Bagian 3

1.6K 74 0
                                    


Terima kasih ya buat semua pembaca silahkan like, vote and komennya.

Suasana makan malam kali ini diliputi dengan ketegangan, Furqan masih diam saja sementara ibu, kakek dan neneknya juga memilih diam. Sesekali hanya membicarakan rencana buat kebun mereka yang saat ini belum ditanami.

Setelah makan malam Furqan dan kakeknya kembali ke masjid, bocah yang biasanya ramai dengan cerita sekolahnya itu memilih masuk kamar dan kembali mengunci pintu sepulangnya dari masjid.

Hatinya masih sakit dengan perkataan temannya dijemputan tadi, mereka memang tidak salah jika selama ini tidak pernah melihat papanya, Furqan juga menerima itu, tapi yang membuat dia sangat terluka adalah sebutan anak haram, dia tahu betul arti dari kata haram itu.

Pagi hari setelah shalat subuh bersama kakeknya, kembali dia masuk kamar, ibu dan nenek sudah menyiapkan sarapan pagi, tapi dia tidak juga keluar. Ditunggu sampai jam 7, dimana dia biasa berangkat bersama ibunya tapi belum juga keluar.

"Bapak dan ibu ke kebun dulu ya Tiara, soalnya sudah janjian dengan beberapa tetangga yang mau bantu menanam jagung."

"Iya...Pak." Matanya masih focus di pintu kamar anaknya.

Setelah bapak ibunya pergi, Tiara yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya mendekati pintu kamar anaknya lagi. Hatinya sangat terluka, tidak biasanya anaknya seperti ini.

"Furqan...keluarlah Nak, kenapa kamu begini? Maafkan Ibu
ya...tapi kamu harus sekolah, bukankah selama ini kamu tidak pernah meninggalkan sekolah? Walaupun dalam keadaan sakit kamu tetap juga berangkat kan?"

Tiara masih berdiri di depan pintu, tapi tak ada jawaban bahkan pergerakan sama sekali. Waktu terus berlalu, Tiara menuju meja makan membawakan sepiring nasi dan lauknya.

"Kalau kamu mau izin sekolah nggak papa, Ibu telpon Bu
Dian, tapi keluar dulu ya, sarapannya sudah Ibu bawa ke sini, makan di kamar saja nggak papa."

Belum juga ada perubahan, Tiara memilih duduk di samping pintu . Masih mengetuk pintu berharap anaknya mau keluar kamar.

Waktu terus berjalan, sampai zuhur, Furqan tidak juga keluar, bapak dan ibunya kaget melihat Tiara duduk lemas di samping pintu kamar cucunya.

"Belum keluar juga dari tadi?"

"Belum Pak."

"Dan kalian belum makan juga?"

"Iya..." Tiara berkata lirih, "bagaimana Tiara mau makan Pak jika Furqan didalam sana juga tidak makan."

"Bapak ke masjid dulu dech, sudah hampir komat, Bu...urus anak dan cucumu itu. "

Ibunya mendekati Tiara, memandang sedih ke putri cantiknya itu.Tangan tuanya mengusap punggung Tiara, air mata tuanya juga tak tertahan jatuh melewati pipinya yang sudah mulai keriput.

"Kamu sebaiknya shalat dulu."

Tiara mendongankkan kepalanya, menatap sedih ibunya, air matanya bahkan sudah kering dan tak tumpah lagi.

"Tiara sedang nggak shalat Bu."

"Baiklah kalau begitu ibu shalat dulu, kamu makanlah."

Tiara hanya diam, matanya kembali menatap pintu yang masih rapat tertutup. Kepalanya mulai pusing, badannya mulai lemas, dia masih berusaha mengetuk pintu dan bicara dengan anaknya tapi suaranya tidak sekeras tadi begitu juga dengan ketukannya di pintu.

Ibunya kembali menemuinya tapi setelah menyentuh bahunya dia kaget Tiara terjatuh, untung dengan sigap tangan rentanya menahan kepala anaknya. Bapaknya yang baru tiba dari masjid segera mengangkat dan membawanya ke kursi panjang ruang tengah.

Dia meminta istrinya mengurus anaknya dan tubuh tuanya berjalan menuju pintu kamar cucunya.

"Furqan...jika kamu mau kehilangan ibumu, orangtuamu satu-satunya maka tetaplah di dalam kamar tidak usah keluar." Kakeknya berkata dengan singkat tegas, dan menjauh dari pintu itu

***

Tiara sudah sampai di kantor tepat seperti biasanya, sebagai pegawai honor di kantor kecamatan dia selalu datang sebelum pegawai yang lain datang tapi tetap kalah cepat dengan Mbak Sri bagian OB. Setelah turun dari angkutan umum dia melihat sudah ada mobil bagus yang terparkir di depan kantor. Dia berjalan dengan terus memperhatikan mobil itu, dalam hatinya bertanya siapa yang sudah datang bertamu sepagi ini?

"Hei....Tiara." Seseorang yang sudah dikenal mengagetkannya dari arah depan mobil.

"Astaghfirullah..." Tiara mundur dengan memegang dadanya, matanya bertemu dengan pemilik suara bas dan berpenampilan eksklusif itu.

"Makanya kalau jalan jangan melamun, disapa begitu saja kaget."

Laki-laki itu mendekati Tiara dan berusaha memegang bahunya, tapi Tiara segera mundur. Dia tidak akan memberi kesempatan pada siapapun untuk memegang anggota tubuhnya kecuali muhrimnya. Begitu pesan bapaknya yang selalu terngiang di telinganya.

"Maaf ada yang bisa saya bantu ?"

Dengan muka malu pemuda itu menarik kembali tangannya dan menengok ke samping untuk menetralkan perasaannya. Terutama rasa malunya, dia sendiri juga bingung kenapa bisa senekat itu, tapi dia tidak mau menampakkan pada gadis di depannya itu.

"Oh...Iya, saya mau bertemu dengan seseorang."

"Silahkan tunggu di dalam saja Pak, ehm... Bapak jalan duluan." Pinta Tiara pada tamunya.

Di ruang tamu kantor kecamatan itu, Tiara memberikan secangkir teh yang dibuatnya. Dia salah tingkah setiap bertemu pemuda itu selalu menatap dengan senyum yang mempesona.

"Maaf Pak, kalau boleh tahu, Bapak tahu nama saya dari mana?"

Pemuda itu masih tersenyum, tatapan matanya belum beralih sehingga membuat Tiara menunduk. Dia risi juga ditatap seperti itu. Walaupun pemuda dihadapannya ini, keren banget.

"Pegawaiku." Jawabnya singkat

Tiara diam, matanya menatap ke arah pintu berharap ada yang datang, dia mulai nggak nyaman berduaan dengan pemuda di depannya. Jantungnya berpacu dengan cepat sehingga membuat dia salah tingkah.

"Maaf Bapak mau bertemu dengan siapa?"

"Jangan panggil aku Pak, bisa nggak sih? Serasa tua banget lho, aku ini masih muda, singgel pula plus kece kan? Panggil aku Mas saja ya...dan kenalkan namaku Hendi Prayitno."

Potong pemuda itu mengulurkan tangannya tapi ditanggapi dengan anggukan dan tangan melipat di dada oleh Tiara.

"Ehm...baik Mas Hendi ini sebenarnya mau ketemu siapa ya?"

"Kamu..."

Tiara kembali menundukkan pandangannya, walaupun ada perasaan senang dalam hatinya. Tapi dia segera sadar, bisa jadi urusan pekerjaan, kenapa dia mesti senang banget.

"Sudah ketemu kan, ada yang bisa saya bantu?"

"Hanya ingin menemani ngobrol di pagi hari, karena kamu selalu sendirian kan?"

"Sok tahu." Tiara berusaha untuk bersikap biasa.

"Aku tahu persis, dan sekarang aku pamit dulu karena harus kerja kamupun sama, aku jemput pulang kerja ya? Dan tidak boleh nolak."

Tiara hanya bengong mendengar kata-kata Hendi, dia tak habis pikir dengan semua yang terjadi barusan, pemuda yang aneh, rutuknya dalam hati.

"Maaf..."

"Dimaafkan untuk kemaren atas penolakanmu tapi tidak untuk hari ini, assalamualaikum."

Hendi menyahut dengan cepat dan segera meninggalkan kantor kecamatan. Tiara hanya geleng-geleng melihat tingkahnya yang aneh, dan segera menjawab salamnya.

Dia bingung bagaimana kalau Hendi benar-benar menjemputnya nanti sore, apa kata teman kantornya? Dan apa yang akan dilakukan oleh Hendi jika sudah bertemu dengannya?

Ketika Keikhlasan Cinta DiujiWhere stories live. Discover now