Jiwa jiwa yang terikat

23K 1.4K 168
                                    

Jiwa-jiwa yang dahulu merdeka
kini sudah berada dalam genggamannya
hingga maut yang sebenarnya tiba
sampai saat itu mereka diperbudak
dalam ikatan perjanjian setan
ditulis dengan darah
darah yang haus akan harta, nafsu, dan kekuasaan yang sifatnya sementara.

***

Dalam genggaman tangannya, aku berjalan perlahan, menuju pintu utama rumah ini yang besar dan megah. Ketika pintu besar ini dibuka, angin dingin menerpa wajahku, kini di hadapanku sudah menghampar dataran rumput hijau. taman melati yang luas, bunganya yang sedang bermekaran baunya amat menusuk hidungku yang sedikit berair. Dari mulut pintu ini aku melihat sungai kecil yang jernih, berada dekat dengan pagar besar di samping kananku, riaknya amat menenangkan mata. Aku berjalan menuruni anak tangga yang tertata rapi di depan pintu rumah, aku menoleh ke belakang, mas Rudi masih berdiri di sana, di mulut pintu itu, seraya tersenyum.

Aku sudah berada ditengah-tengah kebun melati, semakin semerbak bau nya dari dekat, mas Rudi yang kini ada di belakangku memetik setangkai bunga melati dan menyodorkan ke arahku. Aku meraihnya, menghirup bunganya yang mekar, sesaat terlintas kenangan-kenangan indah masa dahulu.

Dahulu sewaktu aku SD, bapakku menanam banyak sekali pohon melati di depan rumah, dan kami sering memetiknya saat sore, bersama sambil bercanda ria, dan bapak sering bersenandung dengan bahasa jawa yang aku tak tahu artinya kala itu. Tapi entah kenapa ibu tak pernah suka dengan pohon melati yang bapak tanam, hingga ia pernah menyuruh orang untuk menebang semua pohon yang ada ketika bapak pergi meninggalkan kami saat itu.

Tepukkan tangan mas Rudi di pundak ku menyadarkan ku dari lamunan,

"kok ngelamun dek? "

"iya mas, aku ingat bapak jika melihat bunga melati"

entah dorongan apa tiba-tiba wajah mas Rudi sudah dekat sekali dengan wajahku, dan aku tak tahu sejak kapan tangannya sudah melingkar di pinggangku. Hingga ia melontarkan sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk aku jawab saat ini.

"maukah kamu menikah dengan ku dek? "

belum habis rasa kaget ku, tiba-tiba saja bibirnya dengan cepat mengulum bibirku dengan lembut, membuatku semakin tak bisa berkata apa-apa.

Saat kami sedang asyik berciuman, perasaanku semakin tak enak karena aku merasa sedari tadi ada yang melihat kami ciuman, aku mendorong tubuhnya mas Rudi, membuat bibirnya terlepas dari bibirku.

"kenapa dek? "

"anu mas, aku gak nyaman, aku merasa kita seperti sedang diperhatikan oleh seseorang"

Mas Rudi menyapu pandang, dan menghentikan pandangannya di satu titik, diantara semak dalam taman melati ini, lalu ia menunjuk dan berkata dengan nada tinggi.

"hoi!! sedang apa kamu" mas Rudi berlari kedalam semak, aku ikut membuntutinya dari belakang.

Seseorang sedang jongkok di sana, mas Rudi mencekik lehernya dengan kencang, dan menampar pipinya beberapa kali, Aku tak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah dari seorang pengintip itu, karena tubuhnya mas Rudi dan lebatnya semak yang menutupi.

"kurang ajar kamu" kata mas Rudi geram.

"ampun tuan, ampun"

"sudah mas, sudah" kataku mencoba melerai.

"pergi sana, kembali bekerja"

dalam sekelebatan dia pergi berlari meninggalkan kami.

"siapa itu mas? "

"tukang kebun dek"

Aku mengangguk, aku masih bisa melihat punggung tukang kebun itu berlari tertatih-tatih, perlahan, melewati semak dari pohon-pohon melati yang tumbuh berdekatan. Saat sudah sampai di ujung taman ini, aku melihatnya diam sejenak, dan menoleh ke arahku.

Benarkah itu dia?? pak Supardi tetanggaku????? Wajah dan gaya berjalannya memang sangat mirip dengannya, jika itu memang dia, kenapa begitu banyak orang yang aku kenal bisa berada di tempat ini, lantas sebenarnya dimana aku saat ini? Andai saja aku bisa menanyakan semua hal tersebut pada mas Rudi, sejujurnya aku sangat tak enak hati untuk menanyakan hal-hal yang mengganjal ini, aku mencoba mengabaikan semuanya, agar mas Rudi tetap nyaman berada di sampingku tanpa lontaran pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tak menguntungkan untukku juga.

Aku masih berdiri mematung, tiba-tiba aku mencium aroma yang sangat menusuk. Bukan bau dari bunga melati, melainkan seperti bau masakan yang di bakar.

"dek mas antar kamu ke kamar ya, mas harus pergi dulu sebentar"

"mas Rudi mau kemana memangnya? "

"mas ada urusan sebentar, kamu di kamar dulu saja istirahat, jangan kemana-mana"

Aku mengangguk tanda setuju.

Kini aku sudah kembali kedalam kamar tidur, tempat dimana pertama aku sadarkan diri, mas Rudi mengecup keningku dengan hangat sebelum akhirnya ia pergi entah kemana. Aku tak tahu, mengapa aku tak bisa menolak akan semua yang mas Rudi lakukan padaku, kecupan di pipi, bibir, bahkan hal-hal lain yang ia lakukan, aku tak pernah memiliki kuasa untuk menolak. Apa karena aku sudah dimabuk cinta? entahlah aku tak tahu.

Tiba-tiba aku mendengar suara erangan orang yang seperti sedang kesakitan, ingin rasanya beranjak dari ranjang ini, dan memastikan suara yang tengah aku dengar saat ini, namun lagi-lagi karena pesan mas Rudi untuk tak meninggalkan ruangan ini membuatku harus tetap disini dan tak kemana-mana. Tak kuasa rasanya diri ini untuk mengabaikan pesan dari mas Rudi.

Tapi....

Suara itu.....

Seperti tengah menyebut namaku

Maryaniiii tinggalkan tempat ini...

Suaranya terdengar amat lirih. Apa ini hanya perasaanku saja???

Tapi....

rasa-rasanya....

suaranya mirip sekali dengan suara....

ibu???????????

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang