Siapakah Kamu Sebenarnya

79.2K 2.7K 322
                                    

“Nak Rudi … kamu lihat Maryani? Yani?!”

“Eh, Ibu … ada apa, Bu? Ada apa dengan Yani?”

“Yani menghilang dari rumah.”

“Saya gak liat, Bu, kebetulan saya juga baru aja pulang dari terminal bus, jemput ibu saya.”

“Oh, ibu kamu sudah pulang?”

“Iya, Bu, mari mampir, tapi ibu saya sudah tidur, bentar saya bangunkan, ya?”

“Gak usah, Nak Rudi, Ibu juga buru-buru, harus cari Yani lagi.”

Ibu? Apakah itu suara ibu? Mengapa Mas Rudi mengatakan tak melihatku? Sedangkan kini aku tengah berada di sini dengannya? Bukankah ia yang mengajakku kemari?

Mas Rudi yang masih berdiri di mulut pintu rumah dan hanya membukakan pintunya setengah, membuat ibu yang di luar rumah tak mampu melihatku, begitu pun dengan diriku yang tak bisa melihatnya. Namun, aku yakin dari suaranya, itu adalah suara ibuku. Aku hanya bisa mendengarkan suaranya saja yang penuh dengan kekhawatiran.

“Ibu! Aku ada di sini!” Aku mencoba untuk bangkit, tetapi tiba-tiba gerak badanku seperti terkunci, aku tak mampu untuk bergerak.

“Ibu! Tolong aku! Aku di sini, Bu!” kataku sambil berteriak.

Namun, ibu sepertinya tak mendengar. Terbukti dari ibu yang kemudian pamit pada Mas Rudi.

“Maaf, ya, Nak Rudi, Ibu ganggu. Ibu mau mencari Yani lagi, Ibu sangat khawatir.”

“Ibu beneran gak mampir dulu? Pak RT, Pak Haji, mari mampir!”

“Maaf, ya, Ibu gak bisa mampir dulu dan maaf sekali lagi Ibu ganggu kamu jam segini.”

“Nggak pa-pa, Bu, lagian saya juga belum tidur, ibu saya sakit, nanti kalo udah azan Subuh, saya ikut bantu Ibu mencari Yani, saya pasti ikut mencari.”

Aku tak tahu siapa saja yang ada di luar sana, tetapi mereka sepertinya sedang mencariku. Namun, pak haji? Bukankah tadi dia yang mengantar kami ke sini? Dan aku juga tak mengerti mengapa Mas Rudi tega melakukan ini padaku.

“Ibu! Pak Haji! Tolong aku … aku di sini, Bu!”

Aku masih tak mampu untuk bergerak, dan mereka sama sekali tak mendengar suara dari jeritanku. Aku menangis sejadi-jadinya, aku memang bodoh, begitu mudahnya percaya dengan Mas Rudi yang sepertinya memiliki niat jahat terhadap diriku sedari awal.

Suara knalpot motor kembali berbunyi, kini suaranya terdengar menjauh, semakin perlahan, dan hilang tak terdengar lagi. Kemudian Mas Rudi menutup kembali pintu rumahnya, ia menguncinya. Kini ia duduk tepat di sampingku yang masih menangis, aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja Mas Rudi lakukan padaku.

Dengan lembut Mas Rudi membelai rambutku yang sudah kaku karena lumpur mengering, dia mengelap air mata yang menetes dengan ibu jarinya.

“Sayang, maafin Mas, ya. Mas cuma ingin buat kamu bahagia.”

Aku yang masih menangis dan masih tak mampu untuk bergerak hanya bisa pasrah melihatnya, kini ia menatap mataku dengan tajam. Aku tahu, pasti kini ia akan melakukan sesuatu pada diriku. Sekuat
tenaga aku mencoba untuk bangkit dan mencoba untuk melarikan diri, tetapi usahaku sia-sia. Aku masih diam terpaku tak mampu bergerak sedikit pun, hanya memejamkan mata yang kini bisa aku
lakukan.

Kini aku yang masih dalam keadaan terpejam, merasakan tubuhku diangkat, aku kembali membuka mata, dia tengah membawaku masuk ke dalam kamar mandi. Dia merebahkan tubuhku pada bak
mandi yang sudah berisi air hangat, dan di atasnya bertabur bunga melati. Sebelumnya dia sudah melucuti semua pakaian yang sedang kukenakan satu per satu, lalu dia mengecup keningku sangat lembut, kemudian dia kembali berucap.

“Aku hanya ingin membuat kamu bahagia, Dek.” Lagi-lagi hanya dengan suaranya saja begitu mudahnya ia mampu membiusku.

Dia pun menanggalkan semua pakaian yang ia kenakan hingga benar-benar terbuka seluruhnya. Dia kini ikut masuk ke dalam bak mandi, dia mengangkat tubuhku yang masih kaku dengan perlahan hingga aku berada dalam pangkuannya.

Dia yang berada di bawah, membasuh sekujur tubuhku dengan air yang ada di dalam bak mandi ini, mengusapnya perlahan dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku hanya bisa diam mematung, air mata yang tadi mengalir kini sudah tak keluar lagi. Tangannya membelai dan menggerayangi setiap inci dari tubuh ini.
Bibirnya yang kini kurasakan basah mengecup leherku dengan dalam hingga menghasilkan sebuah bunyi decakan. Kita mandi bersama dalam satu bak yang sama. Membasuh semua kotoran serta luka yang selalu aku dera, yaitu rasa kesepian yang selalu saja kurasakan. Luka kesepian perlahan hilang. Aku yang kini dalam
dekapannya, ingin mengucapkan terima kasih, siapa pun atau apa pun engkau, kau mampu mengisi kesepian ini.

Kami sudah selesai mandi, kini aku mampu untuk menggerakkan kembali tubuhku. Dia bangkit dari bak mandi, lalu dia menggenggam erat jemariku, dan menuntunku untuk keluar dari bak mandi juga, kami yang basah berjalan bergandengan masuk ke dalam sebuah kamar, yang sepertinya kamar milik Mas Rudi. Aku tak bisa bicara apa-apa, bukannya aku tak mampu untuk berbicara, tetapi aku tak tahu apa yang harus aku bicarakan lagi padanya.

Kini ia memakaikan aku sebuah baju berbahan halus dan lembut. Kemudian dia menggendongku dan merebahkan tubuhku ke atas ranjang tidur.

“Kamu istirahat, ya, Dek, kamu jangan dulu ke mana-mana, kamu percaya saja sama aku, dan kamu akan bahagia selamanya.”

Kata-kata yang ia ucapkan begitu lembut mengalun di daun telingaku.

“Tapi besok aku harus berada di sekolah, Mas.”

“Mas sudah bilang sama kepala sekolah kalo kamu gak bisa masuk sekolah karena sakit. Soal ibumu, nanti Mas akan urus.”

“Mas mau apakan ibuku?”

“Aku gak akan menyakitinya, Dek, kamu tenang aja.”

“Aku gak mau buat ibu khawatir, Mas.”

“Iya, Sayang. Mas gak akan buat ibu kamu khawatir, ya.”

“Kamu janji?”

“Ya, Mas janji.”

“Sebenarnya Mas ini siapa?”

“Kok kamu nanya seperti itu?”

“Mas Rudi yang aku kenal tak seperti ini, Mas.”

“Aku masih Rudi yang dulu, kamu jangan berpikir yang enggak-enggak, ya, Dek.”

“Tapi kamu benar-benar beda, Mas.”

“Tapi kamu suka, kan?”

Aku hanya mengangguk dan kami pun berpelukan.

“Mas Rudi, aku ingin selalu bahagia terus bersama kamu, Mas,”

kataku yang sudah tak kuasa menahan gejolak dalam diri, pada dia yang sedang terlihat rakus menjilati leherku.

“Iya, Sayang. Tentu saja, Mas akan selalu membuat kamu bahagia selamanya.”

Kata-katanya seperti apa yang tertulis dalam novel cinta yang pernah aku baca. Membuat bahagia selamanya? Selamanya itu sampai kapan? Sampai aku mati? Ya, dulu aku memiliki rentetan pertanyaan demikian, tetapi dekapannya kini mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Aku pasti akan bahagia, Mas, selamanya
bersama dekapanmu yang menangkan ini. Jika kalian pun bertanya sampai kapan selamanya itu, kalian akan menemukan jawabannya ketika kalian mendapatkan dekapan seperti yang tengah aku rasakan
kini, dan dengan bodohnya kalian pun akan percaya, dekapan itu akan membawa kebahagiaan pada kalian selamanya, selama-lamanya, hingga kalian berharap tak terhingga lamanya.

Azan Subuh terdengar sayup-sayup berkumandang dari kejauhan, kini dia terlihat tergesa-gesa, dia pergi keluar dari kamar ini, sebelumnya dia kembali mengecup keningku, dan berkata, “Kamu
istirahat, ya, Dek.” Sambil menutup kedua mataku dengan tangannya, setelah itu lagi-lagi aku kembali tak sadarkan diri.

SUAMIKU GENDERUWO (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang