Pak supardi

35.4K 1.7K 392
                                    

Walau terdengar sangat lirih, namun aku bisa mengenal dan memastikan jika itu benar-benar suara ibu. Erangan yang terdengar lirih itu, masih saja meneriaki namaku.

Maryaniiiiii... Maryaniiiiii.. tempatmu bukan disini....

Aku harus keluar dari sini, rasa-rasanya aku sudah tak bisa lagi mengikuti apa yang sudah mas Rudi katakan tadi. Aku harus memastikan sumber suara yang tangah aku dengar ini.

"buuuuuu, kamu kah itu buuuuu"

Aku mencoba berteriak memanggil ibu dari kamar ini.

SIAL KAMAR INI TERKUNCI.... batinku menggerutu.

"buuuu ibuuuu" kataku sambil menggedor-gedor daun pintu kamar yang terkunci ini.

"ya allaaaaah, tolong lah ibu jika dia memang sedang berada dalam kesulitan ya allaah"

Terdengar suara kunci pintu sedang di buka dari luar, perlahan pintu terbuka, dan kini ia berdiri tepat di hadapanku. Dengan wajah yang berlumuran darah, luka sayatan di pelipis mata sebelah kanan, dan kelopak mata sebelah kirinya mengatup dengan luka lebam yang berwarna biru.

"yani.. cepet lari dari sini"

"pak Supardi?? "

"iya yan"

nyaris saja aku tak mengenali wajahnya karena semua luka itu, namun aku bisa mengenal suaranya jika itu betul pak Supardi.

"kenapa pak Supardi bisa ada di sini? "

"bapak tidak bisa cerita sekarang, lebih baik kamu cepat pergi dari sini"

"tapi ibu pak? tadi saya mendengar suara ibu disini"

"kamu harus pergi dari sini, biarkan ibumu menanggung apa yang sudah pernah di lakukannya"

"pak Supardi sendiri kenapa tak lari? "

"bapak pun menyesal, namun ini memang dosa yang harus bapak tanggung"

"tunggu pak saya ndak mengerti"

"sudah kamu keluar menuju pintu utama, dan di depan sana ada pintu gerbang yang besar, keluarlah karena tadi bapak sudah membuka kunci dari pintu gerbang tersebut, selepas itu kamu masuk ke dalam hutan, dan berlarilah"

Aku mengangguk.

"dan ingat, jangan sekali-kali kamu menengok ke belakang, atau kamu akan tersesat di sini selamanya! "

"baik pak"

"cepat lari... sebelum penjaga istana ini datang"

Aku segera berlari menuju pintu utama, sebelum membuka pintu langkahku harus terhenti, karena suara ibu yang kini terdengar lebih nyaring memekakkan telingaku.

"yaniiii... yaniiiiii"

ya Tuhan, apa yang harus aku perbuat dengan semua ketidaktahuan ku saat ini. Aku yakin itu suara ibu, tapi mengapa ia bisa ada di sini?? Baru saja aku membalikkan badan untuk mencari dari mana sumber suara ibu berasal, kini di hadapanku ada seekor ular besar terlihat sedang melilit tubuh pak supardi. Dengan suara yang terbata-bata pak Supardi berkata "lari yani lari, berdoa lah sama gusti".

Perkataan pak Supardi mengembalikan keputusanku, jika aku memang harus segera pergi dari tempat ini, tanpa menoleh lagi ke belakang aku berlari sekencang yang aku bisa, meninggalkan tempat ini yang sepertinya memang sebuah istana yang cukup besar.

Aku benar-benar merasa ketakutan ketika sudah berada di dalam hutan yang gelap, minim sekali cahaya di tempat ini, tanah yang basah membuatku tak bisa berlari sekencang tadi, dengan sisa tenagaku aku terus mencoba untuk tetap berlari, meski suara-suara menyeramkan seperti teriakan dan jeritan dari banyak orang terdengar menggema di telinga. Jantungku terasa berdetak lebih kencang, pandanganku semakin buram, keringat terasa membasahi sekujur tubuh, dalam ketakutan ku ini aku mencoba sebisa-bisa berdoa, agar gusti mau menolongku.

Pandanganku semakin gelap, dan aku tak sadarkan diri.

Tetesan air menetes di pipiku, ketika aku sadar dan membuka mata. gelap sekali tempat ini, dimana aku sekarang, apa aku sudah mati? dari dalam kegelapan ini, di kejauhan aku melihat bias cahaya, tak terang, tak juga redup, berwarna jingga. Aku berjalan gontai menuju arah cahaya, semakin dekat semakin jelas bahwa itu cahaya lampu dari sebuah rumah.

Itu rumahku, ya itu halaman belakang rumahku, sebelum sampai ke mulut pintu rumah aku sempat terjatuh, mungkin karena pusing yang tengah aku rasakan kini, badanku terasa lemas sekali untuk digerakkan, bahkan aku sempat muntah entah kenapa. Dengan susah payah aku mencoba untuk berjalan menuju pintu, setelah sampai di mulut pintu, pintu terkunci. Dan aku harus kembali berjuang untuk bisa sampai ke halaman depan, berat sekali kaki ini untuk melangkah.

Sebelum tiba di mulut pintu rumah, aku mendengar suara banyak orang yang sedang mengaji, mungkin pak Haji sedang mengadakan doa bersama agar aku bisa pulang kembali ke rumah. Ternyata ini semua berkat doa dari pak haji dan mbak Suci, aku yakin itu, memang sepertinya doa ku tak layak untuk bisa dikabulkan gusti, karena aku adalah seorang pendosa yang sudah tak perawan lagi.

Di depan pintu rumah yang terbuka lebar sudah banyak sandal berserakan, saat sudah berada tepat di depan pintu, dengan tangan kanan memegangi kusen aku mencoba berdiri tegak.

Kini semua mata orang-orang yang ada di dalam rumah menuju padaku, mereka memandangiku dengan raut wajah yang penuh dengan rasa kaget, lalu serentak mereka semua menghentikan bacaan ayat suci yang mereka lantunkan sedari tadi.

Aku melihat pak Haji, mbak Suci yang sedang menangis, para tetangga, dan seseorang yang sedang tertidur di atas tikar di lantai, yang sekujur tubuhnya di tutupi oleh kain jarit. Pak haji menatapku sambil membuka sedikit kain yang menutupi orang yang sedang tertidur tersebut.

"dia sudah nggak ada yan"

Tubuhku bergetar, berguncang dengan hebat, dengan sisa tenaga yang aku miliki aku mencoba untuk tetap berdiri. Namun aku tak mampu. Dan aku pun tumbang jatuh ke lantai,  ke atas sandal jepit milik para warga.

Aku bisa melihatnya dengan  sangat jelas itu adalah wajah ibuku.

Jumpa lagi dengan author
gmna kabar temen2 semua?
semoga baik2 aja
udah pada makan?
stok indomie masih aman?
jangan lupa klo parkir di indomart motornya di kunci stang yaaa

di chapter yang ini ada keganjilan
sadar gak tuuuuh...
koment ya kalo ada yang sadar, nanti author kasih hadiah menarik deh buat temen2 terpilih yg berhasil jelasin keganjilannya dan kasih penjelasannya yg menarik..
makasih ya buat temen2 yg udh setia baca ini cerita.

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang