Dia Yang Terlihat Berbeda

151K 4.9K 1.1K
                                    

Hujan masih turun dan sepertinya ia belum ingin berhenti walau hanya sesaat, suara petir menggelegar, membuat ciut nyali siapa pun yang mendengarnya, di depan halaman KUD yang sepi, udara terasa sangat dingin dari biasanya.

Aku terdiam, menyaksikan tetesan hujan  yang turun melalui ujung asbes, dan kulihat Rudi tetap berdiam diri tanpa bersuara, sesekali dia melihat ke belakang, menyapu pandang  gedung KUD yang sepertinya sudah lama tak terpakai. Banyak daun-daun kering berserakan di atas lantainya. Tak luput jaring laba-laba menghiasi tiap sudut bangunan ini, menambah kesan usang dan seram.

Namun ada satu hal yang masih aku takuti, yaitu gelagat Rudi yang terlihat aneh dan mencurigakan, apa yang ada dalam pikirannya saat ini? apa ia sedang merencanakan sesuatu hal yang buruk pada diriku? ah itu tentu tak mungkin terjadi, karena baru saja ia memberikanku jaket yang kini sedang kupakai untuk menutupi lekuk tubuhku yang basah karena hujan. Atau memang ia sengaja memberikanku jaket ini, agar aku tak mencurigainya dan kemudian ia menyetubuhiku saat aku lengah dan keadaan sudah sepi.

"Mas, aku pulang duluan ya jalan kaki, aku bawa payung kok"

"Eh gak usah, tunggu sebentar lagi juga reda hujannya"

"Gapapa mas, aku duluan ya"

"Yawdah tunggu sebentar ya disini, mas ke belakang dulu, pengen pipis, nanti setelah itu mas anter pakek motor, tapi kita jalannya pelan-pelan aja, biar kamu bisa sambil pakek payung"

Kembali aku hanya bisa menganggukkan kepala, dan setelah itu dia pergi untuk menyelesaikan hajatnya.

Setelah menunggu cukup lama, hati mulai tak merasa enak, sudah sepuluh menit Rudi pergi, namun belum juga kembali, ingin aku pergi menyusulnya, tapi aku takut jika itu hanya pancingan, aku takut dia sudah menungguku di belakang gedung ini dengan keadaan telanjang.

Gilaaaa... pikiran-pikiran buruk tentangnya mulai berdatangan, aku tak mau itu semua terjadi, lebih baik aku memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki tanpanya.

Ini baru jam tiga sore, namun keadaan jalan sangat sepi, karena memang jalanan menuju kampungku tak pernah ramai oleh kendaraan yang lewat, ditambah hujan dan petir yang sedari tadi bersahut-sahutan, sepertinya mampu membuat orang-orang enggan untuk keluar rumah.

Sepanjang jalan, baru satu rumah yang aku jumpai, karena di kampung rumah-rumah penduduk memang berada saling berjauhan, beda dengan di kota yang rapat dengan pemukiman serta ditambah dengan keberadaan kios-kios orang yang berjualan di pinggir jalannya.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara sepeda motor yang mengikuti langkahku, ternyata dia Rudi

"Dek kamu kok ninggalin mas, mas kira kamu kemana!"

"Habis mas Rudi lama, jadi aku tinggal, maaf ya"

"Iya gapapa, ayok naik"

Kali ini Rudi terlihat lain, tidak seperti biasanya, dia terlihat lebih mempesona, wajahnya cerah, seperti beraura. Mungkin karena wajahnya yang basah akibat guyuran hujan, dan pantulan cahaya kilat yang membuatnya berbeda.

Aku mencoba melepas jaket yang sedang kukenakan

"Udah gak usah dilepas jaketnya, pakek aja, dingin lho dek"

"Mas Rudi nanti masuk angin!"

"Gapapa dek, aku udah biasa kedinginan, setiap malem juga selalu kedinginan, abis bobo nya sendiri" kata Rudi sembari melebarkan bibirnya untuk tersenyum, aku dapat melihat senyumannya yang kini aku rasa sedikit berkarisma, melalui kaca spion sepeda motornya.

Sepeda motor matic milik Rudi berjalan dengan perlahan, hujan masih mengguyur kami, kami berpayung bersama di atas sepeda motor miliknya, aku terpaksa merapatkan dudukku agar tubuhnya tak kena guyuran hujan, kaos yang ia kenakan basah kuyup, melekat di tubuhnya membuat tubuh bagian belakangnya nampak terlihat dengan sempurna, otot-otot yang tak terlalu besar terlihat sangat menawan.

"Oya nanti jaketnya kamu bawa aja ya, besok kamu bisa balikin kalo mau"

"Iya mas" jawabku singkat

"Eh dek, mas boleh tanya sesuatu gak?"

"Boleh, apa mas?"

"Di sekolah udah punya pacar belum ya? hehehe, maaf ya mas lancang nanya seperti ini"

"Gapapa mas, aku belum punya pacar"

"Eh serius? masak iya wanita cantik kayak kamu gak punya pacar dek"

"Iya mas, lagian mana ada yang mau sama aku" kini jawabanku lebih panjang, entah mengapa aku mulai menikmati percakapan ini. Tidak seperti perjalan-perjalan sebelumnya, kami lebih banyak diam, hanya sedikit obrolan basa basi, dan terasa amat membosankan.

"Waaaah mungkin belum ada yang berani deketin kamu dek, karena kamu keliatan ketus kali"

"Emang aku ketus ya mas?"

"Ketus namun menggoda"

"Mas bisa aja"

Memang selama ini aku tak banyak bicara lagi di sekolah, semenjak teman-temanku tahu fakta tentang keadaanku yang hidup serba kekurangan, aku merasa minder.

"Oya maaf ya mas jadi sedikit bawel, soalnya kita sampe rumahnya bakal lama nih, wong jalannya kayak keong begini"

"Iya gapapa mas, yang penting selamat sampe tujuan"

"Iya kalo mas ngebut dikit nanti payung kamu bisa terbang, terus kalo kamu ikutan terbang, nanti mas sedih"

"Hehe, mas bisa aja" aku tertawa lepas.

Aku benar-benar hanyut dengan sikapnya saat ini, dia lebih hangat tidak seperti biasanya, garing dan membosankan. Rasa letih perlahan terobati dengan candaan-candaan ringan selama perjalanan, tak terasa kami sudah sampai di halaman rumahku, di teras rumah, sudah berdiri ibu, dengan raut muka yang penuh cemas.

"Nak Rudi, makasih ya, sudah mau antar Yani pulang, ibu khawatir kalo turun hujan seperti ini"

"Iya bu, ndak apa-apa, saya senang bisa anter Yani pulang, kalo dia jalan kaki terus kasian, mukanya cantik, tapi betis nya berotot kayak pemain bola"

"Kamu bisa aja nak, mari mampir dulu, ibu buatkan teh hangat"

"Ndak usah repot-repot bu, saya juga harus buru-buru pulang, sepertinya hujannya juga sudah mulai agak reda"

"Yasudah hati-hati nak Rudi di jalan, pelan-pelan aja, jalanan abis ujan licin"

"Iya mas, hati-hati ya" kataku menambahkan

"Tumben kamu dek, bilang hati-hati, nanti kalo mas jatuh hati gimana?"

Aku tak bisa menjawab apa-apa, hanya tersipu malu, dan ibu menatapku sambil tersenyum.

Setelah berpamitan, mas Rudi pergi masih dalam keadaan hanya mengenakan kaos putih polosnya, aku sudah mencoba menawarinya switer milikku untuk di kenakan, namun ia menolaknya dengan halus, katanya ia tidak mau bau badannya nempel di switerku. Tapi aku harus jujur, untuk saat tadi, tubuhnya mas Rudi tercium sangat wangi, seperti bau bunga melati, yang semerbak di malam sehabis hujan.

Aku rasa dia kini sudah berbeda, mungkin dia mencoba menjadi sosok yang aku butuhkan saat ini, tapi apapun itu, terima kasih mas, aku sudah bahagia.

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang