oya setelah ini mas akan ajak kamu keliling melihat-lihat pemandangan di sekitaran sini, mas jamin kamu akan menyukainya"

"boleh mas"

"maaf, mas Rudi kemana aja selama ini? " aku memberanikan diri untuk bertanya lebih dalam tentang menghilangnya ia selama ini.

"oya maafkan mas ya, belum bisa mengunjungi kamu, mas punya banyak kerjaan kemarin-kemarin"

"mas maaf aku lancang untuk menanyakan hal ini, tapi aku harap mas mau jujur, sebenarnya kamu ini bukan Rudi kan mas? "

"maksud kamu? "

"tak perlu lagi mas berpura-pura, sebenarnya mas ini siapa? "

"beneran deh, mas gak ngerti maksud kamu itu apa? "

"oya?? mas Rudi yang aku kenal sudah meninggal mas, jasadnya ditemukan warga di sumur belakang KUD!! "

"kamu jangan mengada-ada, kamu lihat sendiri pemakaman mas? kamu lihat sendiri jasad mas? "

"maaf mas, aku sendiri tidak hadir saat pemakaman mas, tapi maaf aku juga harus berkata ini, ibu mas sendiri juga sudah meninggal, aku lihat sendiri jasadnya beliau, di rumah mas"

"tunggu, sepertinya kamu berhalusinasi dek, buuuuu" mas Rudi memanggil dengan nada sedikit di kencangkan.

"maaf mas manggil siapa? "

"tunggu aja, nanti kamu bisa lihat sendiri ya"

"maksud mas? "

"diam saja, dan kamu lihat" mas Rudi berbicara dengan nada yang dia tinggikan, sepertinya dia sedang emosi.

Tak lama datang di hadapanku seseorang yang jasadnya pernah aku lihat waktu itu, persis dengan wajah ibunya mas Rudi.

Lalu ia tersenyum ke arahku. Ia berdiri tepat di samping mas Rudi, menghadap ke arahku yang sedang makan di ujung meja.

"perkenalkan ini teman saya bu"

"assalamualaikum bu"

"iya,... kamu cantik nak, siapa nama kamu? " kata ibunya mas Rudi malu-malu, dengan nada lirih bergetar keluar dari bibir yang terlihat bergetar lembut.

"Maryani bu"

"kamu lihat sendiri kan dek? "

Aku hanya bisa mengangguk, melihat semua keanehan ini.

"ada apa to ini? "

"oh, gak ada apa-apa bu, kata Maryani ibu dan aku sudah meninggal"

"maafkan saya bu, tapi saya lihat sendiri maaf kalo ibu meninggal"

"kamu lihat dimana"

"di rumah ibu"

"kapan kamu pernah ke rumah ibu? memang betul ibu kemarin-kemarin pernah pulang ke rumah malam hari dan paginya ibu langsung balik lagi ke sini untuk bekerja"

"oh begitu bu, maafkan saya bu"

"ndak apa-apa, kamu mungkin lagi mimpi barangkali"

"yawdah, ibu boleh balik lagi kerja, nanti juragan marah sama kita"

"maafkan saya ya bu"

Ibunya mas Rudi hanya bisa mengangguk seraya kembali tersenyum, saat akan meninggalkan kami ia sepertinya menoleh sebentar ke arahku, aku melihat sekilas wajahnya, kini ia seperti menunjukkan raut wajah yang berbeda dengan raut raut wajah tadi ketika berdiri di samping mas Rudi. Raut wajah yang di penuhi oleh rasa takut, atau cemas, atau seperti wajah memelas seperti seseorang yang amat sangat membutuhkan pertolongan.

Seperti ia ingin menunjukan padaku lewat mimik wajahnya jika ia sedang tidak baik-baik saja.

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang